JAKARTA - Jejak Rosihan Anwar sebagai kritikus perfilman Tanah Air tak bisa dianggap remeh. Kritik pedasnya sering bikin panas telinga para pembuat film. Pun semenjak Rosihan Anwar jadi dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) terlama. Kritik sampai bikin geger penyelenggaraan FFI 1977. Rosihan Anwar menyebut pembuat film Tanah Air sebagai pedagang mimpi. Demi film laku, semua cara ditempuh, termasuk membuat narasi film tak berkualitas yang dominan unsur kemewahan, kejahatan, dan seks.
Semasa hidupnya, Rosihan Anwar adalah sosok yang multitalenta. Ia dikenal sebagai jurnalis, penulis, sejarawan, budayawan, aktor dan banyak lagi. Bahkan profesi itu telah ditekuninya lintas zaman, dari era penjajahan Jepang, era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, serta Reformasi. Dalam dunia seni peran juga juga begitu. Pertemuannya dengan Usmar Ismail semasa menimbah ilmu di sekolah setingkat SMA, Algemeene Middelbare School (AMS), Yogyakarta jadi muaranya. Keaktifan keduanya sebagai pemain teater membuka jalan ke dunia perfilman.
Selepas Indonesia merdeka, Kecintaan akan dunia seni peran membuat Rosihan dan Usmar Ismail mendirikan perusahaan produksi film pertama di Indonesia, Perfini pada 30 Maret 1950. Semenjak itu Usmar Ismail semakin memantapkan karier sebagai sutradara. Sedang Rosihan Anwar masih memilih aktif sebagai aktor. Rosihan Anwar lalu aktif berakting dalam setiap film garapan Usmar Ismail yang kelak dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia.
“Berbicara tentang Rosihan dan film, perlu dicatat bahwa wartawan senior itu juga seorang pemain film, meski tidak pernah memegang peran utama. Pada tahun 1950-an dalam film-film karya Usmar Ismail, wajah Rosihan hampir selalu bisa ditemukan. Rosihan memang teman sekolah Usmar Ismail di Yogyakarta sebelum perang. Setelah Indonesia merdeka, Usmar dan Rosihan menjadi keluarga dekat karena istri mereka bersaudara kandung.”
“Di tahun-tahun 1970-an dan 1980-an, wajah Rosihan masih sering kita saksikan di gedung-gedung bioskop. Seingat saya Rosihan terakhir kali muncul dalam film Cut Nyak Dhien (1989) yang disutradarai Eros Djarot dengan Christine Hakim sebagai pemain utamanya. Film itu mendapatkan kehormatan dipertunjukkan pada salah satu seksi Cannes Film Festival di Cannes, Prancis Selatan. Rosihan dan saya diajak serta menemani film itu ke Cannes,” ungkap Salim Said dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013).
Tak hanya sebagai aktor, Rosihan Anwar kemudian menantang dirinya untuk menggarap sederet film dokumenter bertema sejarah. Penggarapan film itu terjalin atas kerjasama Rosihan Anwar dengan Direktur TVRI kala itu, Ishadi. Salah satu filmnya adalah bercerita penuh terkait peninggalan bangunan Portugis dan Belanda di Malaka. Lebih lagi, Rosihan Anwar menambah peranannya di dunia perfilman dengan aktif menulis naskah untuk film dokumenter berjudul Pikatan Kayu Cendena yang bercerita terkait sejarah Timor Timur.
“Di samping aktif dan megikuti perkembangan dunia film Indonesia sejak tahun 1950 , Rosihan juga aktif membuat film dokumenter dan film reportage untuk TVRI,” tulis Anita K. Rustapa dkk dalam buku Antologi biografi pengarang sastra Indonesia, 1920-1950 (1997).
Kritik pedas dalam FFI 1977
Setelahnya, kecintaan Rosihan Anwar kepada industri perfilman tanah air kian bertumbuh. Rosihan pun mulai mengambil peranan baru lagi. Jurnalis senior itu memilih jadi kritikus film. Gaung kritikannya makin deras sejak Rosihan Anwar terpilih sebagai salah satu dewan juri dalam penyelenggaraan FFI. Tak sebentar, Rosihan memegang amanah sebagai dewan juri selama 11 tahun atau dari 1976 hingga 1991. Buahnya, kritikan sering bikin geger penyenggaraan FFI. Termasuk saat menjadi juri di FFI 1977.
Gegernya FFI 1977 diawali oleh kebiasaan dari dewan juri yang sering kali membacakan peniliannya mengenai film Indonesia. Kebetulan saat itu, Ketua Dewan Juri FFI 1977 Djaduk Djojokusumo agak kurang sehat. Karena itu, Rosihan Anwar mengambil alih pembacaan penilian itu dan menyebutkan keputusan juri pada FFI 1977 tiada film yang mendapatkan penghargaan film terbaik. Rosihan turut pula menganggap pembuat film Tanah Air kala itu sebagai pedagang mimpi, bukan insan kreatif. Keputusan itu langsung mengobarkan kebencian terhadap penyelenggara FFI, utamanya kepada Rosihan Anwar.
“Dewan juri FFI 1977 menilai film Indonesia tidak berwajah Indonesia, tetapi berwajah Mandarin atau India. Ia menonjolkan kemewahan-kemewahan, dibuat oleh produser yang menjual impian-impian dan karena itu disebut pedagang-pedagang mimpi atau dream merchants. Tahun 1977 tidak ada film yang dipilih sebagai film terbaik. Tidak ada Piala Citra diberikan.”
“Orang-orang film yang hadir di upacara ada yang marah dan emosional. Heboh. Aktor Sophan Sophiaan dan produser Ny. Samantah langsung bertanya kepada saya: Apakah Anda bisa membuat film? Suaminya aktor Ratno Timur, berucap dengan marah: tahi. Anggota dewan juri, Salim Said dikepung. Orang-orang yang marah itu tak sampai memukulnya karena dilindungi oleh kawan-kawannya dari Makassar,” ungkap Rosihan Anwar dalam bukunya sendiri Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).
Bukan tanpa alasan Rosihan Anwar memberikan penilaian seperti itu. Dalam pandangannya, pembuat film bertindak dengan perspektif pedagang. Alhasil, film yang dihasilkan hanya berdasarkan asas untung-rugi. Bukan kreativitas. Makanya film-film yang ada banyak memuat unsure kemewahan, kekerasan, dan seks sebagai ajian utamanya. Supaya menjual katanya. Akibat kericuhan itu, pada FFI berikutnya dewan juri dilarang lagi membacakan penilaiannya. Keadaan ini berlangsung lebih dari 10 tahun.
Sekalipun awalnya banyak yang menyebut kritikan Rosihan Anwar tak berdasar, perlahan-lahan banyak yang setuju dnegan pendapatnya. Budayawan Ajib Rosidi, salah satunya. Ajib Rosidi yang duduk di kursi dewan juri FFI 1978 merasakan apa yang dirasa oleh Rosihan Anwar. Banyak di antara film-film yang ditonton Ajib Rosidi disebutkan tidak bermutu.
“Oleh panitia FFI 1978 aku diminta duduk sebagai anggota juri. Meskipun aku gemar menonton film sejak muda dan pernah juga menulis beberapa kritik tentang film yang kutonton, tetapi kegiatanku tak pernah bersinggungan dengan dunia film. Mungkin aku diminta menjadi anggota juri itu karena Panitia melihatku sebagai Ketua Dewan kesenian Jakarta (DKJ). Kehormatan itu aku terima. Yang aku ingat anggota juri yang lain adalah H. Rosihan Anwar yang seakan sudah menjadi inventaris juri karena selalu diangkat saban tahun. Dan menjadi anggota juri film ternyata tidak seperti yang kukira sebelumnya. Banyak waktu terbuang untuk menyaksikan film yang tak bermutu,” tutup Ajib Rosidi dalam bukunya Hidup Tanpa Ijazah (2008).
*Baca Informasi lain soal FILM atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.