Bagikan:

JAKARTA - Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-19 tahun 1964 adalah momen istimewa bagi keluarga Soekarno. Bung Besar bertindak sebagai pemimpin upacara. Ia juga menyampaikan pidato kenegaraan yang kesohor "Tahun Vivere Pericoloso." Putrinya, Megawati Soekarnoputri mengemban tugas sebagai salah satu Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Istimewanya, bendera pusaka 'Merah Putih' yang dikibarkan adalah jahitan tangan ibunya, Fatmawati.

Politik jelas bukan dunia baru wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri. Guru politiknya sendiri tiada lawan. Tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri, Panglima Revolusi Indonesia, Soekarno. Tiap ada kesempatan bersama sang ayah, Megawati aktif bertanya hingga belajar banyak hal.

Semua itu karena semenjak ibunya, Fatmawati meninggalkan istana pada 1957, momen kebersamaan antara ayah-anak kian meningkat. Megawati sering mendampingi Bung Karno dalam acara-acara formal kenegaraan, dari acara seni hingga upacara memeringati Kemerdekaan RI. Pada upacara kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1964, misalnya. Megawati hadir tak cuma dengan embel-embel anak presiden.

Soekarno dan Megawati (Sumber: Commons Wikimedia)

Mega melibatkan diri sebagai bagian dari Paskibraka. Megawati lalu mendapat tugas mengibarkan dan menurunkan bendera pusaka. Bendera itu dijahit oleh ibunya, Fatmawati. Dan sang ayah, Soekarno sendiri yang menyerahkan bendera itu pada Megawati.

"Saya pun sebetulnya Purna-(Paskibraka) juga. Karena saya pernah menjadi seperti kalian. Pembawa bendera pusaka. saya waktu itu Alhamdulillah (bendera pusaka) masih asli. Saya yang membawa,” cerita Megawati saat memberikan pengarahan kepada Purna-Paskibraka Duta Pancasila di Istana Merdeka, Rabu, 18 Agustus.

Cerita tentang Sang Saka

Kehadiran bendera pusaka yang asli tak saja menambah khidmat upacara kemerdekaan RI ke-19. Kehadiran bendera pusaka mengingatkan kembali peran ibunda Megawati, Fatmawati yang menjahit bendera pusaka pada masa pendudukan Jepang. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati pada Oktober 1944 atau dua minggu sebelum kelahiran putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra.

Namun bukan perkara mudah dalam menjahit bendera Merah-Putih. Ibu Fat –sapaan akrab Fatmawati—kesulitan mencari kain untuk bendera Merah-Putih. Kondisi Jakarta yang dilanda krisis jadi muaranya. Bahan baku kain menjadi langka. Atas saran dari Bung Karno, Ibu Fat diminta untuk mencari bantuan. Tak lama setelahnya, Ibu Fat memanggil pemuda bernama Chairul Saleh. Ibu Fat memintanya untuk menemui salah seorang pembesar Jepang yang pro dengan perjuangan Indonesia, Shimizu.

“Sebenarnya, Shimizu sangat salut dengan perjuangan rakyat Indonesia. Itulah sebabnya mengapa Shimizu merasa nyaman ketika harus mendengarkan uneg-uneg, pikiran, dan juga pendirian orang Indonesia saat itu. Terlebih lagi, saat itu rakyat Indonesia sudah menganggap Shimizu sebagai sahabat karib. Melalui Shimizu ini, Fatmawati berharap mendapatkan selembar kain yang bisa digunakannya untuk menjahit bendera (pada waktu barang-barang impor sudah dikuasai oleh Belanda),” ungkap Abraham Panumbangan dalam buku The Uncensored of Bung Karno (2016).

Ilustrasi foto pengibaran bendera (Sumber: Commons Wikimedia)

Keputusan Fatmawati minta tolong kepada Shimizu jadi keputusan yang tepat. Shimizu nyatanya dapat membujuk seorang pembesar Jepang lainnya yang mengepalai gudang di daerah Pintu Air (depan bekas bioskop Capitol) untuk memberikan bahan kain yang diminta.

Berkatnya, Fatmawati pun berhasil mendapatkan kain untuk menjadi bendera pusaka. Kemudian, Fatmawati menjadikan sebuah bendera berukuran 2x3 meter. Bendera itu lalu dikibarkan pertama kali saat hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Setelahnya, bendera tersebut hanya dikibarkan setiap upacara peringatan kemerdekaan RI dari tahun 1946-1968.

“Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu akan berikan kepada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku. Nampak olehku di antara mereka adalah Mas Diro, (Sudiro ex Walikota Jakarta), Suhud, Kolonel Latief Hendraningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara, paling depan Bung Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,” ujar Fatmawati dalam bukunya Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).

Pidato kesohor “Tahun Vivere Pericoloso”

Bung Karno (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Tak kalah menarik dari kehadiran Megawati dan bendera pusaka yang dijahit istrinya. Bung Karno ikut pula tampil sebagai bintang acara perayaan kemerdekaan RI ke-19 tahun 1964. Pidato kenegaraannya berjudul Tahun Vivere Pericoloso dikenal sebagai salah satu pidato terbaik dari Putra Sang Fajar. Apalagi, Bung Karno kala itu menjadi orang Indonesia pertama yang mempopulerkan istilah Vivere Pericoloso. Istilah itu diambilnya dari bahasa Italia: Vivere yang berarti hidup. Sedang Pericoloso artinya berbahaya. Dalam artian, hidup di tahun penuh bahaya.

Pidato itu sengaja dibuat oleh Bung Karno karena kondisi perpolitikan Indonesia yang begitu pelik. Belum lagi masalah ekonomi yang mulai bergerak menuju jurang resesi. Maka dari itu, dengan penuh keberanian Bung Karno mengajak seluruh rakyat Indonesia menggelorakan semangat revolusi. Semangat untuk berani keluar dan melawan berbagai krisis multidimensi. Entah itu krisis politik, ekonomi, hingga krisis identitas. Semuanya supaya Indonesia bangkit dan mimpi menjadi bangsa yang besar bukan cuma angan-angan semata.

“Tiada Revolusi dapat benar-benar bergelora, kalau Rakyatnya tidak menjalankan Revolusi itu dengan anggapan Romantik. Tiada Revolusi dapat mempertahankan jiwanya, jikalau Rakyatnya tidak bisa menerima serangan musuh sebagai romantiknya Revolusi, dan menangkis serangan musuh dan menghantam hancur-lebur kepada musuh itu sebagai romantiknya Revolusi. Tiada Revolusi dapat tetap bertegak kepala, jikalau Rakyatnya tidak sedia menjalankan korbanan-korbanan yang perlu, dengan tegak kepala pula, bahkan dengan mulut bersenyum, karena menganggap korbanan-korbanan itu romantiknya Revolusi,” Bung Karno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1964.

Bung Karno tak lupa mengingatkan bahwa revolusi adalah suatu proses. Bisa tercapai cepat atau atau langsung. Demikian pula perihal dinamikanya. Bisa pasang-naik atau pasang-surut. Karena itu, bergerak satu irama jadi solusi: irama revolusi.

Pidato itu kemudian membuat banyak orang kagum dengan sosok Bung karno. Pun kekaguman akan semakin bertambah ketika menjelang akhir pidato Bung Karno membakar semangat rakyat Indonesia melawan imperialisme dengan meneriakkan “Ini dadaku, mana dadamu!”

“Judul pidato Bung Karno ini menginspirasi Christopher Koch, seorang penulis berkewarganegaraan Australia, untuk menulis novel berjudul ‘The Year of Living Dangerously’ yang diterbitkan pada tahun 1978. Novel ini mengambil latar belakang keadaan di Jakarta pada tahun 1965, menjelang dan saat terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pada tahun 1982, sebuah film produksi Australia dengan judul yang sama dibuat, dengan dibintangi artis-artis terkenal seperti Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt,” tutup Rhien Soemohadiwidjojo dalam buku Bung Karno Singa Podium (2013).

*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya