Sejarah Perfilman Nasional: Perjuangan Usmar Ismail Garap Film Darah dan Doa
Cuplikan adegan film Darah dan Doa, karya Usmar Ismail yang menjadi tonggak sejarah perfilman nasional. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Perjuangan Usmar Ismail menelurkan film Darah dan Doa (1950) penuh perjuangan. Film itu dibuatnya dengan fasilitas dan talenta yang serba terbatas, sehingga menjadi tonggak sejarah perfilman nasional.

Apalagi Usmar harus memainkan banyak peran. Ia tak saja berperan sebagai sutradara, tapi Usmar berperan pula sebagai penulis skenario, supir, serta kuli angkut. Totalitas itu dilakukan demi mengharumkan nama bangsa. Ajian itu berhasil. Film Darah dan Doa di puja-puji khalayak luas, termasuk Soekarno. Karenanya, Usmar dijuluki Bapak Perfilman Nasional.

Sejak Kecil Usmar telah tertarik dengan dunia film. Antusiasmenya dalam menonton film begitu tinggi. Segala hal diperhatikan Usmar dengan cermat. Ia memahami bahwa bicara film bukan melulu cerita. Ia memperhatikan kualitas gambar, penempatan kamera, hingga musiknya.

Menurut Usmar, musik adalah unsur penting dan vital bagi sebuah film. Dalam film bisu, terutama. Ia selalu mencari cara demi mendapatkan narasi dari film yang belum sempat ditontonnya. Ia akan pergi menemui kakak dan kakak iparnya untuk mencari jawaban. Satu hal pertama yang pasti akan ditanyai oleh Usmar: permainan tukang piano. Alias, seseorang yang mengiringi jalannya musik film bisu.

Usmar Ismail bersama Fatmawati Soekarno dan Marlon Brando. (Wikimedia Commons)

Tiap ada waktu luang, Usmar selalu menyempatkan menonton. Misinya jelas. Ia ingin mendapatkan gambaran secara utuh dari film. Semuanya kemudian dipersiapkan Usmar dengan baik. Ia selalu membeli karcis yang menempatkan dirinya berada pada baris paling depan. Supaya dapat tontonan yang jelas. Pun supaya bisa dengan jelas berada di dekat pemain piano.

Aktivitas itu makin sering dilakoninya ketika ia melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS-A II), Yogyakarta. Usmar pun mulai keranjingan film. Kesukaannya akan film itulah yang membukakan jalan menyukai seni. Ia terhitung aktif ikut dalam kelompok teater untuk mengasah kemampuannya berakting.

“Tukang piano yang dimaksudkan Usmar adalah pemain musik yang mengiringi adegan demi adegan dalam film bisu dengan cermat. Permainannya disesuaikan dengan dinamika adegan dalam layar. Maka pemain piano menjadi unsur penting tersendiri untuk sinema kala itu. Dalam ingatan keponakan Usmar, Alwi Dahlan, sedari kecil Usmar sudah tertarik pada berbagai unsur film.”

“Tak cukup mengikuti jalannya cerita, dia gemar menyelidiki bagaimana pemain piano mengiringi film serta mengamati lambang-lambang yang muncul dalam film. Sesekali, jika Usmar turut menonton ke bioskop, dapat dipastikan dia akan memilih tempat duduk terdepan, dekat dengan layar dan tukang piano. Jadi dari SMP saja dia sudah memikirkan film yang penuh dengan perlambangan,” cerita Alwi Dahlan sebagaimana ditulis Moyang kasih Dewi Merdeka dalam Majalah Tempo berjudul Usmar Ismail, Film, dan Kita (2021).

Produksi Film Darah dan Doa

Jalan Usmar Ismail melahirkan karya-karya sendiri mulai terbuka. Ia pun menjadi bagian dari perusahaan produksi Belanda, South Film Festival. Usmar terhitung terlibat dalam dua film dari perusahaan itu. Film pertama berjudul Harta Karoen (1949). Sebuah film yang diangkat dari Tonil Si Bachil oleh Moliere. Sedang filmnya yang kedua adalah Tjitra (1949). Film itu diangkat dari lakon sandiwara yang ditulisnya sendiri pada 1943.

Filmnya itu sempat sukses di pasaran. Pembuatannya pun tak main-main. Kedua film itu digarap dengan peralatan yang cukup mumpuni di zamannya. Kemudahan itu justru tak dianggap oleh Usmar. Ia merasa kedua film itu bukan miliknya secara emosional.

Perasaan itu hadir karena Usmar merasa dalam penggarapan didikte banyak pihak. Pun banyak ide Usmar yang tidak disetujui. Usmar memilih enggan mengakui kedua film itu sebagai film pertama dan keduanya.

Pada titik itu, Usmar memiliki niat untuk membuat film pertamanya sendiri. Alias tanpa didikte oleh banyak pihak. Ia pun menggalakkan sebuah proyek film yang berjudul Darah dan Doa. Film bertema perjuangan kemerdekaan ide dari sastrawan, Sitor Situmorang itu jadi ajiannya. Usmar pun leluasa menuangkan idenya. Ia tak saja bertindak sebagai sutradara, tapi juga sebagai merangkap penulis skenario, supir, dan lain sebagainya.

Foto diri Usmar Ismail, tokoh yang menjadi tonggak sejarah perfilman nasional dengan karyanya Darah dan Doa. (Wikimedia Commons)

Kendala pun tak lama hadir. Usmar hanya memiliki uang sebanyak Rp30 ribu. Itupun uang pesangon yang diterimanya setelah dilepas dari tentara. Lagi pula biaya produksi rata-rata satu film kala itu mencapai Rp100 ribu. Kekurangan biasa produksi itu tak membuat semangat Usmar luntur.

Ia tetap bergerak melanjutkan film garapannya. Kawannya sekaligus sejarawan, Rosihan Anwar ikut merasakan kesukaran yang dialami oleh Usmar pada 1950. Usmar beruntung. Dalam perjalanannya, Usmar mendapatkan suntikan dana tambahan. Rosihan Anwar menyebutkan suntikan dana itu berasal dari seorang pemodal bernama Meester in de Rechten (Mr) Liem. Total Darah dan Doa dirampungkan dengan biaya produksi Rp350 ribu, karenanya.

“Dari pengalaman tadi Usmar belajar realitas keras dunia perfilman, yaitu dengan idealisme saja tidak mungkin dipecahkan dan diatasi semua masalah, tetapi mungkin dipecahkan dan diatasi semua masalah, tetapi dibutuhkan pula suatu dosis realisme bahwa harus ada sikap berkompromi dengan kaum pemodal.”

“Dan memang Usmar kemudian hingga batas tertentu bekerja sama dengan kaum pemodal. Seraya berusaha berpegang kepada semangat idealismenya,” terang  Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 2 (2009).

Kehadiran film Darah dan Doa pun melukiskan banyak sejarah. Film itu menjadi film Indonesia pertama yang diselesaikan sepenuhnya oleh anak bangsa. Banyak yang mengagumi film itu. Soekarno, salah satunya. Alhasil, Puja-puji pun mengalir deras kepada Usmar Ismail.

Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah Indonesia lalu ambil bagian menjadikan momen pengambilan gambar pertama kali Darah dan Doa, 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional. Usmar Ismail pun kebagian julukan. Ia dijuluki sebagai Bapak perfilman Nasional oleh segenap rakyat Indonesia.

“Salah satu film yang membuatnya sangat terkenal adalah Darah dan Doa. Film ini diambil gambarnya pertama pada 30 Maret 1950 Pengambilan gambar pertama ini kemudian dijadikan sebagai hari film di Indonesia. Hal ini disebabkán karena film ini merupakan film yang pertama kali diproduksi oleh orang Indonesia asli dan memiliki karakter atau identitas keindonesiaan.”

“Film ini memang ditujukan bukan untuk komersialisasi dan bukan alat propaganda seperti pada masa Jepang. Artinya, film ini merupakan sebuah proyek idealisme anak bangsa untuk menampilkan gagasan kebangsaannya dalam film asli Indonesia,” tutup Dwi Susanto dan Bagus Kurniawan dalam buku Islam, Sastra, dan Wacana Bahasa (2021).

Begitulah perjalanan panjang Usmar Ismail sebagai bagian sejarah perfilman nasional, sehingga 30 Maret ditetapkan sebagai hari film nasional.