Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 67 tahun yang lalu, 10 Maret 1956, Ibu Negara Fatmawati Soekarno meresmikan organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Kehadiran PARFI digadang-gadang sebagai bentuk komitmen artis film di seantero negeri untuk memajukan perfilman nasional.

Sebelumnya, industri film Indonesia mulai bergairah di era 1950-an. Namun, nyala api insan perfilman diganggu oleh banyak beredarnya film dari luar negeri. Akibatnya, semangat perfilman nasional kurang berkembang dan layu.

Kemerdekaan Indonesia disambut dengan gegap gempita oleh segenap rakyat Indonesia. Kalangan seniman film, apalagi. Mereka merasa kemerdekaan menjadi jalan industri perfilman nasional menuju era kemajuan. Geliat insan perfilman menggarap produksi film tiada dua. Apalagi ruang untuk memproduksi film terbuka lebar. sekalipun perihal dana jadi masalah besar.

Film-film dengan tema revolusi kemerdekaan bermunculan. Ciri itu terlihat dari banyaknya film yang keluar pada era 1950-an. Mereka merasa medium film adalah sarana yang tepat untuk menyebarkan semangat nasonalisme.

Tokoh-tokoh perfilman nasional pun bermunculan. Antara lain Dokter Huyung, Bactiar Siagian, Djamaluddin Malik, hingga Usmar Ismail. Mereka menggarap film dengan kreativitas dan corak masing-masing.

Cuplikan adegan film Darah dan Doa (1950), karya Usmar Ismail yang menjadi tonggak sejarah perfilman nasional. (Wikimedia Commons)

Penonton pun antusias dengan film mereka. Apalagi, petinggi negeri. Karya pembuat film Indonesia didukung banyak pihak. Apalagi jumlah produksi film dapat meningkat tajam pada mencapai 40 judul pada 1950-an. Jumlah itu mengindikasikan bahwa dunia perfilman nasional sedang berkembang dengan pesat.

“Pada 1951 jumlah produksi film melesat hingga 40 judul melampau jumlah produksi terbanyak sebelum perang, satu dekade sebelumnya, yaitu 30 judul pada 1941. Fenomena lainnya yang menarik tampak pada kenyataan berikut: meski banyak orang Indonesia yang terlibat dalam produksi di perusahaan Tiongkok, Belanda, dan Jepang, tonggak perfilman nasional adalah ketika Usmar Ismail memproduksi filmnya yang berjudul The Long March atau Darah dan Doa pada 1950.”

“Berberapa tokoh yang harus dicatat sebagai pelopor film nasional adalah Dokter Huyung, Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Bachtiar Siagian. Keempat tokoh tersebut memiliki latar belakang teater meski berasal dari lingkungan sosial yang berbeda. Persamaan dan perbedaan tersebut sangat tampak dalam karya film dan afiliasi politik mereka di kemudian hari,” ungkap Garin Nugroho dan Dyna Herlina S. Dalam buku Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015).

Laju perfilman nasional bukan tanpa masalah. Kala itu, kehadiran film-film luar negeri ikut membanjiri Indonesia. Akibatnya jam tayang film Indonesia semakin sedikit di layar bioskop. Insan perfilman pun bergerak.

Mereka ingin membuat sebuah wadah yang mampu mendukung laju perfilman nasional. PARFI, namanya. Organisasi itu kemudian diresmikan oleh Ibu Negara, Fatmawati Soekarno di Gedung SBKA Manggarai, Jakarta, pada 10 maret 1956. Ibu dari Megawati Soekarnoputri itu berharap kehadiran PARFI dapat membawa perfilman nasional naik daun. Dan pada musyarawah pertama Suryo Sumanto dipilih sebagai ketua umum PARFI.

“PARFI merupakan organisasi yang cukup tua. Berdiri pada tanggal 10 Maret 1956 di Gedung SBKA Manggarai, Jakarta. Peresmiannya dilakukan oleh lbu Negara Fatmawati Soekarno. Sejak awal berdiri, PARFI sudah diniatkan untuk menjadi organisasi profesi yang bisa menyumbangkan darma bakti.”

“Guna mewujudkan cita-cita memajukan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Organisasi PARFI diharapkan mampu menjadi pilar membangun kekuatan para artis untuk memiliki komitmen dan ikut memajukan Perfilman Nasional,” terang Jenny Rachman sebagaimana ditulis Alberthiene Endah dalam buku Jejak Batin Jenny Rachman: Kutemukan Ridha-Nya (2010).