Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 29 tahun yang lalu, 29 Maret 1993, Gedung Arsip Nasional ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Penetapannya dilakukan pemerintah DKI Jakarta karena telah berusia lebih dari 100 tahun. Bangunan itu jadi saksi sejarah perkembangan Jakarta dari masa penjajahan Belanda.

Dahulunya Gedung Arsip adalah vila peristirahatan mewah milik seorang Gubernur Jenderal Belanda. Setelahnya, gedung itu sempat berganti pemilik berkali-kali, sebelum akhirnya menjadi markas Arsip Nasional RI.

Kehidupan pemukim Belanda di Batavia penuh dinamika. Kebiasaan hidup berhemat dan tak suka pamer di negeri Belanda justru ditinggalkan. Di Batavia, mereka hidup bak seorang raja. Kemewahan dan foya-foya jadi ajian mereka.

Nyatanya, perilaku itu mencontoh langsung gaya hidup gubernur jenderal mereka. Pendapatan gubernur jenderal yang lebih besar di banding pembesar di Belanda adalah muaranya. Realita itu buat mereka jadi suka pamer dan feodal. Mereka memamerkan segala hal. Dari pesta hingga rumah. Seorang gubenur jenderal enggan hidup dalam rumah yang kecil. Gubernur Jenderal VOC, Reinier de Klerk (1777-1780), misalnya.

Lukisan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Reinier de Klerk. (Wikipedia)

Reinier de Klerk punya vila peristirahatan mewah. Vila Molenvliet, namanya. Reinier de Klerk membangun villa itu semasa dirinya menjabat sebagai anggota Dewan Hindia pada 1760. Pemilihan lokasi pembangunan rumah pada saat itu dinilai amat ideal. Reiner de Klerk paham benar jika kawasan Molenvliet (kini: kawasan yang melintang dari Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk) dikenal sebagai kawasan tempat tinggal elite di Batavia pada abad ke-18.

“Bangunan rumah induk termasuk gaya tertutup atau closed dutch style. Disebut tertutup karena tidak mempunyai serambi muka atau belakang yang terbuka seperti lazimnya di daerah tropis. Namun demikian, rumah ini disesuaikan dengan iklim tropis, dengan langit-langit tinggi dan lantai bermarmer atau berubin. Walaupun dibangun sebagai rumah peristirahatan di luar kota, namun gedung bertingkat dua ini tampak sebagai rumah kota milik seorang kaya.”

“Bagian mukanya yang tegak rata dengan tujuh jendela besar di lantai dua dan tiga jendela pada setiap sisi pintu masuk menekankan simetri seluruh bangunan ini. Tak ada banyak hiasan. Keempat sisi atapnya yang besar itu menjorok ke luar. Kesan agak tegas dikuatkan oleh pemugaran sesudah rumah ini digunakan sebagai pantai asuhan,” cerita tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2007).

Berganti-ganti Fungsi

Reinier De Klerk pun memanfaatkan betul rumah mewahnya. Ia tak hanya menjadikan Vila Molenvliet sebagai kediaman, tapi juga kantor. Banyak orang yang ingin berurusan dengannya datang langsung ke Vila Molenvliet.

Hidup De Klerk tak sendiri. Di Vila Molenvliet, ia ditemani pula oleh 200 budak yang memanjakannya. Pun 16 di antaranya adalah budak yang mampu bermain musik untuk menghibur tamu-tamunya.

Selepas Reiner de Klerk meninggal pun, nuansa kemewahan Vila Molenvliet tetap terjaga. Vila itu sempat berpindah tangan berkali-kali.  Sempat pula berubah fungsi dari rumah tinggal ke panti asuhan yatim piatu pada 1900. Baru setelah Indonesia merdeka fungsi bangunan berubah menjadi Gedung Arsip Nasional.

Vila Molenvliet sebelum difungsikan sebagai Gedung Arsip Nasional. (Wikimedia Commons)

Demi menjaga eksistensinya, pemerintah DKI Jakarta untuk pertama kali menetapkan bangunan itu sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi pada 29 Maret 1993. Kemudian, dikeluarkan pula penetapannya kembali pada 16 Juni 1998.

“Sejak bulan November 1998 , bangunan cagar budaya ini dikelola oleh Yayasan Gedung Arsip Nasional dengan Direktur Eksekutip pertamanya Tamalia Alisyahbana,” tutup Thomas B. Ataladjar dalam buku Toko Merah (2003).

Begitulah catatan sejarah hari ini tentang latar belakang Gedung Arsip Nasional, salah satu ikon bangunan indah di Jakarta.