JAKARTA - Kepala Bidang Perlindungan Budaya Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Norviadi Setio Husodo menyebut gedung utama Kejaksaan Agung yang terbakar belum terdaftar sebagai bangunan cagar budaya.
Namun, kata Norviadi, proses renovasi gedung Kejaksaan Agung tetap melalui prosedur yang sama dengan renovasi cagar budaya.
"Di dokumen Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 475 tahun 1993 yang berisi penetapan bangunan cagar budaya, memang gedung itu belum terdaftar di SK tersebut. Meskipun belum tercatat sebagai cagar budaya tapi perlakuannya sama," kata Norviadi saat dihubungi, Senin, 24 Agustus.
Dalam SK 475/1993, dinyatakan kegiatan memugar, memperbaiki, mengubah bentuk, mengubah warna, mengganti elemen bangunan, memindahkan, membongkar dan sebagainya harus dengan izin Gubernur DKI Jakarta.
Norviadi menjelaskan, alasan gedung Kejaksaan Agung mesti direnovasi menggunakan prosedur cagar budaya dan memerlukan konsultasi dengan tim khusus, karena gedung itu masuk dalam kawasan pemugaran Kebayoran Baru.
"Dari Pemprov nanti ada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan ada TSP. Jadi, enggak bisa dihitung (renovasi) ini harus berapa hari untuk perbaikannya. Lagipula, itu gedungnya sangat besar,” jelasnya.
BACA JUGA:
Kemudian, jenis bangunan pada gedung Kejaksaan Agung adalah bangunan tua atau heritage. Sehingga, dalam proses renovasinya juga harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan struktur bangunan yang ada.
"Informasinya, (gedung Kejakasaan Agung) dibangun sekitar tahun 1960-an oleh FX Silaban. Gedung berusia di atas 50 tahun itu masuk kriteria (cagar budaya) dan gedung ini juga berada di kawasan pemugaran," jelas dia.
Gedung Kejaksaan Agung terbakar pada Sabtu, 22 Agustus pukul 19.10 WIB. Diduga api berasal dari lantai enam. Penyebab kebakaran diselidiki polisi.