Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 28 Januari 1892 pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Landarchief -cikal bakal Arsip Nasional Republik Indonesia- untuk menampung seluruh arsip Belanda di Nusantara. J.A. van der Chijs kemudian diangkat sebagai landsarchivaris (arsiparis negara).

Upaya itu untuk memudah kerja Belanda. Sebagai bahan pengambilan keputusan hingga kebijakan. Sebelumnya, Belanda terkenal peduli dengan keberlanjutan dari arsip-arsip bersejarah. Mereka kerap mencatat segala macam aktivitas secara komprehensif.

Fungsi arsip sebagai pusat ingatan manusia tak dapat diganggu gugat. Peran arsip cukup vital bagi suatu bangsa dan negara. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels menyadari hal itu. Baginya, arsip memiliki peran signifikan dalam suatu pemerintahan.

Utamanya, dalam suatu pengambilan keputusan dan kebijakan. Daendels pun memilih melindungi arsip-arsip milik pemerintah Hindia Belanda. Langkah itu ia lakukan dengan cara memindakan arsip dengan hati-hati saat pusat kekuasaan dari Oud Batavia (Batavia lama) berpindah ke kawasan Weltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banteng).

Landarchief atau Arsip Nasional, dibentuk pemerintah Hindia Belanda pada 28 Januari 1892 menempati gedung bekas rumah Gubernur Jenderal VOC, Reynier de Klerk. (Wikimedia Commons)

Kepedulan terhadap arsip lalu dilanjutkan ketika Thomas Stamford Raffles menjadi orang nomor satu di Hindia Belanda. Arsip-arsip itu dipandangnya memiliki nilai guna yang tinggi. Alih-alih hanya untuk merumuskan kebijakan, Raffles menggunakan arsip itu untuk membuat suatu mahakarya besar. The History of Java, namanya.

Buku itu menegaskan tiada orang lain di dunia ini yang mengenal Jawa luar dalam selain dirinya. Semenjak itu pemeliharaan arsip digalakkan. Arsip-arsip yang ada disimpan dengan baik dan supaya dapat diakses ketika diperlukan.

“Selama masa pemerintahan selang orang Inggris (1811-1816) dan sesudahnya, Pastor P. Wedding (pustakawan) secara resmi bertindak sebagai pengelola arsip. Tetapi pada kenyataan sejak tahun 1814 sampai dengan 1826 tugas itu dilakukan oleh seorang juru tulis kearsipan bernama D.A. Tempel. Dengan keputusan tanggal 19 Februari 1819 no. 19, pengawasan arsip-arsip lama menjadi tanggung jawab langsung sekretaris umum.”

“Keputusan ini tetap berlaku sampai pengangkatan J.A. van der Chijs menjadi landsarchivaris. Pada 1819 dikeluarkan juga keputusan untuk memindahkan arsip-arsip Belanda yang lama dari Gedung Gubernemen di Molenvliet (jalan Gajah Mada) ke loteng gudang persediaan di kawasan kota,” terang G.L. Balk dan kawan-kawan dalam buku The Archives of the Dutch East India Company VOC and the Local Institutions in Batavia (2007).

Kepedulian terkait arsip semakin diseriusi ketika masa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Cornelis Pijnacker Hordijk (1888-1893) berkuasa. Ia tak ingin setengah-setengah menjaga arsip. Sebab, dokumen itu takkan tergantikan.

Ia mendirikan sebuah lembaga yang khusus merawat arsip-arsip milik pemerintah Hindia-Belanda pada 28 Januari 1892. Landarchief, namanya. Belanda juga mengangkat J.A. van der Chijs sebagai landsarchivaris. Pun kantornya sempat berpindah-pindah sebelum akhirnya menempati Vila Molenvliet (kini: Gedung ANRI).

Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia saat ini difungsikan sebagai Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan, ruang pameran, atau disewakan sebagai tempat pesta. (Wikimedia Commons)

Lembaga yang kemudian menjadi cikal-bakal Arsip Nasonal Republik Indonesia (ANRI) ini disambut dengan baik. Karenanya, arsip-arsip yang ada dari fase awal penjajahan Belanda bisa terjaga hingga hari ini.

“Arsip Nasional sudah berusia lebih 100 tahun. Pertama, didirikan Pemerintah Hindia Belanda 28 Januari 1892 dengan nama Landarchief. Hingga tahun 1942 lembaga ini dipimpin oleh empat orang Belanda; yang terkenal adalah Dr. F. de Haan (1905-1922) yang karyanya sering dijadikan referensi.”

“Pada pendudukan Jepang, instansi ini berganti nama menjadi Kobunsjokan. Meski saat itu tidak ada penambahan arsip, namun kantor ini menjadi penting bagi orang-orang (indo) Belanda yang ingin mengetahui asal-usul keturunannya. Mereka bisa bebas dari tawanan Jepang, jika dapat menunjukkan bukti keturunan orang Indonesia meski bukan hasil pernikahan,” ungkap Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar manipulasi sejarah (2009).