Komunikasi Bung Karno dan Fidel Castro Soal Peristiwa G30S dalam Sejarah Hari Ini, 26 Januari 1966
Bung Karno dan Fidel Castro di Havana, Kuba pada 1960. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 26 Januari 1966, Presiden Soekarno menulis surat untuk sahabatnya pemimpin Kuba, Fidel Castro. Isinya Bung Karno mengajak Perdana Menteri Kuba itu tak khawatir dengan isu pembantaian imbas Gerakan 30 September (G30S).

Sebelumnya, Castro menyatakan keprihatianannya kepada segenap rakyat Indonesia atas terjadinya G30S. Peristiwa berdarah itu bermula dari penculikan dan pembunuhan Jenderal TNI Angkatan Darat (AD). Imbasnya, melebar ke mana-mana. Pembersihan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satunya.

Penculikan dan pembunuhan sederet Jenderal TNI AD adalah awal mula peristiwa G30S. Kejadian itu buat seisi Indonesia gempar. G30S dianggap tak berprikemanusiaan. Amat keji. Apalagi G30S digadang-gadang memiliki misi untuk menggulingkan pemerintahan Orde Lama.

PKI kemudian disebut-sebut sebagai dalang utama kejadian. Rakyat pun tak tinggal diam. Mereka meminta Soekarno segera menindak tegas PKI. Namun, Putra Sang Fajar tak kunjung beraksi. Aksi demonstrasi berjilid-jilid pun dilangsungkan di berbagai tepat sebagai bentuk ketidakpuasan.

Segenap rakyat pun mulai memburu simpatisan PKI. Upaya pembersihan PKI semakin masif dilakukan semenjak narasi kekejaman PKI terhadap segenap jenderal mengemuka lewat media massa. PKI dianggap sebagai musuh dari Indonesia.

Bung Karno dan Fidel Castro dikenal punya hubungan sangat dekat, bahkan Presiden Kuba itu banyak belajar dari Bung Krno soal membentuk dan mengatur sebuah negara. (Istimewa)

Kondisi itu membuat Soekarno berang. Ia tak mau gegabah dengan langsung ambil sikap. Ia menanti bukti bahwa PKI benar terlibat dalam gerakan. Jika terlibat Soekarno akan membubarkan PKI. Janji itu terus diucapnya tiap ada kesempatan.  

“Nah, itu yang saya lihat di Indonesia, saudara-saudara, sesudah 30 September. Kita gontok-gontokan satu sama lain, bakar-membakar semangat satu sama lain, sampai saya mengancam pada waktu itu di Bogor, Sidang Paripurna Kabinet, hayo, kalau ada golongan yang membakar-bakar semangat, saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sebagai apa, sebagai Pemimpin Rakyat Indonesia ini, Pemimpin Bangsa Indonesia ini, yang merasa bertanggung jawab atas kesatuan bangsa Indonesia, golongan yang membakar semangat akan saya bubarkan.”

“PNI, kalau membakar semangat, saya bubarkan! Partindo, kalau membakar semangat, yaitu mengajak gontok-gontokan, saya bubarkan! PKI apalagi, kalau umpamanya membakar semangat, saya bubarkan! IPKI, saya bubarkan! PNI lagi saya bubarkan! IPKI, saya bubarkan! Semua partai-partai yang mengajak gontok-gontokan, against ourselves saudara-saudara, antara bangsa kita dengan bangsa kita, saya bubarkan,” ungkap Soekarno dalam amanatnya pada Sidang Pembukaan Pimpinan MPRS ke-10 di Istana Negara, 6 Desember 1965, sebagaimana disusun Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam buku Revolusi Belum Usai (2014).

Nyatanya, tensi panas G30S tak melulu jadi perhatian seisi Indonesia, tapi juga seisi dunia. Fidel Castro, misalnya. Pemimpin Kuba itu bahkan langsung bersurat ke pemerintah Indonesia untuk menanyakan terkait G30S. Utamanya perihal pembersihan simpatisan PKI.

Presiden sekaligus pemimpin besar revolusi Indonesia, Soekarno. (Wikimedia Commons)

Soekarno pun menanggapi kekhawatiran Fidel Castro. Ia langsung menulis surat untuk Fidel Castro pada 26 Januari 1966. Ia meminta Fidel Castro tak perlu khawatir. Bung Karno mengutus Duta Besar Indonesia untuk Kuba, A.M. Hanafi untuk menjelaskan langsung ke Castro sekaligus membawa suratnya.

“Saya mengerti keprihatinan saudara mengenai pembunuhan-pembunuhan di Indonesia, terutama sekali jika dilihat dari jauh memang apa yang terjadi di Indonesia yaitu apa yang saya namakan Gerakan Satu Oktober (Gestok) –nama lain G30S-- dan yang kemudian diikuti oleh pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh kaum kontrarevolusioner adalah amat merugikan Revolusi Indonesia.”

“Tetapi, saya dan pembantu-pembantu saya berjuang keras untuk mengembalikan gengsi pemerintahan saya dan gengsi Revolusi Indonesia. Perjuangan ini membutuhkan waktu dan kegigihan yang tinggi. Saya harap saudara mengerti apa yang saya maksudkan, dan dengan pengertian itu membantu perjuangan kami,” ungkap Soekarno dalam suratnya sebagaimana dikutip A.M. Hanafi dalam buku A.M. Hanafi Menggugat (1998).