Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 71 tahun yang lalu, 26 Juli 1953, revolusi Kuba dimulai. Peristiwa itu ditandai dengan Fidel Castro membangun gerakan perlawanan Movimiento 26 de Julio alias M-26-7. Fidel merasa pemerintahan Presiden Kuba, Fulgencio Batista banyak mudarat, ketimbang manfaat.

Sebelumnya, pemerintahan Batista sempat membawa harapan. Pembangunan dijalankan. Kesejahteraan pegawai dipikirkan. Belakangan kehidupan rakyat Kuba jadi sulit. Korupsi di mana-mana dan pemerintahan berjalan bak boneka Amerika Serikat (AS).

Jenderal Ruben Fulgencio Batista Zalvidar tak bisa dihilangkan dari sejarah Kuba begitu saja. Namanya sempat mentereng karena memimpin kudeta pada 1933 dan berhasil. Peristiwa itu dikenal dengan Revolusi Para Sersan.

Sosoknya kesohor masuk dunia politik Kuba. Ia menjelma jadi Kepala Angkatan Perang Kuba. Suatu posisi yang sulit digoyang banyak pihak. Ia bahkan mampu mengendalikan Presiden Kuba. Namun, masalah muncul. Ia tak puas. Batista ingin memimpin sendiri Kuba.

Fidel Castro saat berkunjung ke Rumania disambut Presiden Nicolae Ceausescu di Bucharest pada 1972. (Wikimedia Commons)

Kekuasaan dan militer sudah dimilikinya. Kondisi itu membuatnya ikut pemilu dan menang. Batista jadi Presiden Kuba era 1940-1944. Pemerintahan Batista mengusung narasi perubahan. Ia membawa Kuba menjadi sekutu penting Amerika Serikat (AS).

Ia menyediakan ragam kebutuhan AS. Tujuannya supaya pemerintahannya didukung Negeri Paman Sam. Ia mulai membangun banyak hal. Ia juga tak lupa meningkatkan hajat hidup rakyat Kuba dengan menaikkan gaji pegawai pemerintahan hingga militer.

Sisi buruknya kuba dibawa jadi represif. Kuba seakan jadi boneka AS. Puncaknya Korupsi muncul di mana-mana. Jabatannya sebagai presiden berakhir pada 1944. Nafsu kuasa Batista lalu terhambat aturan konstitusi Kuba bahwa presiden yang baru selesai menjabat tak bisa mengikuti pemilu selama delapan tahun.

Batista baru bisa mencalonkan diri kembali sebagai Presiden pada 1952. Namun, Batista justru ambil jalan pintas. Ia yang memiliki kekuatan militer mengelar aksi kudeta kepada kekuasaan Presiden Carlos Prio Socarras beberapa bulan sebelum pemilu pada 1952. Batista resmi jadi presiden kembali.

“Selama beberapa tahun berikutnya, Batista memimpin serangkaian militer dan menangguhkan jaminan konstitusional dan Kongres, melarang pemogokan, dan membatalkan pemilihan umum. Ia mengonsolidasikan kekuasaannya dengan merayu polisi dan tentara dengan gaji yang lebih besar. Pada tanggal 4 April 1952, beberapa hari setelah Amerika Serikat mengakui rezimnya, ia mengambil sumpah jabatan sebagai Presiden,” tertulis dalam surat kabar The New York Times berjudul Batista, Ex‐Cuban Dictator, Dies in Spain (1973).

Alih-alih mendapatkan dukungan, aksi kudeta Batista justru dibenci banyak pihak. Pemerintahannya sebelumnya dianggap sering abai dengan kepentingan rakyat. Kepemimpinannya kali ini dicurigai akan membawa banyak mudarat.

Gelora protes secara resmi dilayangkan Fidel Castro dan pejuang revolusioner yang lain. Protes itu tak didengar. Fidel Castro pun memilih perjuangan dengan cara lain. ia ingin menggelorakan revolusi dengan angkat senjata. Ia mengumpulkan pemuda-pemuda progresif untuk menentang kuasa Batista.

Puncaknya, Castro mendirikan gerakan perlawanan Movimiento 26 de Julio alias M-26-7 (Gerakan 26 Juli) pada 26 Juli 1953. Gerakan itu dianggap sebagai titik awal revolusi Kuba. Castro mencoba melakukan upaya penggulingan Batista.

Fidel Castro di tengah masyarakat Kuba di Havana. (Wikimedia Commons)

Mereka kemudian melakukan penyerangan ke pangkalan militer terbesar kedua di Kuba, barat Moncada di Santiago de Cuba. Penyerangan itu memang gagal. Namun, keberanian Castro memunculkan suatu kekuatan baru. Gerakan 26 Juli pun mulai didukung banyak orang.

Che Guevara pun ikut bergabung dan mematangkan pergerakan. Kemajuannya kian pesat. Pasukannya kian bertambah. Puncaknya, kekuasaan Batista baru benar-benar dihancurkan pada 1959. Revolusi Kuba pun dirangkumkan dengan Fidel Castro jadi pemimpin Negeri Cerutu.  

“Serangan itu gagal total, dan banyak mantan pemberontak ditangkap dan dibunuh. Castro sendiri selamat, dan menyampaikan pidato penting dari dermaga: sejarah akan membebaskan saya. Pidato itu  menguraikan program politiknya.”

“Pidato itu menjadi teks klasik Gerakan 26 Juli yang kemudian ia organisasikan. Castro menggunakan serangan Moncada yang gagal sebagai seruan untuk menyatukan oposisi anti-Batista menjadi satu kekuatan politik,” ujar Richard Gott dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul Fidel Castro Obituary (2016).