JAKARTA - Tukang becak pernah dianggap benalu perkembangan Jakarta. Kehadiran becak jadi muara Jakarta dikaitkan dengan kemiskinan. Apalagi hadirnya tukang becak buat pemerintah DKI Jakarta kesulitan menghadirkan transportasi umum modern.
Ali Sadikin geram bukan main. Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 itu melanggengkan upaya pembersihan tukang becak. Dari melarang pembuatan becak baru hingga menangkap empunya becak. Semua itu untuk membangun Jakarta sebagai Kota Metropolitan.
Kota Jakarta bak tak pernah kehilangan daya tariknya. Bahkan, sejak masa penjajahan Belanda. Jakarta yang kala itu bernama Batavia menjadi tujuan hidup banyak orang. Dari bangsa Belanda hingga China. Anggapan tersedianya banyak lapangan kerja jadi musababnya.
Semua karena Batavia dikenal amat masyur sebagai ladang bisnis rempah. Pun sebagai kota tempat beragam etnis bangsa datang dan beranak-pinak. Reputasi itu nyatanya berlangsung hingga Indonesia merdeka.
Jakarta tetap menjadi salah satu kota spesial di Nusantara. Segala macam kejadian bersejarah penting terjadi di Jakarta. Dari Sumpah Pemuda, lahirnya Pancasila, hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kondisi itu dilegitimasi dengan terpilihnya Jakarta sebagai ibu kota negara.
Status ibu kota membuat banyak orang dari berbagai wilayah Nusantara datang untuk mengadu nasib. Awalnya sendiri, tapi lama-kelamaan membawa sanak famili. Namun, tak semua yang datang ke Jakarta diberkati dengan keterampilan mumpuni.
Kebanyakan justru terjebak bekerja kasar dan kehidupannya berakhir sebagai gelandangan. Tukang becak, misalnya. Profesi itu dianggap membawa pengaruh buruk bagi Jakarta. Tukang Becak dianggap sebagai profesi yang menyuburkan angka gelandangan di Jakarta. Apalagi tukang becak dianggap menyumbang imej Jakarta erat dikaitkan dengan kemiskinan. Ali Sadikin pun geram bukan main.
“Pembendungan ini perlu dilakukan. Jakarta sendiri sudah demikian padatnya, dan sulit mendapatkan perumahan di ibu kota ini. Sebagian dari penduduk luar ibu kota datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Sesampainya di Jakarta mereka ternyata tak bisa apa-apa, tak menemukan pekerjaan, dan akhirnya menjadi gelandangan.”
“Dalam pada itu memang ada sebagian dari mereka yang bisa menemukan pekerjaan, sebagai tukang becak dan serupa itu, tapi mereka tak menemukan tempat berlindung, dan akhirnya mereka menjadi gelandagan juga. Pendek kata gelandangan di ibu kota merupakan masalah yang serius. Jumlahnya besar sekali,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Operasi Pembersihan Becak
Kegeraman Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin terhadap tukang becak beralasan. Sosok yang tegas itu menyebut tukang becak telah membawa masalah serius bagi Jakarta. Tukang becak dianggap sebagai biang keladi kemacetan. Kadang pula disebut sebagai pekerjaan yang kurang manusiawi.
Apalagi profesi sebagai tukang becak nyatanya mampu mendatangkan banyak orang luar Jakarta untuk menetap dan jadi gelandangan. Semua karena tiada kriteria khusus untuk jadi tukang becak. Barang siapa yang sehat jasmani dapat menjadi tukang becak.
Kondisi itu dianggapnya membuat perkembangan transportasi modern di Jakarta terhambat. Ali Sadikin pun mencoba memberi solusi. Ia menggelorakan operasi pembersihan becak pada 1970. Operasi itu dilanggengkan supaya profesi sebagai tukang becak segera ditinggalkan. Pun sebagai peringatan kepada pendatang supaya lebih memilih hidup di kampung dibanding ke Jakarta.
Operasi pembersihan berjalan tak mulus-mulus saja. Tantangannya ada banyak. Demikian pula, tentangannya. Kala itu, transportasi becak sudah jadi primadona di kalangan masyarakat Jakarta. Apalagi bagi mereka yang hidup di kampung-kampung Jakarta.
Becak dapat keluar masuk kampung dengan mudah tak seperti transportasi umum seperti bus. Upaya itu pun mendapat pro dan kontra, terutama di kalangan tukang becak yang kala itu mencapai ratusan ribu orang.
Namun, Ali Sadikin tak peduli. Ia menganggap idenya adalah untuk keberlangsungan hidup di Kota Metropolitan dan membasmi segala macam kekumuhan. Operasi pembersihan becak pun dikuatkan dengan keluarnya Peraturan Daerah No. 4 Tahun 1972.
Peraturan itu menegaskan becak tak laik jalan di Jakarta. Pembersihan becak pun terus dilakukan sekalipun kemudian Ali Sadikin sudah tak menjabat sampai Jakarta secara paripurna terbebas dari becak.
“Pada 1970, terdapat 92.650 becak yang terdaftar secara resmi di Jakarta; secara tidak resmi jumlahnya diperkirakan mencapai 150 ribu. becak yang dikayuh minimal dalam dua giliran setiap harinya menyediakan pekerjaan untuk sekitar 300 ribu orang yang secara konservatif diperkirakan menghidupi 900 ribu orang lainnya.”
“Jadi, sekitar 1,2 juta orang kehidupannya bergantung pada becak. Sebagai langkah pertama menghapus becak, pada 1970 Ali Sadikin melarang pembuatan becak baru. Setahun kemudian, ia mulai membatasi daerah-daerah operasi becak. Polisi melakukan penggerebekan terhadap becak-becak yang berada di daerah terlarang dan menyita kendaraannya,” ungkap Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011).