JAKARTA - Gerombolan penarik becak pernah jadi bagian penting tumbuh kembang Kota Jakarta. Mereka menjelma bak juru selamat terbatasnya transportasi di era 1950-1960-an. Bahkan, becak jadi kendaraan favorit warga dan wisatawan melancong.
Semua berubah ketika Jakarta mulai padat. Pun penarik becak mulai banyak. Kondisi itu membuat penarik becak sulit ditertibkan. Mereka kerap melanggar aturan lalu lintas. Bergerak lawan arah, apalagi. Pemerintah DKI Jakarta lalu melihat mereka bak musuh bebuyutan.
Dulu kala, pada saat Jakarta belum padat becak pernah jadi primadona. Transportasi yang mengandalkan kekuatan fisik ini banyak sekali digunakan warga Jakarta pada era 1950-an. Warga Jakarta tak perlu mengeluarkan kocek lebih dalam untuk naik becak.
Biaya naik becak relatif murah. Sekalipun akan mahal jika jarak yang ditempuh jauh dan hujan. Tetap saja, narasi itu tak membuat pelanggannya berkurang. Kebutuhan akan transportasi becak terus meningkat. Sebab, tiada lagi transportasi yang dapat diandalkan.
Becak lihai masuk keluar kampung dengan cepat. Becak pun mampu menaikkan dan menurunkan penumpang sesuka hati penariknya. Keungulan itu hanya dapat disaingi oleh sepeda. Apalagi kemudian becak ikut difavoritkan wisatawan sebagai kendaraan favorit melancong keliling Jakarta.
Keunggulan lain becak adalah dapat diandalkan dalam tiap hajatan. Utamanya, becak jadi langganan dalam ritus hidup orang Betawi. Orang-orang beramai-ramai menyewa becak untuk segala macam kebutuhan hajatan seperti mengiring penganten hingga sunatan.
Pejabat negara era 1960-an juga banyak yang menggunakan becak. Wardiman Djojonegoro, salah satunya. Ia kerap mengunakan becak dalam aktivitas sehari-hari kala masih menjabat sebagai pejabat Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo: salah satu bekas BUMN).
Sosok yang kemudian dikenal sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era 1993-1998 suka sekali menggunakan becak. Ia menyebut becak trasportasi yang cepat dan dapat diandalkan.
“Tahun 1960-an, Jakarta masih sepi, suasana lalu lintas masih lengang, transportasi masih sangat minim. Dari Bapindo ke Departemen Perhubungan Laut berjarak sekitar 2 kilometer, saya biasanya naik becak. Mungkin melihat saya sehari-hari datang ke Departemen Perhubungan Laut menumpang becak, tidak saya duga sama sekali, Pak Tobing berkata dengan logat Bataknya yang khas.”
“Susah juga rupanya kau datang ke sini selalu pakai becak. Padahal saya merasa tidak ada kendala untuk datang dengan naik becak. Supaya lebih cepat Pak, lagi pula tidak jauh,” terang Wardiman Djodjonegoro dalam buku Sepanjang Jalan Kenangan (2016).
Musuh Bebuyutan
Perkembangan Kota Jakarta terhitung cepat. Lalu lintas yang mulanya sepi mulai ramai dan padat memasuki era 1970-an. Ramai lalu lintas itu juga ditandai dengan semakin banyaknya penarik becak yang mengais rezeki di Jakarta.
Mereka menganggap Jakarta bak negeri impian bekerja. Nyatanya, banyaknya gerombolan penarik becak mulai menghadirkan ragam masalah. Gubernur DKI Jakarta era 1966-1977, Ali Sadikin merasakan penarik becak sudah mulai mengganggu lalu lintas Jakarta.
Bahkan Ali Sadikin menyebut kehadiran becak memunculkan 1001 masalah di Jakarta. Alih-alih hanya bikin macet, penarik becak dianggap arogan di jalanan. Penarik becak bertindak semaunya. Utamanya, urusan melawan arah. Padahal tindakan itu dapat merugikan kedua belah pihak hingga hilangnya nyawa.
Semenjak itu pemerintah DKI Jakarta dan penarik becak bak musuh bebuyutan. Empunya kuasa mulai menertibkan penarik becak. Ali pun memilih opsi menyingkirkan secara perlahan penarik becak. Zona bebas becak pun ditetapkan. Sebab, Jakarta tak ingin dibuat semrawut seperti kota di India, Kolkata.
Masalah itu tak kunjung selesai sekalipun Ali Sadikin sudah lengser dari jabatannya. Penggantinya Tjokropranolo yang menjabat 1977-1982 justru berbeda dari Ali. Tjokropranolo justru bersikap 'manis' dengan memberi ruang penarik becak. Pun sampai pemerintahan dilanjutkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Raden Soeprapto yang menjabat 1982-1987.
Perubahan baru muncul kala Wiyogo Atmodarminto mengambil alih kepemimpinan. Gubernur DKI Jakarta era 1987-1992 itu menjadikan kembali becak bak musuh bebuyutan. Ia ingin Jakarta bersih dari becak. Kebijakannya membuat eksistensi transportasi itu berkurang banyak dan perlahan-lahan mulai redup di tahun-tahun berikutnya.
“Saya umumkan bahwa tidak dibenarkan lagi, pembuatan becak baru. Saya larang. Pemerintah DKI Jakarta waktu itu sedang mengintensifkan penertiban angkutan umum di Ibu Kota, termasuk operasi becak, oplet, dan bemo. Masih saja banyak tukang becak yang melanggar peraturan lalu lintas. Hingga saya terpaksa menyatakan: tindak saja tukang-tukang becak yang melanggar itu. Dan jangan biarkan abang-abang becak bertindak semaunya. Mereka kesenggol sedikit saja sudah main serbu dan keroyok. Tapi sebaliknya, kalau dia menabrak, waduh maunya mereka menang.”
“Kalau saya tidak bertindak memberikan ajaran budi pekerti kepada mereka, sayalah yang salah. Seperti kalau saya membiarkan anak saya berbuat salah, sayalah yang salah. Saya merasa kita keluarga besar. Kita membiarkan kacau atau berusaha memperbaiki keadaan? Saya tegas memilih yang kedua,” terang Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).