Belanda Resmi Monopoli Perdagangan Lada di Banten dalam Sejarah Hari Ini, 22 Agustus 1682
Potret wilayah Kesultanan Banten di masa lampau. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 341 tahun yang lalu, 22 Agustus 1682, Maskapai Dagang Belanda, VOC resmi monopoli perdagangan lada di Banten. Narasi itu tertuang dalam perjanjian khusus yang ditandatangani Kompeni dengan calon penguasa Kesultanan Banten yang baru, Sultan Haji.

Sebelumnya, Kompeni kerap menggunakan taktik Devide et Impera (politik adu domba) untuk melawan kerajaan lokal. Banten pun jadi salah satu targetnya. Belanda kemudian membantu Sultan Haji melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

Kompeni pernah kelimpungan melawan Kesultanan Banten. Kapasitas Kompeni yang memiliki armada perang nyatanya tak terlalu berpengaruh. Perang diyakini bukan jawaban tepat kala melawan Sultan Ageng Tirtayasa.

Kegagalan itu dipicu karena Sultan Ageng Tirtayasa memiliki jaringan dukungan yang luas. Dari dukungan Inggris hingga kerajaan Nusantara lainnya. Alih-alih membawa keberhasilan, perang pun mendatangkan kerugian yang amat besar bagi Kompeni maupun Banten.

Satu jalan keluar pun dipilih. Keduanya sepakat melanggengkan perjanjian damai gencatan senjata sementara waktu pada 10 Juli 1659. Perjanjian itu membuat kedua belah pihak untuk sama-sama membangun ekonomi dan pasukan kembali.

Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1680-1684. (Wikimedia Commons)

Kompeni tak kuasa melihat Kesultanan Banten terus berkembang. Muncul kembali niatan untuk menguasai Banten. Mereka melanggengkan strategi perlawanan yang baru. Devide et Impera, namanya. Politik adu domba itu membuat Kompeni di bawah kuasa Cornelis Speelman gencar mendekati anak dari Sultan Agung Tirtayasa, Sultan Haji.

Pendekatan itu membawakan hasil. Sultan Haji dan VOC mulai melancarkan rencana menggulingkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Ajian itu digadang-gadang membawa keberhasilan. Sultan Ageng Tirtayasa kini tak hanya menjadikan Kompeni sebagai musuh, tetapi juga anaknya, Sultan Haji.

“Sultan Muda (Sultan Haji) ini tidak kurang fanatik tapi juga kurang berani dibandingkan ayahnya. Tapi dia juga ambisius dan ingin cepat naik takhta. Karena itu dia mencari persahabatan dengan orang Belanda, dan ketika perang saudara pecah di kalangan para partisan keduanya, dia memanggil Belanda.”

“Kali ini tidak ada keraguan sedikit pun di Batavia, di mana van Goens, setelah tiga tahun memerintah, telah digantikan sebagai Gubernur Jenderal oleh Cornelis Speelman (1681-1684). Praktis semua rakyat Banten mendukung Sultan Ageng Tirtayasa melawan putranya, tapi pasukan Sultan tua itu tak kuasa menahan serdadu Kompeni yang berpengalaman,” ujar Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).

Sultan Ageng Tirtayasa tak mudah menyerah. Ia terus melanggengkan perlawanan. Pun di tengah perang itu Sultan Haji yang berada di atas angin turut melanggengkan perjanjian baru dengan Belanda pada 22 Agustus 1682.

Perkebunan lada yang menjadi komoditas penting perdagangan rempah di masa lalu. (Wikimedia Commons)

Sultan Haji memberikan hak monopoli perdagangan lada di Banten kepada Kompeni. Karenanya, kekuatan Sultan Ageng Tirtayasa mulai digembosi hingga Sultan Haji menjadi penguasa baru. Kuasa itu memberikan ruang besar bagi Kompeni mengatur perdagangan lada. Segala macam bangsa yang tadinya berniaga lada –seperti Inggris dan Portugis—mulai dilarang berada di Banten.

“Ketika di Banten terjadi perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang dibantu VOC (Kompeni Belanda) pada 1682, dampaknya terasa sampai di Bengkulu, Rakyat Bengkulu memihak Sultan Ageng Tirtayasa yang mempertahankan kemerdekaannya.”

“Orang Inggris di Bengkulu merupakan bagian dari sejarah Bengkulu. Dengan kalahnya Sultan Ageng Tirtayasa dari Sultan Haji plus VOC Belanda, pada 22 Agustus 1682, Sultan Haji menandatangani perjanjian dengan VOC, yang merugikan kerajaan Banten. Orang Inggris di Banten terpaksa keluar: Mereka menuju Bengkulu. Di sana mereka akan tinggal hingga 1825,” terang Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia (2004).