Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, delapan tahun yang lalu, 21 Agustus 2015, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memulai penggusuran di Kampung Pulo. Penggusuran itu dilanggengkan sebagai bentuk upaya pemerintah mengantisipasi banjir di Jakarta.

Sebelumnya, kuasa Ahok dan pemerintah DKI Jakarta melanggengkan upaya penggusuran dikritik banyak pihak. Pemerintah DKI Jakarta dianggap tak menyediakan solusi bagi kebanyakan warga tergusur. Empunya kuasa terus saja meneruskan aksi penggusuran yang membuat ribuan keluarga tak memiliki tempat tinggal.

Kepemimpinan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah disambut dengan gegap gempita. Mereka dipercaya segenap warga Jakarta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.

Kuasa itu membuat Jokowi-Ahok melanggengkan segala ajian untuk membangun Jakarta. Upaya menanggulangi banjir Jakarta jadi salah satunya. Langkah itu membuat Jokowi-Ahok putar otak. Mereka merencanakan banyak hal. Dari pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) hingga normalisasi Kali Ciliwung.

Upaya melanggengkan ide menanggulangi banjir Jakarta nyatanya tak mudah. Urusan normalisasi Kali Ciliwung, misalnya. Upaya mengembalikan kondisi lebar sungai itu sulit bukan main. Pemerintah DKI terpaksa melanggengkan keputusan sulit berupa penggusuran.

Penggusuran Kampung Pulo Jakarta Timur demi normalisasi Kali Ciliwung untuk mengatasi masalah banjir di DKI Jakarta. (Antara/Rivan Awal Lingga)

Jokowi-Ahok pun melirik akan menggusur tiga RW di Kampung Pulo, Jakarta Timur. Ribuan keluarga diajak mereka untuk mengikuti undian pindah ke Rumah Susun Jatinegara Barat. Langkah itu semakin masif dilakukan ketika Jokowi meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan digantikan Ahok.

“Rendahnya RTH disiasati Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok dengan cara membeli kembali lahan agar bisa digunakan untuk membangun RTH. Selain RTH, Pemprov DKI bahkan berencana membangun Ruang Terbuka Biru (RTB), yakni membangun waduk untuk penampungan air.”

“Bagi Ahok, normalisasi sungai merupakan solusi rasional yang harus diambil. Untuk tujuan tersebut, tempat tingga warga yang menghuni kawasan bantaran kali terpaksa harus digusur, dan Ahok memberikan kompensasi tempat tinggal untuk mereka di rusun yang telah disediakan,” terang Rafif Pamenang Imawan dalam buku Sudah Senja di Jakarta (2020).

Rencana normalisasi Kali Ciliwung pun dikebut. Sekalipun mendapat tentangan warga Kampung Pulo. Mereka merasa pemerintah DKI Jakarta harus membayar ganti rugi. Sedang Ahok menganggap upaya memindahkan warga ke rusun sudah maksimal. Pemerintah DKI tak mampu menanggung ganti rugi banyak karena  tanah yang digunakan membangun dianggap ilegal.

Alhasil, penggusuran kemudian dilanggengkan pada 21 Agustus 2015. Penggusuran itu membuat segenap warga Kampung Pulo dilanda kedukaan. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana rumahnya dihancurkan. Total 260 rumah telah diratakan dengan tanah pada hari pertama. Pun penggusuran itu akan dilanjutkan pada hari kedua dan ketiga.

“Dalam pembongkaran hari kedua, akses jalan dari Kampung Melayu menuju Senen masih diblokade. Arus kendaraan dialihkan ke Jalan Jatinegara Barat 1. Sebagian warga Kampung Pulo justru terlihat asyik menonton saat enam backhoe membongkar rumah mereka. Menurut Narto, warga RW 03 Kampung Pulo, seluruh tetangganya sudah direlokasi ke Rumah Susun Jatinegara Barat.”

“Pembongkaran Kampung Pulo akan berlanjut sampai Rabu mendatang. Sebanyak 519 rumah di Kampung Pulo akan diratakan. Ada 926 keluarga yang terkena penggusuran. Sampai kini, sudah 437 keluarga yang mengambil undian penempatan rumah susun dan 351 keluarga di antaranya sudah mengambil kunci untuk Rumah Susun Jatinegara Barat,” tertulis dalam laporan Koran Tempo berjudul Penggusuran Kampung Pulo Lancar di Hari Kedua (2015).