Bagikan:

JAKARTA - Mimpi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi tentara tiada dua. Kiprah tentara yang gagah membela bangsa dan negara jadi musabab. SBY berusaha menggapai mimpinya sedari masih bersekolah di Sekolah Rakyat. Hasilnya gemilang. Ia kerap didaulat sekolahnya sebagai komandan upacara.

SBY akhirnya mulai merajut mimpi di Angkatan Darat (AD). Siapa sangka SBY kemudian terpilih sebagai komandan upacara Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-49 tahun 1994 di Istana Negara. Kesempatan itu jadi ajang uji nyali di sepanjang karier militer SBY.

Hidup sebagai anak desa tak jadi halangan SBY merajut mimpi. Ia berani mematok impian sebagai tentara. Semuanya karena Sang Ayah, Raden Soekotjo. Laku hidup ayahnya yang mengabdikan diri sebagai tentara jadi inspirasi.

Narasi itu kemudian terbawa kala SBY mulai langgeng sebagai anak sekolah. SBY pun dititipkan Soekotjo kepada pamannya, Sasto Suyitno yang bekerja sebagai Lurah Desa Ploso, Pacitan. Ia dimasukkan ke Sekolah Rakyat (SR) Gajah Mada di Desa Purwosari, Pacitan.

Alih-alih waktu SBY hanya dimanfaatkan dengan banyak bermain, SBY justru tumbuh sebagai pribadi yang senang belajar dan aktif. Segala macam kegiatan sekolah, termasuk kepanduan dan olahraga diikutinya.

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI bersama Paskibraka. (Rumgapres/Abror Rizki)

Keaktifan itu membawakan hasil. SBY tumbuh tinggi dan tegap. Guru-gurunya di SR pun tak menyia-nyiakan fisik dan bakat SBY. Tiap upacara rutin dan hari penting, gurunya kerap mendaulat SBY sebagai komandan upacara.

Popularitas SBY berlanjut. SBY kerap diminta untuk memimpin ucapan salam ketika gurunya masuk kelas. Proses itu membuat SBY tumbuh jadi insan cerdas. Mimpinya sebagai tentara kemudian makin menyala kala liburan tiba.

Semuanya karena ia dan kawan-kawannya berhasil mengunjungi Akademi Militer Nasional: AMN (kini: Akmil) di Magelang. Pengalaman itu jadi momen yang tak terlupakan oleh SBY kecil hingga ia lulus SR pada 1962. Suatu langkah yang jadi pemantik SBY dikemudian hari menimba ilmu di Akmil dan menjadi lulusan terbaik dan berhak menyandang anugerah Adhi Makayasa pada 1973.  

“Diam-diam ia menumbuhkan niat ingin menjadi tentara. Tekadnya ini bertambah kuat ketika ia untuk pertama kalinya mengunjungi Akmil, Magelang, Jawa Tengah. SBY yang waktu itu duduk di kelas 5, sedang menjalani masa liburan sekolah. Ayahnya yang berpangkat bintara Angkatan Darat (akhirnya pensiun sebagai letnan), bersama keluarga mengajak SBY berjalan-jalan wisata ke Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, tempat Akmil berdiri.”

“SBY berujar ia tertarik dengan kegagahan sosok-sosok taruna AMN yang berjalan dan berbaris dengan tegap waktu itu. Ketika rombongan wisata singgah ke Yogyakarta, saya sempatkan membeli pedang, karena dalam bayangan saya, tentara itu membawa pedang dan senjata. SBY berjanji dalam hati, suatu ketika kelak akan menjadi seperti para taruna yang gagah itu,” terang Garda Maeswara dalam buku Susilo Bambang Yudhoyono (2009).

Jadi Komandan Upacara di Istana Negara

Ketekunan SBY dalam dunia militer tak pernah setengah hati. Keberhasilannya menjadi lulusan terbaik Akmil tak membuatnya besar kepala. Ia justru jadi pribadi yang terus haus akan ilmu dan pengalaman. Ia turut berpartisipasi dalam kursus-kursus prajurit di dalam dan luar negeri.

Pelatihan itu membuat SBY kaya akan pengalaman. Ia tak hanya kenyang dengan kursus belaka, SBY juga kayak akan pengalaman di medan tempur. Ia pernah ditugaskan sebagai Komandan Batalion Satuan Tempur dalam Operasi Seroja pada 1979.

Semuanya dijalankan SBY dengan penuh suka cita. Namun, ketegangan kursus dan terjun di medan pertempuran dianggapnya tak setegang menjadi komandan upacara HUT RI ke-49 di Istana Negara pada 17 Agustus 1994.

Komandan Brigade Kolonel Inf, SBY yang juga Asisten Operasi Kodam Jaya justru merasa tertantang, sekaligus ngeri. Satu sisi SBY sudah terbiasa jadi komandan upacara di sekolahnya. Sisi lainnya terpilihnya ia sebagai Komandan Upacara yang disaksikan Presiden Soeharto bak uji nyali.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemudian jadi Presiden RI ke-6 dan menjabat dari 2004 hingga 2014. (Facebook Susilo Bambang Yudhoyono)

SBY berujar tugas itu sederhana, tapi berisiko. Sebab, jika ia gagal boleh jadi karier militernya akan jalan di tempat. Sebaliknya, jika ia berhasil maka karier militernya diramalkan akan menanjak. Ia pun berdiri tegak di lapangan. Ia tak peduli betapa banyak keringat yang keluar.

Padangannya lurus ke ke depan. SBY merasa tegang. Namun, ia memberanikan diri untuk menampilkan yang terbaik. Ia melanggengkan tugasnya dengan maksimal hingga upacara selesai. Dari upacara menaikkan bendera hingga penurunan.

Boleh jadi setelah upacara itu karier SBY terus berkembang. Bahkan, SBY tak hanya sukses di militer, tapi juga kala bekerja di luar barak, alias di luar militer. Ia pernah berkali-kali menjadi pejabat negara sekelas menteri selepas Orba runtuh. Kemudian, puncak karier SBY mengagumkan. Ia dapat menjelma sebagai Presiden RI ke-6 yang menjabat dari 2004 hingga 2014.

“Kalau berhasil dalam menjalankan tugasnya menjadi komandan upacara 17 Agustus di halaman Istana Negara, ia akan tetap menempati posisi jabatannya. Namun bila gagal – misalnya helm atau pedangnya terlepas , atau pingsan-- sudah pasti karir militernya akan kelabu,” terang Usamah Hisyam dalam buku SBY: Sang Demokrat (2004).