Hoegeng Imam Santoso Ogah dimakamkan di TMP Kalibata dalam Memori Hari Ini, 19 Agustus 1993
Jenderal Hoegeng Imam Santoso kala diangkat Orde Lama sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 30 tahun yang lalu, 19 Agustus 1993, mantan Kapolri era 1968-1971, Hoegeng Imam Santoso menyebut ogah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Narasi itu diungkap karena TMP Kalibata tak hanya memakamkan pahlawan, tapi juga koruptor.

Penyataan Hoegeng dikutip dalam Majalah Forum Keadilan. Sebelumnya, laku hidup anti korupsi Jenderal Hoegeng tiada dua. Ia jadi pejabat yang penuh amanah. Pun ia tak pernah mengambil hal yang bukan haknya selama menjabat. Dari jadi menteri hingga kapolri.

Pilihan Hoegeng menjalani pekerjaan impiannya sebagai polisi tak mudah. Godaan sana sini selalu datang menghampiri. Apalagi polisi di masanya sering terkena godaan hadiah dan sogokan. Namun, Hoegeng tak tergiur sedikitpun.

Ia menetapkan standar tinggi kepada profesinya sebagai penegak hukum. Ia tak pernah mau mengambil hal yang bukan haknya. Pun Hoegeng bukan orang yang mudah disuap, apalagi setir. Tindak tanduk itu membuat sosok Hoegeng disegani.

Ia dapat ditempatkan di mana saja. Dari tugas intelejen hingga memberantas kriminal. Semuanya mampu dikerjakan Hoegeng dengan baik. Bahkan, aparat-aparat yang melindungi penjahat kerap sial bukan main jika ketemu Hoegeng.

Hoegeng Imam Santoso yang pernah menjabat sebagai Kapolri dari 1968-1971. (Wikimedia Commons)

Pamor Hoegeng pun kesohor. Jenderal TNI A.H. Nasution yang notabene Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan (Menko Hankam) kepincut. Ia menjadikan Hoegeng sebagai Kepala Djawatan Imigrasi (kini: Direktorat Jenderal Imigrasi).

Hasilnya gemilang. Segala macam penyelewengan mampu ditindak Hoegeng. Pun Hoegeng kemudian naik kelas diangkat pemerintah Orde Lama menjadi menteri dua kali: Menteri Iuran Negara dan Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet.

Kejujuran dan sikap yang tak dapat disetir jadi ajian kegemilangannya. Kemudian, pada masa Orba Hoegeng diangkat sebagai Kapolri pada 1968. Ia banyak memecahkan kasus besar. Sekalipun beberapa di antaranya membuat pemerintah Orba geram. Jabatan Hoegeng sebagai orang nomor satu Polri lalu diakhiri pada 1971.

“Sikap terbuka dan tidak takut kepada atasan bila benar, itulah yang dipegang oleh Hoegeng selama bertugas. Tetapi itulah pula yang menyebabkan ia dicopot dari Jabatan. Kepala Kepolisian tahun 1971 oleh Presiden Soeharto. Kasus tertembaknya mahasiswa ITB Rene Conrad tidak sepenuhnya memuaskan hatinya.”

“Kasus Sum Kuning di Yogya yang melibatkan putra seorang pejabat/bangsawan Yogya serta seorang putra pahlawan revolusi diputuskan secara berliku-liku. Demikian pula dengan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi. Hoegeng ingin bertindak profesional, tetapi hal ini tampaknya tidak menyenangkan hati atasannya. Memang kalau kita ingin hukum tegak di negeri ini, maka contoh itu harus dimulai dari Presiden,” terang Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).

Kakorsabhara Polri Irjen Priyo Widyanto ziarah di makam mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso di Taman Makam Giri Tama, Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/6/2023). (Antara/M Fikri Setiawan)

Semangat kejujuran dan kritisnya Hoegeng dalam penegakan korupsi di Indonesia pun tak pernah hilang. Ia kerap melanggengkan kritiknya terhadap Polri. Utamanya, gaya hidup mewah pejabat kepolisian yang kebablasan.

Hidup bak Orang Kaya Baru (OKB). Padahal, Hoegeng mengetahui gaji yang diterima pejabat kepolisian tak seberapa besar. Kebencian Hoegeng terhadap pejabat korup pun tak pernah berkesudahan. Semangat itu membuat Hoegeng ogah dimakamkan di TMP Kalibata ketika meninggal dunia.

Hoegeng mengungkap di TMP Kalibata tak melulu dihuni mereka yang benar-benar berjasa bagi bangsa dan negara. Beberapa di antaranya dianggap Hoegeng tercatat sebagai koruptor. Hoegeng pun ogah berada di satu tempat dengan mereka. Pandangan itu diungkap Hoegeng dalam wawancaranya dengan Majalah Forum Keadilan yang terbit pada 19 Agustus 1993.

“Saya tidak mau dikuburkan di Kalibata. Pokoknya saya tidak mau dikuburkan di Kalibati. Wong, koruptor juga sudah masuk ke situ, kok. Ah, nanti dia menegur saya. Padahal, saya mau istirahat. Saya ingin dimakamkan di Batu Tulis, Bogor. Di pemakaman umum, tempat salah seorang saudara saya yang sudah meninggal,” cerita Hoegeng sebagaimana dikutip Majalah Forum Keadilan, edisi 19 Agustus 1993.