Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 215 tahun yang lalu, 18 Agustus 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels mencegah korupsi dengan cara menaikkan gaji seluruh pejabat Hindia Belanda. Ia mengeluarkan dekrit khusus untuk itu dan mulai beroperasi dari Provinsi Pantai Timur Laut Jawa (Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Jawa Timur).

Sebelumnya, korupsi adalah tradisi yang dilanggengkan penjajah Belanda sejak dulu kala. Pun korupsi yang terjadi tak hanya berlangsung di kalangan atas, tapi sudah menjalar ke pegawai rendahan.

Pamer harta pernah dianggap suatu pencapaian di sepanjang masa penjajahan Belanda. Pejabat maskapai dagang Belanda, VOC memamerkan apa saja. Dari rumah mewah hingga jumlah budak. Semuanya dianggap sebagai suatu prestasi. Sebab, kebanyakan pejabat Kompeni tak terlahir bergelimang harta.

Kadang kala pejabat tersebut barasal dari kalangan tak punya di Belanda. Ada yang yatim piatu. Ada pula yang kurang pendidikan, dan ada juga yang berasal dari keluarga bangkrut. Satu-satunya opsi mengembalikan derajat hidup adalah menjadi pegawai Kompeni.

Keberhasilan itu telah dibuktikan oleh banyak orang. Mereka menumpuk harta dan foya-foya di Nusantara, kemudian memilih pesiun di kampung halamannya di Eropa. Narasi di atas sekilas seperti dongeng. Namun, sayangnya itu versi dunia nyata.

Satu-satunya yang dapat dipermasalahkan adalah jalan mereka memperoleh harta kekayaan. Segenap pejabat VOC – dari kalangan atas hingga bawah—justru melanggengkan korupsi. Fakta itu karena gaji seorang pejabat Kompeni begitu kecil.

Lukisan karya Adriaan de Lelie yang menggambarkan Herman Willem Daendels (berdiri kanan) bersama rekannya sesama tokoh revolusioner Belanda, Cornelis Krayenhoff (tengah) di Kota Maarssen, Belanda pada 18 Januari 1975. (Wikimedia Commons)

Gaji kecil yang diperoleh takkan mampu membeli kemewahan di Nusantara. Alhasil, praktek korupsi membuat mereka jadi Orang Kaya Baru (OKB). Segala macam barang yang meningkat status sosial mereka beli dan koleksi.

Suatu potret kemewahan yang notabene takkan didapat jika memilih berkarier Belanda. Praktek itu terus langgeng sampai VOC bangkrut dan meninggalkan utang bejibun pada 1799.

“VOC seperti semua organisasi politik/ekonomi zaman itu, hanya memberikan gaji nominal, sekadar uang pengikat. Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya, hanya digaji 80 gulden sebulan – dan meminta gaji tersebut diberikan saja kepada keluarganya di Holland (Belanda). Karena itu para pejabat VOC, yang seharusnya berdagang demi kepentingan majikannya, justru berusaha demi keuntungan sendiri.”

“Dalam ketentuan pejabat Kompeni memang dapat berusaha sendiri –setelah berdagang untuk VOC—dan itu disebut marshandel (perdagangan sisa). Namun, kapal-kapal Kompeni yang berangkat dari Jawa memuat demikian banyak barang perdagangan sisa milik pribadi pejabat Kompeni, dan hanya sedikit barang resmi,” ungkap Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).

Keruntuhan Kompeni cepat diantisipasi oleh penjajah Belanda. Empunya kuasa kemudian membuat pemerintahan baru. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, namanya. Pergantian itu nyatanya tak membuat masalah korupsi lantas hilang.

Monumen 1000 KK Anyer-Panarukan di Desa Wringinanom, Kecamatan Panarukan, Situbondo, Jatim yang dibangun pemerintah Kabupaten Situbondo untuk mengenang pembangunan Jalan Raya Pos oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. (indonesiakaya.com)

Perilaku pejabat korup terus langgeng. Semuanya baru berubah ketika Raja Belanda Louis Napoleon (adik Napoleon Bonaparte) mengutus Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru pada awal tahun 1808.

Daendels pun bekerja keras untuk menghilang mental korupsi dalam pejabat Hindia Belanda. Ia yang menjabat sedari Januari mengeluarkan dekrit penting yang di dalamnya mengandung muatan pemberantasan korupsi tujuh bulan kemudian, atau pada 18 Agustus 1808.

Dekrit itu berisi perintah untuk menaikkan gaji seluruh pejabat Hindia Belanda yang dimulai dari Provinsi Pantai Timur Laut Jawa. Kebijakan itu membuat segala macam penyalagunaan jabatan untuk korupsi jadi sulit. Bahkan, Daendels kemudian tak segan-segan menghukum mati pejabat yang ketahuan merugikan negara dalam jumlah besar.

“Salah satu tindakan yang diambil Gubernur Jenderal baru itu adalah reformasi total administrasi. Sampai masa Daendels semua wilayah Belanda sebelah timur Cirebon membentuk satu provinsi, Provinsi Pantai Timur Laut Jawa. Gubernur provinsi itu, karena berbagai ‘tunjangan’ yang berkaitan dengan kedudukannya, menikmati penghasilan tahunan 100.000 gulden, sementara, kalau kita menerima perkataan Daendels, pemasukan pemerintah dari wilayah itu praktis nol.”

“Dengan dekrit 18 Agustus 1808 provinsi itu dibagi ke dalam lima prefektorat dan 38 kabupaten. Semua pejabat menerima pangkat militer dan gaji memadai. Hadiah suap dari bupati-bupati Jawa, keuntungan istimewa, semua penyalahgunaan ini harus dihentikan,” terang Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).