Nikmat Duniawi PNS, Bahkan Sejak Zaman Belanda
PNS zaman Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kemunculan negara modern Hindia-Belanda bawa angin segar. Jejak birokrasi era maskapai dagang VOC yang dulunya korup dan tradisional mulai dipangkas pemerintah kolonial. Belanda melibatkan kaum bumiputra sebagai aparatur pemerintah, Binnenlandsche Bestuur (BB), kebijakan yang jadi cikal-bakal pegawai negeri sipil (PNS). BB jadi pekerjaan impian banyak orang karena mereka dapat hak istimewa, dari gaji besar hingga status sosial.

Bangkrutnya VOC memiliki andil besar bagi eksistensi kolonialisme Belanda di Nusantara. Tanah koloni lalu diserahkan kepada Kerajaan Belanda yang kebetulan sedang dalam kuasa Prancis. Napoleon Bonaparte lalu memerintahkan adiknya, Louis (Lodewijk) Napoleon yang menjadi Raja Belanda untuk segera mengirim Herman Willem Daendels ke tana Jawa.

Keputusan besar itu diambil karena pria yang sering dijuluki “Mas Galak” punya rekam jejak yang mentereng saat Revolusi Prancis. Daendels telah memimpin legiun Batavia dengan baik. Deandels lalu diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda. Pemerintahannya singkat --dari 1808 hingga 1811-- tapi membekas.

Daendels jadi juru selamat tanah koloni dari kebobrokan birokrasi tradisional ala VOC. Ia juga bergerak cepat untuk mecegah dan memperbaiki semua tindakan bobrok aparatur negara. Sesuai dengan yang Raja Louis perintahkan, yakni membenahi sistem administrasi di Hindia-Belanda. Karenanya, di tangan Daendels, Hindia-Belanda jadi negara dengan birokrasi modern.

“Salah satu tindakan yang diambil gubernur jenderal baru itu adalah reformasi total administrasi. Sampai masa Daendels semua wilayah Belanda sebelah timur Cirebon membentuk satu provinsi, provinsi Pantai Timur Laut Jawa. Gubernur provinsi itu, karena berbagai tunjangan yang berkaitan dengan kedudukannya, menikmati penghasilan tahunan 100 ribu gulden, sementara kalau kita menerima perkataan Daendels, pemasukan pemerintah dari wilayah itu praktis nol.”

PNS di zaman kolonial (Sumber: Wikimedia Commons)

“Dengan dekrit 18 Agustus 1808 provinsi itu dibagi ke dalam lima prefektorat dan 38 kabupaten. Semua pejabat menerima perangkat militer dan gaji memadai. Hadiah suap dari bupati-bupati Jawa, keuntungan istimewa, semua penyalagunaan ini harus dihentikan,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Sederet tindakan “kontroversial” dilakukan Daendels untuk mengubah wajah birokrasi di Hindia-Belanda. Daenlels pula yang mengawali langkah untuk memberikan tempat kepada pejabat-pejabat bumiputra masuk ke dalam bagian dari BB.

Kehadiran pejabat bumiputra turut memutus mata rantai dominasi bangsawan Jawa. Ulah Daendels itu membuat bangsawan Jawa banyak kehilangan penghasilan dan prestisenya. Lebih lagi, hak khusus bangsawan bertindak bebas terhadap rakyatnya. Sekalipun Kebijakannya banyak ditentang, namun Daendels tak ambil pusing.

Daendels tetap melanjutkan ambisinya melakukan sentralisasi kekuasaan. Ia kemudian melanggengkan tiga sistem kekuasaan: Europeesch Bestuur, Inlandsch Bestuur, dan Vreemde Oosterlingen. Ketiga sistem itu ditempatnya untuk dikendalikan dalam satu atap, Binnenlandsche Bestuur (BB).

Europeesch Bestuur adalah pemerintahan tertinggi di Hindia-Belanda. Jabatan struktural yang ada di sana mulai dari gubernur jenderal, gubernur, residen, dan yang terendah asisten residen. Semuanya orang-orang kulit putih. Sedangkan Inlandsch Bestuur adalah pelaksana kepemerintahan bagi bangsa bumiputra, mulai dari bupati sebagai pejabat tertinggi, patih sebagai wakil bupati, wedana, asisten wedana, hingga lurah sebagai struktur pemerintahan terendah.”

Vreemde Oosterlingen adalah pemerintahan khusus masyarakat Timur Asing, terutama Cina dan Arab. Di daerah tertentu, di mana terdapat komunitas bangsa Timur Asing dalam jumlah yang cukup besar, dibentuklah Vreemde Oosterlingen. Pejabat pelaksananya dimulai dari mayor, kapten, hingga letnan, tergantung jumlah penduduk Timur Asing di daerah tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di zaman itu ada kapiten Cina, kapiten Arab, mayor Cina, atau letnan Arab,” tulis Ramadhan K.H. dalam buku Perjalanan Panjang Anak Bumi (2007).

Istimewanya PNS kolonial

PNS era kolonial (Sumber: Commons Wikimedia)

Pengangkatan pejabat bumiputra atau PNS kolonial tak lain adalah kejelian Daendels dalam melihat pos-pos yang lowong. Daendels memahami tugas pejabat Eropa tak mungkin maksimal karena jumlahnya sedikit. Supaya pos-pos kosong tak jadi ladang korupsi pejabat Eropa seperti masa VOC. Tugasnya adalah menjad penyambung lidah antara pemerintah kolonial dan kaum bumiputra.

Tren ini lalu dijalankan Daendels dan penerusnya. Bahkan, untuk menjaring kaum bumiputra yang berkompeten, pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah yang khusus membentuk mental pegawai negeri kolonial. Terutama kepada mereka golongan priayi. Pendirian Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), misalnya. OSVIA adalah sekolah bagi calon pegawai-pegawai bumiputra pada zaman Hindia Belanda. Setelah lulus mereka dipekerjakan sebagai pegawai negeri kolonial.

“Para siswa dari OSVIA yang berasal dari putra-putra golongan priyayi tingkat atas itu setelah lulus dapat mengharapkan dirinya untuk masuk kantor-kantor pemerintah dengan kedudukan yang baik. Di sana mereka dapat mengenyam gaji yang besar dan memperoleh kesempatan kenaikan tingkat yang baik, serta kedudukan yang tinggi dalam masyarakat,” tertulis dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah (1978).

Setelah menjadi pegawai negeri kolonial, kaum bumiputra akan mendapatkan gaji tinggi dan memiliki jenjang karier yang jelas. Misalnya, untuk jabatan bupati saja, pegawai negeri kolonial bisa mendapatkan gaji sebanyak 1.500-1.800 gulden. Jumlah itu setara dengan gaji seorang residen yang dihuni pegawai negeri asal Belanda di daerah yang sama. Gaji tinggi itu memungkinkan seorang pejabat kolonial memiliki istri lebih dari satu.

Di mata Belanda, opsi mengadirkan pegawai negeri bumiputra terhitung efisien. Adanya perbaikan gaji, pendidikan, pembagian tugas yang jelas, hingga tanggung jawab membuat Belanda senang. Pun bagi kaum priayi. Mereka memiliki harapan untuk hidup setara dengan Belanda lewat jalur menjadi pegawai negeri kolonial.

Karena itu, impian anak-anak priayi waktu itu didominasi ingin menjadi pegawai negeri kolonial. Semua itu selama mereka tak fanatik dengan agama, maka jabatan mereka aman. Bahkan, tambah istimewa.

“Selain soal keuangan, apa yang oleh Belanda disebut ‘fanatisme agama’ juga sering menjadi ukuran bagi promosi di kalangan pangreh praja (pejabat bumiputra). Seorang priayi yang suka minum, memilihara anjing, atau menunjukkan sikap-sikap sekuler (dalam istilah Barat disebut ‘toleransi’ agama) seperti tidak melakukan puasa, sholat, dan lain-lain (kewajiban agama Islam) lebih mudah naik jabatan daripada yang fanatik,” tutup Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002).

*Baca Informasi lain soal MASA PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya