JAKARTA - Kota Jakarta (Batavia) pernah mendapatkan julukan sebagai Ratu dari Timur. Julukan itu ialah cerminan keberhasilan Maskapai Dagang belanda VOC membangun kota yang keindahannya tiada dua. Namun, imej Ratu dari Timur hancur seketika. Polusi dan keserakahan jadi muasal rusaknya citra.
Polusi (air, udara, dan tanah) terjadi karena VOC melulu memikirkan keuntungan. Sementara segi ekologis diabaikan. Jadinya, Batavia dianggap biang penyakit. Batavia pun mendapat julukan baru: Kuburan dari Timur.Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627-1629— Jan Pieterszoon Coen mendirikan kota bernama Batavia pada 1619.
Pendirian Batavia dilakukan Coen di atas reruntuhan kota Jayakarta yang ditaklukkannya. Ia pun memaksa pembangunan Batavia agar mirip-mirip dengan kota yang ada di Belanda. Kanal-kanal untuk mengendalikan aliran sungai Ciliwung dibangun. Keputusan itu nyatanya mendatangkan puja-puji dari berbagai kalangan. Batavia lalu dijuluki Koningen van het Oosten (Ratu dari Timur).
Pemberian julukan Ratu dari Timur bukan tanpa alasan. Batavia sejak awal dibangun telah memunculkan kesan sebagai daerah elite orang Belanda di Nusantara. Gedung-gedung dan rumah-rumah mewah bermunculan di tepi kanal. Ada juga Kasteel Batavia tempat gubernur jenderal tinggal.
Tata kota yang cantik itu membuat kaum elite dapat dengan tenang hilir mudik di jalanan Batavia. Mereka hidup laksana seorang pesohor. Segala bentuk pakaian hingga aksesoris yang digunakan menandakan tingginya peradaban, sekaligus mewah. Keindahan itulah yang mendorong banyak penyair melukiskan keindahan Batavia.
“Kemegahan Batavia sebagai pusat kedudukan VOC diangkat oleh Jan Harmenz de Marre (1696-1763). Isi karyanya ini didasarkan pada pengalamannya selama kurang lebih 20 tahun lamanya bekerja untuk VOC dan tinggal di Batavia. Buku pertama berisi sajak-sajak yang memuji kebesaran VOC yang digambarkan sebagai Ratu dari Timur yang berhasil membawa pundi-pundi uang ke Barat dan telah membesarkan kota Batavia.”
“Buku kedua berisi sajak-sajak tentang perjalanan mengunjungi bangunan-bangunan VOC yang megah di Batavia Timur dan makam orang-orang yang telah berjasa bagi VOC. Buku ketiga berisi sajak-sajak yang menceritakan mimpi penyair bertemu dengan J.P. Coen yang menuturkan asal mula kota Batavia. Buku keempat berisi kunjungan ke Batavia Barat. Di bagian barat itu terdapat gudang-gudang milik VOC, pasar ikan, dermaga tempat kapal VOC berlabuh, panti asuhan dan rumah sakit untuk orang Cina,” tulis Christina Suprihatin dalam tulisannya di Jurnal Wacana berjudul Cerita dari Timur (2008).
Batavia lalu mempercantik diri. VOC turun tangan membangun jalanan, gereja, hingga rumah sakit. Alhasil, pembangunan itu amat menggiurkan bagi tiap pelancong yang berkunjung ke Batavia. Apalagi, tiap sisi kanan selalu ditanami oleh barisan pohon indah.
Mereka dapat menikmati kesejukkan Batavia sepanjang pagi hingga sore hari. Sedang di malam hari, Batavia menjelma menjadi kota yang romantis.
"Tiada kota lebih indah daripada Batavia di waktu malam. Pada malam hari orang-orang muda naik perahu di kanal-kanal sambil main musik dan bernyanyi," cerita sejarawan François Valentijn (1666–1727) sebagaimana ditulis Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).
Batavia kota polusi
Pesatnya perkembangan kota Batavia nyatanya memunculkan masalah baru pada pertengahan Abad ke-18. Narasi Batavia sebagai Ratu dari Timur mulai terganggu dengan kehadiran ragam polusi – dari polusi udara hingga air. Ramainya pembalakan liar, kemunculan ragam industri, serta perilaku masyarakat Batavia yang abai pada lingkungan jadi penyebabnya. Perlahan-lahan, pencemaran lingkungan itu mulai memakan korban jiwa.
Hadirnya polusi di tengah Batavia erat hubungannya dengan keserakahan dari VOC dalam kurun waktu 1680 hingga 1720. VOC kala itu melulu memikir keuntungan, sementara segi ekologis diabaikan. Demi keuntungan, VOC melanggengkan investasi besar-besaran dalam membangun lahan pertanian, perkebunan, dan pabrik. Akibatnya, banyak pohon-pohon ditebang untuk pembukaan lahan-lahan. Iklim di Batavia pun jadi kurang sehat.
“Penebangan pohon demi perusahaan gula dan terlebih lagi penanaman padi yang memerlukan irigasi, berdampak cukup besar terhadap sungai. Setiap tahun didatangkan sekelompok ‘orang Jawa lumput’ dari Cirebon untuk mengeruk parit dank anal, tetapi mereka tidak mampu menahan pendangkalan; garis pantai cepat bergeser,” kata Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Adapun pabrik-pabrik yang menjadi pesatnya perkembangan Batavia, justru jadi masalah. Pabrik-pabrik itu antara lain penyulingan arak, batu bata, gula, dan mesiu. Masing-masing pabrik memiliki andil besar ---lewat limbahnya-- dalam menyebabkan polusi seperti air dan udara.
Pabrik gula misalnya. Pada tahun 1710-an, pabrik gula telah merembak di pelosok Batavia. tercatat, pabrik di pinggir kali Ciliwung mencapai 16 pabrik gula. Sedang di pinggiran kali Sunter mencapai 36 pabrik gula. Batavia menjelma jadi gudang penyakit.
Kondisi itu tambah parah karena perilaku orang Belanda di Batavia yang enggan menjaga lingkungan. Mereka minum dan buang hajat di pinggir sungai. Masalah buang sampah sembarangan juga tak terhitungkan. Gabungan kondisi itulah yang menyebabkan polusi di Batavia mematikan. Bahkan, polusi itu adalah muasal dari munculnya wabah endemik mematikan: kolera dan malaria.
Setiap tahunnya, kedua wabah itu memakan korban jiwa hingga ribuan orang. Kondisi itu memaksa orang Belanda di Batavia pindah ke tempat yang lebih aman dari penyakit. Sekalipun telah banyak upaya penanggulangan polusi dan wabah penyakit dilakukan oleh VOC, namun banyak yang berakhir dengan kegagalan.
Masalah polusi dan wabah terus berlanjut hingga VOC bangkrut pada 1799, dan digantikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1800. Ogah berpikir, pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808 – 1811) ambil jalan pintas. Pusat kota yang semula di Oud Batavia (Kota Tua), dipindahkan Mas Galak –julukan Daendels-- ke Waltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banten).
“Kondisi Batavia sendiri –tempat rawa-rawa malarianya, bagian-bagian kotanya yang padat populasi, gaya hidup tak sehat para imigran Belanda –ditambah lagi dengan wabah kolera dan gondok mengurangi populasi penduduk di dalam kota. Bahaya kematian tersebut membuat para warga Batavia, dengan kekayaannya, membangun vila-vila yang lebih luas dan udaranya lebih segar di luar daerah pemukiman yang lama. Pada pertengan abad, kota tersebut sudah melebar ke selatan sejauh Bogor,” ujar Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.