Ketika Kereta Kuda jadi Lambang Kekayaan di Batavia
Ilustrasi foto kereta kuda di Batavia (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Di zaman Jakarta masih bernama Batavia, tepatnya abad ke-17 dan 18, kereta kuda jadi transportasi umum yang melambangkan kemewahan. Zaman itu dikenal sebagai zaman kuda gigit besi. Mereka yang memiliki kereta kuda terbatas pada kelompok elite di Batavia. Hanya mereka yang kaya dan sangat kaya.

Sekarang kereta kuda, baik yang berjenis sado, ebro, bendi, delman, atau andong diklasifikasi sebagai transportasi tradisional, meski di zamannya adalah lambang kekayaan dan kemajuan. Pun di jalanan. Jalan-jalan Batavia didominasi kereta-kereta yang ditarik kuda. Tak ada mobil, sepeda motor, apalagi truk dan bus kota.

Majalah bergengsi dan ilmiah di Hindia-Belanda, Koloniale Studien membuat gambaran transportasi umum di kota berjuluk Ratu dari Timur pada masa lampau. Dalam sebuah laporan tahun 1925, Koloniale Studien mengungkap sebelum adanya mobil dan kereta api, warga Hindia-Belanda masih bergantung dengan kehadiran kereta kuda. Saking populernya, bahkan setelah perang dunia I, posisi kereta kuda masih belum tergantikan di jalanan Batavia.

“Sampai sekarang kami belum mampu membangun jaringan rel kereta api yang cukup luas. Oleh karena itu, sado, deeleman, ebro, kretek, kossong, andong, dan apapun nama semua kereta itu –di mana pun, sewaktu lalu lintas meningkat, dan bahkan di kota-kota besar— makin lama mengambil peran sendiri sebagai sarana utama angkutan umum,” tulis Koloniale Studien dikutip oleh Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).

Oleh sebab itu, kendaraan yang paling banyak dijumpai adalah kereta beroda dua yang disebut delman dan sado. Konon, nama “delman” berasal dari kata Belanda “deeleman”. Delen berarti membagi. Karena itu, tempat duduk dalam delman memang terbagi dua: kiri dan kanan.

Sementara, kata “sado” konon berasal dari bahasa Prancis “dos a dos” yang artinya saling membelakangi. Tempat duduknya dua di depan (termasuk kusir) menghadap ke jalan, sedangkan penumpang menghadap ke belakang.

Akan tetapi, sebelum keduanya tenar, lebih dulu hadir kereta kuda bernama kahar per. Dikutip Tanu Trh lewat tulisan berjudul Zaman Kuda Gigit Besi dalam buku "Ketoprak Jakarta" (2001), jumlah kahar per atau yang dikenal dengan istilah delman yang disempurnakan ini sangat sedikit.

Hal itu karena kahar per merupakan kendaraan pribadi yang hanya dapat dimiliki pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda atau orang-orang swasta yang beruang. Bagi mereka yang ingin tampil gaya namun memiliki keuangan terbatas, hanya tersedia opsi menyewa kereta kuda kahar per saja.

“Sebagian besar delman merupakan kendaraan sewaan dan sampai sekarang pun bentuknya tidak berubah. Ada juga delman pribadi yang disebut delman preman. Istilah preman waktu itu artinya milik pribadi, sipil, swasta, dan bukan penjahat. Delman pribadi bentuknya lebih mewah daripada delman sewaan. Rodanya lebih tinggi, karoserinya lebih besar dan tempat duduk lebih luas dan lebih nyaman karena dilapisi bahan mahal semacam belundru,” ungkap Tanu Trh.

Barang mewah

Pada pertengahan abad ke-17, jalan-jalan Kota Batavia layaknya area pameran kekayaan warga Eropa dengan kereta kuda mewahnya. Saking mewahnya, kereta milik pemerintah kolonial Belanda saja hanya dipergunakan dalam kesempatan khusus, seperti untuk membuat kagum para diplomat Asia ketika itu.

Sejarawan asal Belanda, Hendrik E. Neimeijer mengungkap kompeni sebagai otak utama dari langgengnya budaya memamerkan kereta kuda mewah khas Eropa. Sebagai contoh, utusan Kerajaan Mataram dibuat tercengang karena dijemput oleh kompeni dari penginapan dan dibawa ke Kasteel Batavia dengan kereta mewah khas Eropa pada 1653.

Pesan yang ingin disampaikan kompeni jelas. Mereka ingin memperlihatkan kuasanya yang begitu hebat nan mewah di Batavia. Selebihnya, utusan Mataram juga di bawa dengan kereta kuda ke gudang-gudang beras milik VOC. Kompeni memang sengaja memasukkan kunjungan ke gudang beras sebagai salah satu tujuan. Kompeni hanya ingin menegaskan bahwa mereka tak pernah bergantung masalah beras kepada Mataram.

Seiring memasuki abad 18, kereta kuda mewah tak hanya dimiliki oleh orang Eropa di Batavia saja. Kapiten orang Melayu Wan Abdul Bagus tercatat sebagai satu-satu warga etnis Asia kaya raya yang memiliki kereta kuda Eropa. Untuk itu, setiap kali dirinya melaju dengan kereta kuda, saat itu pula kekaguman kepada Wan Abdul muncul dari masyarakat Melayu di Batavia.

Pun saat dirinya memarkir keretanya setiap hari Jumat di depan masjid. Sayangnya, Wan Abdul mengelak untuk membayar pajak. Menurutnya, kereta kudanya hanya dihela seekor kuda dan tidak oleh dua ekor kuda yang pajaknya lebih besar.

Ilustrasi foto kereta kuda di Batavia (Sumber: Commons Wikimedia)

“Karena pada awal abad ke-18 sudah ada lebih dari 140 kereta kuda Eropa partikelir berseliweran di Batavia, maka tidak terlampau mencolok apakah kereta milik Kapiten Wan Abdul dihela satu atau dua ekor kuda. Yang jelas ketika itu, hampir separuh dari jumlah kereta kuda Eropa dan kereta jenis berlijns di Batavia ditarik dua ekor kuda; sementara jenis kereta roda empat belum banyak, hanya delapan buah. Pajak kereta menyumbang sekitar 9 ribu ringgit setiap tahun ke dalam pundi-pundi pemerintah,” Hendrik E. Neimeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Pajak yang terlampau tinggi itulah yang membuat banyak penduduk Batavia lebih suka menyewa kereta kuda, dibanding memilikinya. Ada pun pihak yang dikecualikan untuk tidak membayar pajak hanya pegawai tinggi kompeni, anggota dewan pemerintahan, pejabat kehakiman, dan pejabat yang ditunjuk pemerintah. Selain daripada itu, tetap harus membayar pajak.

Atas dasar itulah Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker menggolongkan kereta kuda sebagai barang mewah. Kereta kuda bersanding dengan barang lainnya seperti busana mahal dan perhiasan. Dalam hal itu, Maetsuycker berpendapat, perilaku menghambur-hamburkan uang ala orang Belanda di Batavia harus segera ditindak. Sebelumnya kami pernah menulis terkait gaya hidup foya-foya orang Belanda dalam tulisan “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda”.

“Akan tetapi, usai berdiskusi beberapa kali tentang hal tersebut, para anggota dewan tidak juga dapat mencapai kata sepakat tentang langkah apa yang perlu diambil untuk membatasi pameran kekayaan tersebut,” tutup Hendrik E. Neimeijer.