Minum Arak Batavia atau Mati: Ketika Minuman Beralkohol Menangkal Penyakit di Zaman Belanda
Gudang penampungan arak di Batavia (Sumber: Leiden University Libraries)

Bagikan:

JAKARTA - Eksistensi minuman keras jenis arak punya sejarah panjang di Jakarta. Pada masa kolonial minuman itu disebut Batavia Arrack atau Arrack van Batavia. Cita rasanya yang khas membuat arak Batavia masyhur hingga ke daratan Eropa. Bahkan di era Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen, arak ini dimanfaatkan untuk mencegah penyakit tropis. 

Kehadiran arak di Batavia pada waktu itu tak terlepas dari peran orang China yang sudah bermukim sedari dulu dan menjadi produsen arak. Meski begitu, asal-usul arak sendiri banyak versinya. 

Ada yang bilang, kata arak diserap dari bahasa Arab yakni araq, yang artinya "sweet liquor." Seperti dijelaskan dalam Kitab Lisanularabi, araq diartikan sebagai "sesuatu yang keluar dari pangkal rambut atau kulit (keringat)." Maknanya kemudian berkembang menjadi distalasi atau penyulingan.

Sementara itu menurut penjelasan Asep Rahmat Hidayat, seorang peneliti bahasa dalam tulisannya di Majalah Tempo (2018) mengungkapkan, meskipun kata arak berasal dari Arab, sulit untuk menyatakan masyarakat Indonesia menerima bulat-bulat racikan itu dari Arab. Lebih jauh, Asep bilang kata Harak (minuman keras) ternyata sudah muncul pada pupuh ke 90 dari kitab Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pada 1365, dan pada masa itu pengaruh India lah yang dominan.

"Menurut satu sumber, teknologi distilasi arak berkembang pada masa Kesultanan Delhi, kemudian menyebar ke Cina dan sampai di Jawa oleh orang Mongol pada masa Dinasti Yuan. Konon, minuman keras Korea, soju, awalnya juga disebut arkhi,” ungkap Asep.

Produksi arak di Batavia (Sumber: Wikimedia Commons)

Jejak di Batavia

Selain itu, keberadaan arak buatan Batavia banyak dicatat dalam laporan-laporan perjalanan penjelajah Belanda ke Jakarta pada masa lalu. Arak bahkan sudah ada jauh sebelum Belanda berkuasa di Nusantara. 

Tercatat, armada Belanda di bawah pimpinan Wybrand van Warwijck dalam pelayaran kedua ke Nusantara sempat mampir ke Jaccatra (nama awal Jakarta) dalam perjalan ke Maluku. Di Jaccatra mereka mempersiapkan dan mengisi kapal dengan segala macam perbekalan pada 16 November 1599.  Disela-sela mereka mengumpulkan air minum, mereka juga membeli arak beras dalam jumlah besar dari orang China.

Tak berhenti sampai situ, masih menurut Asep Rahmat Hidayat, Laksamana Cornelis Matelied de Jonge yang berlabuh di Jakarta pada 1607, turut memberikan kesaksian. "Raja ini tampaknya orang cakap, yang bertanya dengan ingin tahu tentang berbagai hal di Belanda. Ia sendiri membuat bedil dan meriam besar. Kapal-kapal memperoleh 17 legger (9.894 liter) arrack di sini," tulisnya.

Selanjutnya, Gubernur Jenderal kongsi dagang Belanda VOC, Gerard Rejnst (1614-1615) turut menandatangani pejanjian kerja sama antara dirinya dengan pangeran Jayakarta pada 1614. Selain diberikannya kuasa kepada VOC untuk membangun gudang, Pangeran Jayakarta pun turut menjanjkan untuk menghapus bea atas arak.

Penjualan arak di Batavia (Sumber: Wikimedia Commons)

Jadi obat

Sementara itu pada masa Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen berkuasa yang menjabat pada 1619-1623 dan 1627-1629, arak Batavia semakin populer di kalangan orang-orang Eropa di Batavia. Bahkan meski dikenal sebagai penganut taat ajaran Calvinisme, Coen sempat menyerukan konsumsi arak kepada warganya agar terhindar dari penyakit tropis. 

Coen menyarankan agar warganya meminum segelas arak saat perut masih kosong setiap hendak memulai aktivitas. "Bangsa kita harus minum atau mati,” ungkap Coen pada 1619.

Kebalikan dengan saat ini yang pemerintahnya akan melarang miras, maka pada zaman Coen, warga Belanda di Batavia melakukan pencegahan penyakit dengan rutin mengonsumsi arak dan cerutu kasar yang diproduksi lokal. Aturan pakainya, segelas saat pagi untuk membuka hari, dan malam hari sebelum tidur.

Oleh karena itu, tak heran jika penyulingan arak menjadi salah satu industri utama Batavia. Produk tersebut bahkan terkenal di senatero Asia, sebab, sebagian besar arak diekspor ke Benggala (Bangladesh), Koromandel, dan Sri Lanka. Beberapa bagian lainnya dikirim ke Eropa. Sebagian kecil lagi dibawa ke Eropa. Kala itu arak tak lagi dibuat dari beras yang ditanak dan dicampur tuak, tetapi dengan mellase atau sirup gula.

Sementara itu menurut Windoro Ari dalam buku Batavia, 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010), jumlah penyulingan arak di Batavia bahkan mencapai 20 pabrik. Produksi tertinggi yang pernah dicapai tiap pabrik adalah mencapai 100 drum setiap harinya pada 1793.

Terkenal di Eropa

Di Eropa, arak Batavia terkenal sampai ke Swedia lewat perjalanan panjang dari kapal Gotheborg yang mampir ke Batavia pada 1743. Orang-orang yang Skandinavia itu banyak yang menyukai cita rasa arak Batavia yang beraroma sitrus dan coklat dengan kandungan alkoholnya mencapai 5 persen.

“Orang-orang kita saling merangkul dan memberkati diri sendiri karena mereka berhasil tiba di tempat yang begitu luar biasa dengan racikan punch-nya,” cerita seorang Kapten Britania, Woodes Rogers, pada awal abad ke-18, dikutip Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (2008).

Selain itu Vlekke juga mencatat testimoni dari Kapten James Cook seorang penjelajah terkenal asal Inggris, yang kebetulan pernah singgah di Batavia untuk memperbaiki kapalnya. Cook menceritakan salah satu awak kapalnya yang tak pernah jatuh sakit selama tinggal di Batavia, padahal usianya sudah 70 tahun. 

Cook pun lantas membeberkan rahasia anak buahnya itu tak lain karena tidak berhenti mabuk. Ia mengakui daya tangkal alkohol terhadap penyakit terbukti.

“Pencegahan lain ialah merokok. Masa itu adalah zaman emas ketika cerutu Belanda yang baik dijual seribu batang tiga dolar, dan bahkan cerutu Havana hanya berharga 10 dolar per seribu batang. Tapi orang Batavia lebih suka rokok pipa daripada cerutu. Mereka merokok pipa ketika menghadiri upacara pemakaman dan ketika naik kuda dalam parade sebagai pengawal kota Batavia yang penuh kebanggaan, dan tentu saja mereka merokok pipa ketika duduk malam-malam di depan rumah masing-masing menikmati udara 'segar' dari kanal,” tutup Bernard.