Bagikan:

JAKARTA - Maskapai Dagang Belanda, VOC berani menjamin ketersediaan air bersih. Optimisme itu mengiringi fase awal penjajahan Belanda di Batavia (kini: Jakarta). Sungai Ciliwung dianggapnya sebagai sumber air bersih.

Air itu ditampung di Pancoran. Orang-orang pun datang untuk memanennya. Bahkan, langsung diminum. Kondisi itu tak berlangsung lama. Rusaknya lingkungan hidup jadi musabab. Krisis air bersih terjadi di Batavia. Mereka yang kaya dapat mengimpor air minum. Sedang jelata terpaksa meminum air tercemar.

Berdirinya Kota Batavia jadi tonggak penting eksistensi VOC. Kota itu sengaja dibuat VOC untuk mendukung agenda monopoli perdagangan rempah di Nusantara. Batavia pun dibuat menyerupai kota-kota di Belanda. Dari kanal hingga bangunan yang dibangun.

Kehidupan orang Belanda di Batavia pun menyenangkan. Kebutuhan mereka banyak terpenuhi. Utamanya perihal air bersih. Ketersediaan air bersih pada fase awal penjajahan Belanda begitu melimpah. Belanda cuma butuh menampung air di Pancoran (kawasan sekitar Glodok). Setelahnya, orang-orang pun dapat memanen air bersih. Bahkan, langsung minum.

Sungai Ciliwung yang menjadi sumber air bersih warga Batavia. (Wikimedia Commons)

Kejernihan air Ciliwung waktu itu bukan tanpa alasan. Batavia kala itu masih sepi. Penduduknya tak banyak. Pun daerah sekitar Batavia masih didominasi oleh hutan belantara. Kenikmatan hidup berdampingan dengan sumber daya air ditunjukkan dengan sebagian besar rumah yang dibangun pegawai Kompeni menghadap ke kanal atau sungai. Bukan membelakangi.

Namun, semua berubah kala Batavia makin ramai. Kebanyakan penduduk Batavia enggan menjaga lingkungan hidup. Semuanya karena satu-satunya yang dipedulikan orang Belanda adalah keuntungan belaka.

“Ada ahli yang menyatakan pada tahun 1648 bahwa air Ciliwung sangat baik (voortreffelijk). Mungkin memang demikian halnya selagi daerah-daerah pinggiran kota, di arah hulu kali, masih penuh hutan tanpa penghuni. Ketika kemudian pembukaan hutan-hutan dan penggarapan tanah semakin meluas, dan pemukiman makin meningkat, air kali pun semakin tercemar. Pada tahun 1689 seorang ahli lain mecatat bahwa air yang keluar dari pancuran waduk di Pancoran sengat keruh, bahkan berlumpur di musim hujan.”

“Sekitar tahun 1685 seorang ahli lain lagi tegas-tegas mengatakan bahwa di dalam air itu terdapat binatang-binatang halus yang tak kasat mata (onzichtbare beesjes). Binatang-binatang halus yang tentu tak lain dari kuman-kuman itu akan mati kalau air dimasak sebelum diminum, seperti yang biasa dilakukan orang-orang hindoestanners (yang dimaksud tentu orang India)dan orang bumiputra lainnya,” tertulis dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988).

Susahnya Air Bersih

Kerusakan lingkungan hidup di Batavia disebabkan oleh banyak faktor. Kelakuan warga Belanda yang kerap buang sampah dan buang hajat sembarangan di kali jadi salah satu penyebabnya. Kondisi itu turut diperparah oleh pembukaan lahan secara besar-besaran dan pembangunan banyak pabrik.

Laku hidup itu membuat sungai tercemar. Ancaman penyakit karena mengkonsumsi air terkontaminasi bakteri jadi momok menakutkan. Utamanya, kolera dan malaria. Kedua penyakit itu jadi pembunuh nomor satu di Batavia pada masanya.

Kompeni pun berkali-kali mencoba menanggulangi wabah. Namun, jauh dari kata berhasil. Kebiasaan minum air sungai langsung tanpa dimasak membawa petaka bagi orang Belanda. Kondisi itu buat penduduk Batavia mencari selamat sendiri-sendiri.

Orang Belanda kaya raya dapat mengimpor air bersih dari luar negeri. Bahkan, mereka dapat pindah ke tempat yang air bersihnya terjamin. Mereka yang level serdadu pun terpaksa menikmati air Sungai Ciliwung yang tercemar sampai ajal menjemput.

Warga Batavia mencuci di sepanjang aliran sungai menjadi pemandangan biasa di masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Kondisi itu berbeda dengan yang dialami oleh kaum bumiputra, China, dan India di Batavia. Ketiganya justru kebal hidup di Batavia tanpa terkena penyakit seperti orang Belanda. Semuanya karena kebiasaan memasak air sebelum minum. Kondisi itu juga membuat orang-orang Belanda mulai meniru kebiasaan minum teh untuk kesehatan seperti orang China dan bumiputra.

“Dari gejala penyakit tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa wabah itu adalah malaria, tapi tidak bisa dijelaskan mengapa penyakit itu muncul begitu tiba-tiba atau, paling tidak, mengapa penyakit itu menyebar luas begitu mendadak setelah 1731 dan apakah penggalian kanal baru itu berhubungan dengan hal itu. Dokter masa itu gagal menemukan penyebabnya. Mereka menyalahkan angin laut, kemudian angin darat. Mereka mengimpor air Spa atau Seltzer dari Eropa, dan tidak minum dari air sungai yang kotor itu, dan akhirnya mereka bahkan mulai menganggap bahwa keberadaan kanal-kanal kotor itu sendiri tidak menyehatkan.”

“Tapi orang Indonesia, yang tidak memedulikan kualitas air minum, lebih kebal daripada orang Eropa. Orang Cina praktis bebas dari penyakit itu. Karena orang Cina minum banyak teh, kepercayaan menyebar bahwa teh adalah minuman obat, suatu pendapat yang dengan cepat dimanfaatkan oleh para direktur di Amsterdam. Mereka mengedarkan selebaran di kalangan rakyat Belanda yang menasihati mereka untuk minum teh agar lebih sehat, dan menyarankan orang minum 40 cangkir sehari,” terang Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).