Sejarah Hari Ini, 17 September 1901: Belanda Berlakukan Politik Etis di Nusantara
Ratu Belanda, Wilhelmina memberlakukan politik etis sebagai konsekuensi moral untuk memajukan wilayah jajahan, termasuk Nusantara pada 17 September 1901 yang menjadi catatan sejarah hari ini. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 121 tahun yang lalu, 17 September 1901, Ratu Belanda Wilhelmina bersiap menerima tanggung jawab politik etis. Tanggung jawab itu dilakukan karena munculnya gelombang protes terhadap Belanda yang melulu mengambil keuntungan dari penjajahan. Sementara kaum bumiputra hajat hidupnya tak terangkat.

Semuanya pun berubah karena politik etis. Fasilitas publik, utamanya sekolah banyak dibangun untuk kaum bumiputra. Pun karena politik etis benih-benih kebangkitan nasional yang memerdekakan kaum bumiputra bermunculan.

Hancur leburnya maskapai dagang Belanda VOC membawa luka yang amat dalam bagi pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Alih-alih mewariskan kekayaan, VOC justru mewariskan hutang yang amat besar. Pemimpin Belanda Ratu Wilhelmina pusing bukan main. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda apalagi.

Mereka pun putar otak untuk dapat mengembalikan keuangan akibat utang-utang. Apalagi, utang-utang itu tambah membengkak karena terjadinya Perang Jawa yang dipelopori Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.

Kemunculan Sekolah Rakjat adalah salah satu hasil pemberlakukan politik etis oleh Belanda di Nusantara pada 17 September 1901. (Wikimedia Commons) 

Johannes Van Den Bosch kemudian jadi juru selamat. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda itu melanggengkan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) untuk memperoleh keuntungan yang bejibun pada 1830. Kebijakan ini diyakini sebagai cara memperoleh keuntungan dari kaum petani Jawa lewat berbagai mekanisme yang mewajibkan mereka membudidayakan tanaman ekspor.

Pemerintah kolonial pun memberikan pejabat bumiputra wewenang untuk mengawasi jalannya Sistem Tanam Paksa. Hasilnya menakjubkan. Belanda untung besar. Sementara petani jelata diperas bak sapi perah.

“Gelombang pasang manusia-manusia menghambur masuk ke hutan yang dibabat untuk pembuatan sawah dan kebun, dan kayunya diseret keluar untuk bahan bakar dan bahan bangunan rumah. Setelah Perang Jawa (1825-1830), pemukim Belanda juga menyebar ke hutan dengan perkebunan tanaman komersial, termasuk perkebunan baru pohon jati. Pemerintah penjajahan memberlakukan sistem tanam paksa yang kejam, tetapi sangat menguntungkan.”

“Di bawah sistem itu sebagian petani Jawa dipaksa bekerja di perkebunan selama jangka waktu tertentu setiap tahun, dan sebagian lainnya harus menanami sebagian dari tanah mereka sendiri dengan tanaman komersial –tembakau, tebu, karet, kopi, teh, kakao, nila, lada—yang dapat dibeli oleh pengusaha Belanda dan pemerintah Belanda untuk diekspor, dengan imbalan harga sangat murah bagi petani yang menanamnya,” ungkap George Quinn dalam buku Wali Berandal (2021).

Sistem Tanam Paksa pun mendapatkan kritik dari orang Belanda sendiri. Sebagian besar aktivis itu memandang kuasa Belanda di Hindia Belanda adalah perbuatan keji. Sebab, Belanda tak memedulikan hajat hidup kaum bumiputra yang notabene empunya kampung halaman.

Pemberlakukan politik etis oleh Belanda di Nusantara pada 17 September 1901 juga membuahkan pembangunan saluran irigasi untuk memajukan pertanian. (Wikimedia Commons)

Kritikan dan kemarahan itu pun ditampung. Puncaknya, Ratu Wilhemina sendiri yang mengumumkan bahwa Belanda bersiap melakukan politik etis pada 17 September 1901. Suatu ajian yang membuat Belanda memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kehidupan kaum bumiputra di Hindia-Belanda. Dari taraf hidup hingga pendidikan.

“Kadang-kadang politik kolonial etis itu sering disebut politik paternalistik, yaitu politik pemerintah yang ingin mengurus kepentingan anak negeri tanpa mengikutsertakan anak negeri. Kaum moralis liberal menanggapinya dengan menyebut politik kolonial etis sebagai kewajiban bangsa yang maju terhadap yang terbelakang.”

“Dengan perkataan lain politik kolonial etis merupakan pelaksanaan dari gagasan yang termuat dalam teori mission sacree atau the white man’s burden. Jadi tugas suci (misson sacree) dari orang Eropa-lah untuk memajukan peradaban bangsa,” terang G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Jilid 1 (1989).