Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 114 tahun yang lalu, 26 Juli 1909, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka Sekolah Tinggi Hukum Batavia, Rechtshoogeschool (RHS). Pembukaan sekolah hukum pertama di Nusantara itu dilakukan langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Joannes Benedictus van Heutsz.

Sebelumnya, kehadiran kebijakan Politik Etis disambut dengan gegap gempita kaum bumiputra. Sebab, untuk kali pertama Belanda meluangkan perhatian lebih kepada kaum bumiputra. Urusan membangun sekolah, utamanya.

Pendidikan pernah menjadi barang mahal dalam fase penjajahan Belanda. Empunya kuasa tak ingin kaum bumiputra banyak tersentuh pendidikan. Penjajah Belanda menyebut memberikan pendidikan kepada kaum bumiputra sama dengan membayakan diri sendiri.

Belanda yakin kepintaran akan membuat kaum bumiputra bersatu mengganggu kuasa penjajahan. Narasi itu terus dilantunkan oleh Belanda. Mereka tak pernah berhenti mengalihkan pikiran kaum bumiputra dengan terus memeras keringat. Utamanya, lewat Tanam Paksa (1830-1877).

Kekejian itu nyatanya menarik perhatian banyak aktivis, termasuk orang Belanda sendiri. Mereka melihat empunya kuasa hanya berfokus kepada memperkaya diri sendiri. Sedang kaum bumiputra yang juga tuan rumah malah tak dipedulikan taraf hidupnya.

Sederet mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Rechtshoogeschool (RHS). (Wikimedia Commons)

Pemerintah Belanda pun terdesak. Mereka lalu memuluskan sebuah tanggung jawab moral. Politik Etis, namanya. Kebijakan yang dimulai dari 1901 itu membuat Belanda sedikit peduli kepada kehidupan kaum bumiputra, termasuk urusan pendidikan.

Mereka mulai memperbanyak sekolah. Semua itu untuk membuat akses pendidikan kepada kaum bumiputra jadi luas. Banyak orang pun menyambut Politik Etis dengan gegap gempita. Semua karena ajian Politik Etis dianggap sebagai suatu perubahan berarti dalam taraf hidup kaum bumiputra, sekalipun yang mampu sekolah masih terbatas kepada kaum priayi.

“Kadang-kadang politik kolonial etis itu sering disebut politik paternalistik, yaitu politik pemerintah yang ingin mengurus kepentingan anak negeri tanpa mengikutsertakan anak negeri. Kaum moralis liberal menanggapinya dengan menyebut politik kolonial etis sebagai kewajiban bangsa yang maju terhadap yang terbelakang.”

“Dengan perkataan lain politik kolonial etis merupakan pelaksanaan dari gagasan yang termuat dalam teori mission sacree atau the white man’s burden. Jadi tugas suci (misson sacree) dari orang Eropa-lah untuk memajukan peradaban bangsa,” terang G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Jilid 1 (1989).

Sekolah-sekolah beragam level pun dibangun di Nusantara. Bahkan, Belanda mulai memikirkan menghadirkan beberapa fasilitas pendidikan setara perguruan tinggi. Pendirian RHS, misalnya. Pendirian Sekolah Tinggi Hukum pertama di Nusantara itu disambut dengan gegap gempita.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Joannes Benedictus van Heutsz pun ikut terlibat langsung dalam pembukaan RHS yang terletak di kawasan Gambir pada 26 Juli 1909. Pembukaan itu dilanggengkan supaya banyak di antara kaum bumiputra menjadi hakim di Landraad, yang sekarang dinamakan Pengadilan Negeri.

Kemudian, tanpa disangka-sangka Belanda RHS, justru jadi ‘rumah’ dari banyak pejuang kemerdekaan. Dari Iwa Kusumasumantri hingga Sartono.

“Banyak orang-orang besar pada waktu itu sudah berhadir, antara mana ada Sripaduka Tuan Besar Gubernur Jenderal, Wakil Presiden Raad van Indie (Dewan Hindia), pegawai-pegawai Raad van Indie, Mr. Nederburg (Direktur Departemen Kehakiman), Directur van Onderevijis (Direktur Departemen Pendidikan), Procureur Generat (Protokol Negara) , Paduka yang Mulia Tuan Colin (pegawai dari parlemen Belanda), dan banyak rechterlijkke ambtenaren (pejabat kehakiman), ambtenaar-ambtenaar bestuur (setara pegawai negeri) Eropa dan Bumiputera.”

“Lain daripada itu adalah juga beberapa ambtenaar Bumiputera. Ayah dari murid baru, yang sengaja sudah datang dari tempat kediamannya (malah ada yang datang dari Madura) akan berhadir pada waktu membuka sekolah itu,” terang Tirto Adhi Soerjo dalam tulisannya di Majalah Medan Prijaji sebagaimana dikutip Muhidin M. Dahlan dan Iswara N. Raditya pada buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo (2008).