Bagikan:

JAKARTA - Kaum bumiputra pernah kepincut aksi Jepang memukul mundur penjajah Belanda. Jepang datang bak juru selamat. Narasi saudara tua pun digaungkan. Mereka yang menganggap rendah kaum bumiputra akan berurusan dengan Jepang.

‘Kemesraan’ itu tak bertahan lama. Penjajah tetaplah penjajah. Tabiat buruk Jepang mulai kelihatan belangnya. Arogansi Jepang mulai terlihat. Penjajah Jepang ingin selalu dihormati. Kaum bumiputra dipaksa ikut gaya disiplin Jepang. Cukur rambut hingga gundul, misalnya.

Kedatangan serdadu Jepang pernah disambut dengan gegap gempita. Semuanya karena keberanian Jepang memukul mundur penjajah Belanda. Tuan-tuan kulit putih yang takut lari tunggang-langgang. Kaum bumiputra pun berpikir Jepang adalah juru selamat. Apalagi, Jepang mengaku sebagai saudara tua.

Semua itu berubah kala Jepang secara paripurna menguasai Indonesia pada 1942. Perlakuan Jepang mulai berubah. Tabiat mereka sebagai penjajah mulai keluar. Jepang mulai memaksakan kehendaknya. Seisi Nusantara harus patuh kepada Jepang.

Kaum bumiputra dipaksa menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Pun mereka harus hormat kepada bendera Jepang, Hinomaru. Kaum bumiputra yang mulanya simpati, mulai antipati. Kesusahan hidup di masa penjajahan Belanda bak terulang kembali di masa Jepang.

Invasi Jepang dalam memukul mundur penjajah Belanda dari Nusantara. (Wikimedia Commons)

Arogansi penjajah Jepang kian parah. Sikap sok kuasa menjalar ke mana-mana. Dari perkara urusan besar hingga kecil. Barang siapa yang tak mau melanggengkan seikerei (membungkukkan badan sedalam-dalamnya) ketika berjumpa serdadu Jepang akan disikat habis-habisan dengan kekerasan.

Kondisi itu tak jauh beda kepada kaum bumiputra yang menolak perintah Jepang. Tangan dan kaki penjajah bisa seketika melayang ke muka dan badan kaum bumiputra. Sikap itu tak hanya ditunjukkan kepada rakyat biasa. Mereka yang melanggengkan pendidikan tinggi juga terkena imbasnya.

Kondisi itu membuktikan bahwa tiada yang istimewa di mata penjajah Jepang. Satu-satunya yang Jepang inginkan adalah penurut. Bukan pembangkang.

“Kasus saya kena tempeleng Jepang menjadi bahan obrolan segar dan menarik di tengah tak berketentuannya situasi dan kelanjutan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum, Rechtshoogeschool te Batavia. Malahan tidak ada tanda-tanda bahwa kuliah akan dibuka kembali. Kami menganggur, tak ada kerja dan teman-teman yang datang ke rumah. Saya mendiskusikan hal itu dengan (rekan kuliah) Darmawansyah dan Borneo.”

“Sementara itu kami mendengar perkembangan keadaan. Bahwa pejabat Belanda pada ditangkap dan ditahan di mana-mana, meskipun sebelumnya di Jawa Tengah mereka sempat melakukan aksi bumi hangus untuk menghalangi gerak maju Jepang serta dalam rangka melakukan pengungsian ke Australia lewat Cilacap,” cerita Hoegeng Imam Santoso (kemudian jadi Kapolri ke-5) sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Cukur Gundul

Arogansi penjajah Jepang menjalar ke mana-mana. Mereka melanggengkan banyak aturan yang memberatkan. Guru maupun anak sekolah laki-laki harus cukur gundul, misalnya. Aturan itu dilanggengkan dari berbagai macam jenjang pendidikan. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Penjajah Jepang memahami benar aturan cukur gundul bak tentara sebagai bentuk kedisiplinan. Upaya itu dilanggengkan di seisi Nusantara. Apalagi, di sekolah yang dijalankan pemerintah Jepang. Kebijakan penggundulan itu dilanggengkan dengan paksaan.

Mereka yang tak mau gundul akan dicukur paksa oleh penjajah. Militer bahkan dilibatkan. Kekerasan pun jadi ‘senjata’ penegakan kedisiplinan cukur gundul. Mereka yang mau cukur gundul berarti boleh sekolah. Sedang mereka yang tak ingin gundul sulit mengakses pendidikan. Semuanya karena Jepang kerap adakan razia.

Kalangan pelajar tingkat menengah menganggap peraturan cukur gundul menyakitkan. Banyak di antara mengumandangkan protes. Namun, bagi anak-anak sekolah dasar, aturan itu dianggap bagian dari senang-senang. Narasi itu karena anak-anak itu belum memahami apa itu penjajahan dan siapa Jepang.

Murid-murid berkepala gundul di sekolah pada masa penjajahan di Indonesia. (Nationaal Museum-van Wereldculturen)

Semuanya diterima bak perwujudan dari syarat penyelenggaraan pendidikan. Mereka harus disiplin supaya pendidikan berjalan lancar. Sekalipun dalam penegakan disiplin itu Jepang kerap main tangan mendisiplinkan anak sekolah.

“Buat anak seusia saya, pengalaman-pengalaman di masa Jepang itu indah sekali. Maklum kami para bocah –tidak seperti para orang tua kami – tidak tahu siapa dan apa sebetulnya Jepang itu. yang kami mengerti adalah bahwa semua disiplin yang mereka ajarkan terasa nikmat. Tak masalah rambut mesti kami gundul, bukan perkara pula taiso (senam pagi) mesti kami kerjakan.”

“Tak masalah pipi kiri atau pipi kanan kami terkena tempeleng kalau kami keliru dalam baris-berbaris. Bukan perkara pula tubuh kami kena tendang kalau kami salah dalam bersenam pagi. Sebab, semua ini toh tidak seberapa dibanding kesenangan yang kami dapat selama latihan-latihan seperti itu,” ungkap Kris Biantoro dalam buku Manisnya Ditolak: Sebuah Biografi (2004).