Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini,  tahun yang lalu, 15 September 1913, Sekolah Tinggi Dokter Bumiputra pertama, Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya resmi beroperasi. Kehadiran NIAS dilanggengkan untuk menanggulangi kekurangan tenaga kesehatan di Hindia Belanda.

Sebelumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda hanya memiliki sebuah sekolah tinggi dokter bumiputra di Batavia. STOVIA, namanya. STOVIA mulanya dibangun karena keterbatasan tenaga dokter Eropa. Karenanya, kaum bumiputra di sekolahkan untuk menjadi tenaga kesehatan tambahan melawan wabah.

Boleh jadi penjajah Belanda kerap memenangkan perang merebut wilayah. Namun, perang melawan wabah justru kebalikannya. Pemerintah kolonial Hindia Belanda kerap keok lawan wabah. Dari malaria hingga cacar.

Banyak kebijakan yang dilanggengkan kadang tak sesuai dengan kebutuhan. Wabah semakin menjalar dan memakan banyak korban jiwa. Dalam penanganan cacar, misalnya. Kiprah dokter Eropa justru dipertanyakan.

Mereka hanya mau bekerja di kalangan orang Eropa saja. Sedang untuk turun membasmi wabah cacar ke kalangan kaum bumiputra di desa-desa mereka menolak. Fakta itu membuat pemerintah kolonial putar otak.

Aktivitas di dalam ruang kelas Sekolah Tinggi Dokter Bumiputra (NIAS) Surabaya. (Wikimedia Commons)

Mereka ingin menambah tenaga kesehatan dengan mendirikan Sekolah Dokter Djawa, kemudian berubah jadi STOVIA pada 1902. Sekolah tinggi itu mulanya dibatasi untuk kaum bumiputra di Pulau Jawa saja. Belakangan, STOVIA menerima mahasiswa dari segala penjuru Nusantara. Pun suku bangsa lainnya boleh mendaftar.

Hasilnya gemilang. Lulusan STOVIA banyak berkiprah sebagai mantri cacar dan tenaga kesehatan mempuni di Hindia Belanda. Belanda pun senang bukan main. Namun, kegembiraan itu hanya sebentar. Belakangan, STOVIA justru tumbuh jadi rumah pergerakan nasional.

Banyak pejuang kemerdekaan yang muncul dari rahim STOVIA. Sekolah itu dianggap berhasil membangkitkan daya kritis mahasiswa. Alih-alih hanya untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang andal, pendidikan di STOVIA justru turut membangkitkan rasa nasionalisme dan kesadaran akan kemerdekaan.

“Menjelang akhir abad ke-19, Sekolah Dokter Djawa ditransformasikan ke dalam STOVIA. Siapa yang melihat gambar para siswa Sekolah Dokter Djawa dan STOVIA pada tahun-tahun permulaannya akan tertarik oleh busana para siswa. Mereka berpakaian tradisional Jawa, baju, kain, blangkon, dan kaki telanjang,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).

Eksistensi STOVIA pun tiada dua. Institusi pendidikan itu terus menerima mahasiswa baru dari berbagai wilayah Nusantara. Namun, masalah muncul. Jumlah tenaga kesehatan yang mampu diluluskan STOVIA masih terbilang terbatas.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda ambil sikap. Mereka kemudian mendirikan Sekolah tinggi dokter bumiputra di wilayah lainnya. Kehadiran NIAS disambut dengan gegap gempita. Pun kemudian NIAS yang jadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) lalu resmi beroperasi pada 15 September 1913.

“STOVIA mulai membuka pintu bagi segala bangsa. Sedang gelar bagi para lulusannya menjadi Indisch Arts. Dalam tahun itu juga didirikan sekolah kedokteran semacam itu di Surabaya, bernama NIAS yang terletak di Jalan Kedongdoro No. 38.”

“Sebagai direkturnya yang pertama adalah Dr. A. E. Sitsen. Sekolah tinggi kedokteran terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan keadaan dan tuntutan jaman. Pada tahun 1927, STOVIA menjadi Geneeskundige Hoogeschool (GHS). Bagi mereka yang berhasil menyelesaikan studinya dinamakan Arts dengan ijasah yang setaraf dengan ijazah dokter d negeri Belanda,” terang Sri Indah Gayatri dalam buku Prof.Dr. M. Soetopo: Hasil Karya dan Pengabdiannya (1983).