Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 23 tahun yang lalu, 13 September 2000, bom meledak di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ). Peristiwa itu menghebohkan seisi Indonesia. Alih-alih hanya memakan korban jiwa, bom itu nyatanya membuat pasar modal Indonesia goyah.

Sebelumnya, teror bom kerap terjadi di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pengeboman dilakukan secara acak. Apa saja dapat jadi target. Pun rumah Duta Besar (Dubes) Filipina turut kena bom. Teror itu disinyalir karena perlakuan buruk Filipina ke komunitas Muslim Moro.

Teror bom makin marak di era pemerintahan Gus Dur. Pengeboman dilakukan dengan ragam tujuan. Bahkan, gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta Selatan pernah jadi target pengeboman pada Juli 2000.

Pengeboman itu terjadi berselang satu jam setelah hutomo Mandala Putera atau Tommy Soeharto diperiksa. Narasi itu membuat pemerintah curiga bahwa bom bukan dilakukan oleh kelompok radikal tertentu.

Pengeboman Kejagung dianggap serangan dari bekas simpatisan Orde Baru (Orba). Mereka digambarkan tak suka dengan aksi Kejagung yang memeriksa Tommy Soeharto dalam kasus pembelian tanah di Citeureup, Bogor. Tanah yang diketahui sebagai lokasi Sirkuit Internasional Sentul dibangun.

Ismuhadi, salah satu dari tiga terpidana kasus peledakan bom di Gedung Bursa Efek Jakarta pada 13 September 2000. (Antara/Ampelsa)

Belum kelar urusan bom Kejagung, aksi pengeboman lain muncul. Bom pun meledak kembali pada 1 Agustus 2000. Namun, serangan bom itu justru muncul di rumah Dubes Filipina di Menteng, Jakarta Pusat. Kejadian itu menghebohkan seisi negeri. Apalagi, Dubes Filipina untuk Indonesia, Leonides T Caday jadi korban.

Peristiwa itu membuat pemerintah pusing mencari dalangnya. Pengeboman Kejagung dan rumah Dubes Filipina dianggap memiliki motif berbeda. Motif pengeboman rumah Dubes Filipina diduga karena sikap negara tersebut yang buruk kepada komunitas Muslim Moro.

“Kerusakan akibat ledakan bom di depan rumah Duta Besar Filipina untuk Indonesia pekan lalu masih tampak. Tapi itu soal waktu saja untuk memperbaikinya. Penghuni rumah di kawasan Menteng itu bukanlah orang-orang kere. Meski mereka pindah sejenak, mereka tak bisa disämakan dengan pengungsi Maluku yang begitu mengenaskan.”

“Namun, ketakutan yang mencekam masyarakat akan munculnya bom-bom susulan, atau maraknya kekerasan dan teror, barangkali masih perlu waktu lama untuk diredam. Satu cara untuk meredam adalah menguak tabir di balik peledakan bom itu. Siapa yang punya bom, siapa yang meledakkan, siapa sasarannya, apa motifnya? Polisi Indonesia memang sudah bersungguh-sungguh mengusut kasus ini. Masalahnya, masyarakat sudah telanjur memberi kesan buruk pada polisi kita dalam mengungkap kasus ledakan semacam ini,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Mencari Siapa Sasaran Bom Itu (2000).

Duka berturut-turut karena pengeboman bak tiada henti. Pengeboman di Jakarta kembali terjadi. Bom meledak di BEJ (kini: Bursa Efek Indonesia) pada 13 September 2002. Bom itu menewaskan 15 orang. Sedang korban luka-lukanya mencapai 90 orang.

Pun dampaknya tak melulu pada jatuhnya korban jiwa. BEJ yang notabene pusat pasar modal Indonesia dan bursa global berhenti beroperasi sementara waktu. Artinya, pasar modal Indonesia mengalami kerugian besar karena transaksi saham tak dapat dilangsungkan.

Pemerintah pun pusing bukan main. Mereka kembali menebak-nebak motif dan siapa pelaku pengeboman. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sempat dibawa-bawa. Namun, Presiden Gus Dur justru mencurigai pengeboman dilakukan oleh simpatisan Soeharto. Sebab, bom meledak bertepatan dengan sidang Soeharto terkait korupsi.

“Gus Dur menyebutkan kemungkinan terkaitnya orang-orang tertentu dengan ledakan bom di Gedung BEJ. Salah satu nama yang disebut Tommy Soeharto. Selain Tommy, polisi juga diperintahkan untuk menciduk Ali Baagil, seorang habib di Jalan Kramat Kwitang, Jakarta Pusat.”

“Gus Dur tak merinci bukti-bukti yang ada di kantongnya. la hanya menduga, pemboman di BEJ, juga kasus-kasus sebelumnya, dipicu oleh pengadilan Soeharto. Gus Dur mengungkap: Saya mau jujur sama rakyat sendiri. Kenapa sih setiap kali Pak Harto mau dibawa ke pengadilan, kok ada ribut-ribut,” terang Virdika Rizky Utama dalam buku Menjerat Gus Dur (2020).