Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 20 tahun yang lalu, 9 September 2004, bom meledak di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jakarta. Bom itu menewaskan 14 orang dan ratusan lainnya luka-luka. Peristiwa itu menghebohkan seisi Indonesia.

Sebelumnya, teror bom di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri tak sedikit. Indonesia mulanya dikejutkan dengan hadirnya Bom Bali I. Peristiwa itu membuat Indonesia dianggap negara yang tak aman dikunjungi. Belum kepanikan bom Bali mereda, muncul bom Hotel JW Marriott dan bawa heboh.

Aksi teror di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri tak sedikit. Megawati pernah dibuat pusing karena Indonesia kembali dijadikan sasaran aksi teror. Aktivitas teror yang terparah tak lain adalah Bom Bali I.

Pulau Dewata yang terkenal damai dan tentram justru dijadikan lokasi pengeboman. Bom pun meledak di tiga tempat berbeda pada 12 Oktober 2002. Antara lain di Sari Club, Paddy’s Pub, dan di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat.

Korban luka dievakuasi dari Kedubes Australia di Jakarta yang dibom pada 9 September 2004. (China Daily)

Pengemboman itu membuat korban berjatuhan. Ratusan nyawa melayang. Mereka yang luka-luka pun mencapai ratusan. Rata-rata yang menjadi korban adalah wisatawan asing yang sedang asik berlibur ke Bali. Kondisi itu memunculkan duka cita yang amat dalam dari negara-negara di dunia.

Presiden Megawati pun langsung menggelar sidang kabinet paripurna khusus. Megawati meminta Polri untuk cekatan terhadap langkah pencegahan. Kalau sudah terjadi rakyat yang panik dapat membuat hancur beberapa sektor lainnya, dari investasi, pariwisata, hingga perekonomian.

Belum kelar urusan Bom Bali, bom kembali meledak di Hotel JW Marriott, Jakarta pada 5 Agustus 2003. Bom itu menewaskan 12 orang dan mencederai 145 orang. Jemaah Islamiyah dianggap sebagai dalangnya. Pengeboman itu memberikan indikasi bahwa aksi teror masih terus berlanjut di Indonesia.

“Tampaknya memang serangan bom Marriott II dan Ritz Carlton dilakukan oleh kelompok Noordin M. Top. Dengan keterbatasan pasokan bahan peledak, maka kelompok sempalan ini hanya mampu membuat bom dengan daya ledak yang rendah, berbeda dengan beberapa pengeboman terdahulu.”

“Tampaknya Marriott dan Ritz Carlton dipilih dengan alasan lama yang klasik, merupakan simbol Amerika yang paling jelas. Karena bom yang mereka miliki tergolong kecil, maka harus diledakkan di dalam hotel, agar efek serangan tetap besar. Kelebihan terkini dari kelompok ini adalah kemampuannya melakukan penetrasi ke dalam hotel,” ujar Prayitno Ramelan dalam buku Intelijen Bertawaf (2009).

Polisi mengamati sesosok jenazah tak dikenal yang tewas akibat ledakan bom di depan Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004. (China Daily)

Aksi teror tak lantas berhenti. Setelahnya, aksi teror kembali mengancam Kedubes Australia pada 9 September 2004. Pengeboman dilakukan oleh teroris berani mati yang kemudian diidentifikasikan sebagai Heri Kurniawan alias Heri Golun bagian dari Jemaah Islamiyah.

Heri kala itu melakukan teror dengan membawa bom dalam mobil box yang melintasi Kedubes Australia. Bom yang meledak pada pukul 10:30 WIB membuat 11 orang meninggal dunia dan 154 orang luka-luka. Mereka yang meninggal ialah petugas pengamanan kedubes, pemohon visa, serta warga sekitar.

Tiada warga Australia yang meninggal dunia dalam peristiwa itu. Aksi teror itu juga turut merusak gedung lainnya. Puncaknya, aksi teror membuat keamanan Indonesia kembali dipertanyakan. Namun, Polri cepat menelusuri tersangka lainnya. Hasilnya, Rois, Ahmad Hasan, Apuy, dan Sogir alias Abdul Fatah ditangkap di Bogor pada 5 November 2004.

“Beberapa bangunan di sekitar tempat kejadian juga mengalami kerusakan. Antara lain kantor Kementerian Koperasi yang berseberangan dengan Kedubes Australia, Plaza 89. Juga, gedung Sentra Mulia yang berjarak sekitar 100 meter dari ledakan.”

“Dua kaca studio ANTV di lantai 19 pecah sehingga dari situlah ANTV melakukan siaran langsung. Kasus bom di depan Kedubes Australia Jąlan Rasuna Said Kuningan, Jakarta selatan ini adalah aksi terorisme besar ketiga yang ditujukan terhadap Australia yang terjadi di Indonesia setelah Bom Bali pada 2002 dan Bom JW Marriott pada 2003,” ungkap Tito Karnavian dalam buku Dalam Pusaran Terorisme (2018).