Bagikan:

JAKARTA - Budi Utomo punya andil dalam perjalanan sejarah Indonesia. Organisasi itu didirikan untuk memberikan ruang kepada kaum bumiputra bersatu melawan kebodohan. Kondisi itu membuat Soekarno ambil kesimpulan penting.

Bung Karno mendaulat tanggal lahir Budi Utomo sebagai penanda besar: Hari Kebangkitan Nasional. Namun, tak semua setuju dengan pilihan Bung Karno. Perdebatan muncul setelahnya. Beberapa menganggap Budi Utomo terlalu elitis. Lainnya menganggap Budi Utomo perjuangkan nasib anak priayi, bukan seluruh kaum bumiputra.

Dulu kala bersekolah adalah sesuatu yang mustahil bagi kaum bumiputra. Semuanya berubah kala pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai memberlakukan politik balas budi (Politik Etis) pada 1901. Politik balas budi itu dijalankan karena Belanda terlalu banyak memeraskan keringat kaum bumiputra.

Belanda pun dituntut oleh rakyatnya sendiri untuk bertanggung jawab membangun Hindia Belanda (kini: Indonesia). Dalam pendidikan, misalnya. Belanda mula mempersilahkan kaum bumiputra bersekolah di sekolah Eropa. Sekalipun mereka yang boleh sekolah terbatas kepada kaum priayi.

Ilustrasi Hari Kebangkitan Nasional. (Pexels)

Nyatanya, kesempatan itu justru jadi senjata makan tuan. Kaum muda terpelajar mulai mengganggu penjajah Belanda. Kaum bumiputra yang bersekolah mulai meyakini pendidikan adalah jalan yang mampu memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Kaum bumiputra yang menuntut ilmu di Sekolah Dokter Bumiputra, STOVIA dan lainnya mulai sadar mereka harus bersatu. Persatuan itu lalu ditandai dengan hadirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

Organisasi itu sengaja dihadirkan untuk membela hak-hak kaum bumiputra. Fokus Budi Utomo adalah ketersediaan pendidikan untuk kaum bumiputra di Jawa dan Madura. Tokoh-tokoh besar di balik Budi Utomo pun bejibun.

Wahidin, Soetomo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Kondisi itu membuat banyak mahasiswa lainnya bergabung macam Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Kondisi itu kemudian membuat Soekarno mengambil keputusan penting kala Indonesia merdeka. Soekarno kepincut dengan Budi Utomo dan menetapkannya sebagai penanda Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 20 Mei 1948. Alhasil, hari lahirnya Budi Utomo dirayakan tiap tahunnya sebagai fondasi utama perjuangan meraih kemerdekaan.

“Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priayi rendah. Pada bulan Mei 1908, diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Nama Jawa ini (yang seharusnya dieja budi utama) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schoone streven (ikhtiar yang indah).”

“Tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa Jawa yang beraneka ragam, nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia. Pada pertemuan pertama itu, hadir para perwakilan mahasiswa dari STOVIA, OSVIA (sekolah pangreh praja), sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran hewan. Cabang-cabang Budi Utomo didirikan pada lembagalembaga pendidikan tersebut,” ungkap Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Polemik Hari Kebangkitan Nasional

Penetapan Hari Kebangkitan Nasional mengundang kritik. Kritik itu bak mengundang kembali komentar tokoh bangsa macam Tjipto Mangoenkoesoemo yang menyebut Budi Utomo terlalu elitis. Nada-nada membandingkan Budi Utomo dan organsasi lainnya muncul.

Beberapa menganggap kehadiran Budi Utomo belum menandakan Keindonesiaan. Budi Utomo dianggap masih memegang prinsip kedaerahan. Mereka dari suku bangsa lain – selain Jawa—sulit masuk Budi Utomo.

Pandangan yang paling masuk akal terkait Keindonesiaan itu baru lahir 1920-an. Penandanya adalah eksistensi Perhimpunan Indonesia (PI) yang jadi organisasi perkumpulan mahasiswa bumiputra di Belanda.

Mereka dianggap berjasa menghadirkan perihal Keindonesiaan dengan segala keragamannya – termasuk lahirnya sumpah pemuda. Komentar terkait budi utomo belum layak sebagai pembuka jalan nasionalisme kian banyak.

Mereka menganggap kemunculan PI, Sarekat Islam, atau Partai Hindia (Indische Partij) dianggap lebih layak. Perdabatan itu diakui oleh banyak tokoh bangsa. Bung Hatta pun sampai angkat bicara. Ia tak ingin perihal penentuan Hari Kebangkitan Nasional selalu dipermasalahkan.

Mahasiswa Sekolah Dokter Bumiputra (STOVIA) melakukan praktik. (Wikimedia Commons)

Hatta mengambil jalan tengah. Hatta menyebut Budi Utomo memang bukan ikon penanda nasionalisme. Atau langsung jadi organisasi ikon pergerakan nasional. Hatta justru mengungkap Budi Utomo bak pintu gerbang semangat nasional.

Suatu pintu yang mampu membuka pergarakan kebangsaan lainnya. Hatta tak ingin berdebatan itu terus terjadi setiap dekat perayaan Hari Kebangkitan Nasional. Pernyataan itu diungkap Hatta dalam majalah Star Weekly, 17 Mei 1958.

“Di dalam tulisannya itu Bung Hatta terlebih dahulu mengakui bahwa Budi Utomo yang berdiri 20 Mei 1908 memang belum memenuhi syarat untuk diberi nama Pergerakan Nasional. Apabila diukur dengan pengertian sekarang tentang apa yang disebut perjuangan politik dan pergerakan kebangsaan.”

“Selanjutnya Bung Hatta mengingatkan bahwa ditinjau dari suasana masa itu, Budi Utomo sudah mengandung: kecambah semangat nasional. Bung Hatta lantas menegaskan,Budi Utomo dapat dipandang sebagai pendahuluan kepada pergerakan kebangsaan yang muncul di dalam tahun 1912 dan 1913 dengan lahirnya Nationale Indische Partij dan Sarekat Islam,” terang P. Swantoro dalam buku Dari Buku Ke Buku : Sambung Menyambung Menjadi Satu (2016).