Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini delapan tahun yang lalu, 14 Mei 2016, Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengusulkan peristiwa Kerusuhan Mei 1998 masuk jadi bahan ajar kurikulum nasional. Keinginan itu diungkap karena makin tipis ingatan akan tragedi kemanusiaan.

Sebelumnya, kebencian rakyat akan pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba) memuncak. Segenap rakyat Indonesia memilih turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Alih-alih merangkul, Orba justru menggunakan siasat ‘memukul’ demonstran.

Hajat hidup rakyat Indonesia jatuh dalam level terendah karena krisis ekonomi sedari awal 1998. Mereka kian menyadari bahwa kepemimpinan Soeharto dan Orba tak dapat berlanjut. Sebab, kesengsaraan dianggap akan selalu berpihak kepada rakyat, bukan pejabat.

Narasi itu membuat aksi turun jalan kian masif. Tokoh nasional hingga mahasiswa memilih meleburkan dirinya dalam mimbar-mimbar rakyat. Tujuannya supaya Soeharto lengser. Namun, keinginan itu tak berlangsung mulus. Orba terus memainkan siasat lama berupa siasat memukul.

Kerusuhan Mei 1998 menjalar hingga Surakarta. (Wikimedia Commons)

Orba menurunkan aparat keamanan untuk mengamankan dan membereskan aksi massa. Hasilnya justru jadi senjata makan tuan. Siasat memukul yang diterapkan kepada mahasiswa Universitas Trisaksi nyatanya membuahkan kemarahan. Empat di antara mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dunia pada 12 Mei 1998.

Tragedi Trisakti bak membuat aksi massa kian tak terkendali. Massa berbondong-bondong memenuhi Ibu Kota. Anehnya aparat keamanan yang muncul menjaga keadaan sedikit berkurang. Kondisi itu membuat kerusuhan hadir di seantero Jakarta.

Penjarahan dan pembakaran toko-toko dilakukan. Bahkan, konflik kian melebar ke masalah rasial. Mereka yang beretnis Tionghoa harus menanggung nestapa. Rumah mereka dijarah. Pun kaum wanitanya banyak yang menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Sebuah luka seumur hidup yang harus ditanggung. Aparat keamanan bak menutup mata. Mereka tak lagi sigap sebagaimana tugas mengawal investasi. Korban jiwa pun berjatuhan. Kerusuhan itu lalu menjalar ke berbagai kota di Nusantara hingga Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.

Aksi penjarahan dan pembakaran toko-toko dalam Kerusuhan Mei 1998. (Wikimedia Commons)

Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Djarot Saiful Hidayat mencatat 500 orang jadi korban jiwa. Itu untuk lingkup Jakarta saja.

“Sebagian besar korban tewas adalah massa yang terjebak di dalam mal atau kompleks pertokoan yang menjadi korban penjarahan dan pembakaran. Sekitar 1.000 orang pelaku penjarahan ditangkap dan diamankan. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dalam keterangan kepada pers melaporkan kerusakan akibat kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran pada 13-14 Mei 1998.”

Ia melaporkan sebagai berikut: 4.939 bangunan (perkantoran dan usat perbelanjaan); 64 kantor bank; 1.119 mobil pribadi; 66 angkutan umum; 821 sepeda motor terbakar; dan 1.026 rumah pendudulk rusak dibakar. Khusus untuk kerusakan fisik bangunan, kerugian sementara diperkirakan mencapai 2,5 triliun rupiah,” ujar Djarot dan Endi Haryono dalam buku Politik dan Ideologi PDI Perjuangan 1987-1999: Penemuan dan Kemenangan (2023).

DJarot yang kini menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta itu tak ingin Kerusuhan Mei 1998 hilang begitu saja dalam ingatan. Ia justru menyarankan supaya tragedi 1998 itu segera masuk jadi bahan ajar dalam kurikulum nasional.

Keinginan itu supaya generasi muda Indonesia mengenal sejarah. Lebih spesipik lagi, supaya setiap perpindahan kekuasaan tak melulu harus dihubungkan dengan urusan pertumpahan darah saja. Urusan perpindahan kekuasaan bisa jadi lebih kompleks seperti dalam Kerusuhan 1998.

“Pelajaran soal Tragedi Mei 1998 ini memang harusnya jadi kurikulum nasional, sama seperti ketika kita belajar soal jatuhnya Kerajaan Singasari. Supaya tiap perpindahan kekuasaan tidak dihubungkan dengan pertumpahan darah,” ucap Djarot sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 14 Mei 2016.