Stigma Neo Orde Baru dan Upaya Pendiskreditan Musuh Politik di Pilpres 2024
Pasangan Pilres 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyapa pendukungnya di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (25/10/2023). (Antara/Aprillio Akbar/tom)

Bagikan:

JAKARTA – Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terus mendapat cibiran setelah resmi diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk Pilpres 2024. Terkini, politikus PDIP kembali menyerang pasangan tersebut.

Belum lama ini, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengajak semua kader dan Parpol pengusung untuk terus bergerak memenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan mengalahkan Menteri Pertahanan yang berduet dengan putra sulung Presiden Joko Widodo.

Djarot mengklaim pasangan Prabowo-Gibran sebagai cerminan Neo-Orde Baru.

Politikus PDIP, Djarot Saiful Hidayat. (Antara/HO PDIP)

"Terus bergerak, Ganjar-Mahfud Md pastikan akan terus perkuat demokrasi. Bersama kita hadapi Prabowo-Gibran sebagai cerminan Neo-Orde Baru Masa Kini," ujar Djarot.

Ia melanjutkan, tidak ada tempat di Indonesia bagi orang yang berambisi dengan kekuasaan.

“(Karena) cinta terhadap keponakan, lalu MK dikebiri, dan demokrasi pun mati. Kini kekuatan moral lahir kembali. Inilah fondasi terpenting Ganjar-Mahfud MD, kokoh pada moral kebenaran dan berdedikasi total pada rakyat, bangsa, dan negara, bukan pada keluarga," kata dia.

Ciri Neo Orde Baru

Secara sederhana, Orde Baru adalah masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Seperti yang diketahui, masa jabatan Soeharto berlangsung selama 32 tahun, diawali surat perintah yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966 dan berakhir tahun 1998.

Pada 1998 terjadi demonstrasi besar-besar hingga mengakibatkan kerusuhan di sejumlah daerah di Indonesia. Periode Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berakhir setelah pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998 sekaligus menandai lahirnya masa reformasi.

Setelah dua dekade lebih berada di era reformasi, istilah Neo Orde Baru kembali menggema. Sebenarnya, istilah ini sudah mulai dimunculkan pada masa Pemilu Presiden 2019 lalu.

Pandangan tersebut timbul karena ada kemiripan karakter kebijakan pemerintahan Jokowi dengan masa Orde Baru. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengkritik pemerintah di ruang publik.

Peneliti sekaligus Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan aturan tersebut berpotensi menimbulkan chilling effect, yaitu ASN takut menyampaikan pendapat mereka.

Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto menjabat selama 32 tahun di masa Orde Baru. (Wikimedia Commons)

"Padahal kritik dalam konteks demokrasi itu kan diperlukan dari siapapun. Tidak hanya dari publik, bahkan juga dari internal penyelenggara negara," ujar Wahyudi pada 16 Oktober 2019.

Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan ciri-ciri Neo Orde Baru memang terlihat di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Ciri-ciri yang paling kentara adalah bagaimana nepotisme yang tumbuh subur di era sekarang. Belum lagi adanya potensi abuse of power atau pemanfaatan kekuasaan.

Jokowi dituding memanfaatkan kekuasaannya saat Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Dari putusan tersebut akhirnya MK membolehkan seseorang yang berusia di bawah 40 tahun untuk maju dalam Capres dan Cawapres selama ia pernah atau sedang menjabat kepala daerah.

“Ciri-ciri nepotisme itu kan adanya politik dinasti, pemilu yang tidak netral, nepotisme tumbuh subur serta adanya potensi abuse of power. Sekarang ada tidak ciri-ciri itu?” ucap Pangi kepada VOI.

Upaya Mendiskreditkan Rival 

Lebih lanjut, Pangi juga menyinggung soal masa jabatan presiden di masa Orde Baru. Di era sebelumnya, masa jabatan presiden adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali setelahnya, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945.

Namun berdasarkan UUD 1945 yang telah dimandemen pada Sidang Umum MPR 1999, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat menjabat selama dua periode masa jabatan.

Belakangan, isu bahwa ada keinginan dari Jokowi untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode kembali bergulir. Belum lagi adanya wacana penundaan Pemilu 2024 yang ramai dibahas sejak tahun lalu.

Gagasan-gagasan ini dianggap sebagai upaya pemerintah yang berkuasa saat ini memperpanjang masa kekuaaannya. Namun ketika usaha-usaha ini gagal, Jokowi akhirnya memunculkan Gibran sebagai bakal Cawapres Prabowo untuk melanjutkan kekuasaan.

Presiden RI Joko Widodo saat memberikan sambutan pada Puncak Perayaan HUT ke-59 Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (6/11/2023). (Antara/Mentari Dwi Gayati)

“Ada usaha menambah masa jabatan presiden, ada usaha menunda pemilu namun faktanya semua ini tidak berhasil,” Pangi menambahkan.

“Kini, dengan mengusung anaknya, Gibran, ada kesan seolah-olah presiden yang sekarang nantinya masih berkuasa. Presiden ingin tetap berkuasa lewat anaknya dan ini jadi pilihan terakhir setelah ikhtiar sebelumnya gagal,” kata pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Voxpol Centre.

Dihubungi terpisah, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad menilai gagasan Neo Orde Baru yang digembor-gemborkan tidak lebih sebagai upaya untuk mendiskreditkan salah satu pasangan. 

Ini dilakukan setelah Gibran dinilai mendapat karpet merah dari putusan MK. Namun, Andriadi menilai upaya-upaya menjatuhkan rival adalah hal biasa di tahun politik.

“Klaim soal Neo Orde Baru dikeluarkan karena ingin mendiskreditkan salah satu kontestan. Ini sebetulnya operasi politik yang sering bahkan selalu terjadi di tahun-tahun politik. Memang selalu ada upaya untuk memojokkan salah satu kontestan,” kata Andriadi kepada VOI.

“Ini hanya pintu masuk untuk memojokkan pasangan Prabowo-Gibran, tidak lebih dari itu,” ujar Andriadi lagi.