JAKARTA - Koordinator Perhimpunan Aktivis 98 Fauzan Luthsa menyebut Indonesia tidak boleh memiliki capres yang memiliki latar belakang penculikan aktivis 98 dan hasil pelanggaran etik.
“Belum pernah Kondisi demokrasi begitu mengkhawatirkan seperti saat ini dan ini justru disebabkan oleh pemimpin nasional yang mengedepankan praktik politik dinasti,” ujarnya dalam acara konsolidasi pro demokrasi yang bertema “Apa saja boleh beda musuh kita tetap sama pelanggar HAM, Politik dinasti & Neo Orba di Grand Sahid Jaya Hotel, Sudirman, Jakarta, Minggu (21/1).
Menurutnya presiden justru melegalkan segala cara yang merusak tatanan demokrasi dengan membiarkan terjadinya Politik dinasti, Pelanggaran HAM serta bangkitnya Neo Orba.
BACA JUGA:
“2014 dan 2019 kita berhasil menggagalkan pelanggar HAM memimpin republik ini. Dan saat ini jauh lebih berat karena mereka justru menjadi satu paket komplit, yakni penculik aktivis, politik dinasti dan neo orba. Mahasiswa sebagai komponen yang memiliki legitimasi moral, bersama kami yang menjadi pelaku jatuhnya rezim otoriter Soeharto, harus mencegah agar dapat kembali mencegah mereka berkuasa.”
Fauzan memaparkan demokrasi Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru jika Prabowo Subianto menjadi presiden.
Ia juga menyebut presiden Jokowi telah melanggar Tap MPR No 11/1998 mengenai Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan majunya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres berdasarkan hasil keputusan MK 90/PUU-XXI/2023 dimana pamannya Anwar Usman memutuskan perkara tersebut dan diberhentikan sebagai ketua MK karena adanya pelanggaran etik.
Dalam acara tersebut turut hadir mahasiswa dari berbagai daerah dan tokoh aktivis 98 lainnya seperti Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti dan akademisi Ubedillah Badrun. Kemudian juga tokoh aktivis 98 seperti Syafieq Alieha, Parto Bangun, Antonius Danar, Petrus Haryanto, Tendry Masengi, dan Azwar Furgudyama.