Bagikan:

JAKARTA - Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru (Orba) digoyang rakyat Indonesia pada Mei 1998. Rakyat Indonesia yang menjerit justru bangkit melawan Orba karena resesi ekonomi yang mencekik. Aksi demostrasi berlangsung di mana-mana. Mereka ingin Soeharto lengser. Pemerintah Orba bak salah strategi.

Mereka memilih pendekatan kekerasan. Tragedi Trasakti mencoreng wajah Orba. Tragedi itu membuat situasi tak terkendali. Kerusuhan Mei 1998 hadir. Penjarahan dan pemerkosaan etnis China jadi luka sejarah. Pemerintah lagi-lagi salah langkah. Mereka justru membentuk Pam Swakarsa.

Kehadiran resesi ekonomi 1997-1998 bawa segenap rakyat Indonesia sengsara. Rakyat tak lagi memilih diam. Mereka bergerak melawan Soeharto dan Orde Baru. Aksi turun ke jalan pun dipilih sebagai opsi utama.

Keinginan agar Soeharto lengser terus mengiringi. Peserta aksi kian meningkat di Jakarta. Alih-alih pemerintah memilih pendekatan merangkul mahasiswa, Orba tetap setia menggunakan jalur kekerasan. Langkah kekerasan itu hadir kala aparat keamanan melakukan penyerangan terhadap mahasiswa.

Kerusuhan Mei 1998 menjalar ke Surakarta. (Wikimedia Commons)

Ambil contoh pada mahasiswa Universitas Trisakti yang sedang menuju kampus pada 12 Mei 1998. Empat nyawa melayang. Mereka antara lain Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur), Hafidhin Royan (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil), Hery Hartanto (Fakultas Teknologi Industri), dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi).

Kondisi itu membawa kebimbangan di antara aparat keamanan. Kekerasan nyatanya tak dapat dilakukan untuk menangani konflik. Penyesalan tinggal penyesalan, berita represifnya pemerintahan membunuh mahasiswa justru memancing amarah.

Sehari setelahnya, atau 13 Mei 1998. Segenap rakyat langsung memenuhi kota untuk melakukan protes. Aparat keamanan bak mengurangi operasi kekekarasan. Keadaan jadi tak terkendali. Penjarahan dan pembakaran terjadi dengan begitu leluasa. Bahkan, di depan mata aparat keamanan sendiri.

Rakyat yang bergerak bak tak merasakan keanehan kenapa aparat berkurang. Kondisi itu kemudian dimanfaatkan untuk melakukan penjarahan. Banyak di antara toko-toko dijarah kemudian dibakar. Sisanya kerusuhan kian menyasar banyak hal, sentimen rasial.

Etnis China jadi luapan amarah. Pelecehan seksual dan pemerkosaan massal kepada wanita etnis China berlangsung di mana-mana. Beberapa di antaranya tak hanya diperkosa saja, tapi juga dibunuh.

“Pada siang hari yang sama, Pusat Penerangan ABRI melaporkan jumlah korban jiwa aksi kerusuhan dan penjarahan di Jakarta mencapai 500 orang (tidak termasuk korban di luar Jakarta). Sebagian besar korban tewas adalah massa yang terjebak di dalam mal atau kompleks pertokoan yang menjadi korban penjarahan dan pembakaran.”

“Sekitar 1.000 orang pelaku penjarahan ditangkap dan diamankan. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dalam keterangan kepada pers melaporkan kerusakan akibat kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran pada 13-14 Mei 1998 sebagai berikut: 4.939 bangunan (perkantoran dan usat perbelanjaan); 64 kantor bank; 1.119 mobil pribadi; 66 angkutan umum; 821 sepeda motor terbakar; dan 1.026 rumah pendudulk rusak dibakar. Khusus untuk kerusakan fisik bangunan, kerugian sementara diperkirakan mencapai 2,5 triliun rupiah,” ujar Djarot Saiful Hidayat dan Endi Haryono dalam buku Politik dan Ideologi PDI Perjuangan 1987-1999: Penemuan dan Kemenangan (2023).

Bentuk Pam Swakarsa

Gelora Kerusuhan Mei 1998 berlanjut ke luar Jakarta. Kondisi yang kian tak terkendali itu membuat Soeharto ambil sikap. Ia yang tadinya nyaman dengan jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia mulai bimbang. Keputusan mundur sebagai Presiden Indonesia lalu di ambil Soeharto pada 21 Mei 1998.

Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie segera mengambil alih posisi Soeharto jadi orang nomor satu Indonesia di masa pemerintahan transisi. Kondisi itu tak cukup meredam amarah rakyat. Apalagi, desas-desus yang berkembang pemerintah Indonesia akan kembali menggelar Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1998.

Sidang itu digadang-gadang sebagai langkah militer terus menancapkan kuasanya di Nusantara. Sidang itu dijadikan ajian untuk mengangkat anggota DPR dari Golongan Karya ABRI, yang akan diubah dalam sebutannya menjadi Prajurit ABRI saja.

Pam Swakarsa mengayunkan tongkat bambu, menyerang pengendara sepeda motor yang tidak bersalah di depan gedung DPRD di Jakarta, Selasa 10 November 1998. (Dok/VOA/AP)

Amarah rakyat Indonesia memuncak. Panglima TNI, Wiranto bersiasat. Tokoh Militer Indonesia, Kivlan Zen menyebut ia diperintah langsung Wiranto untuk membentuk Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa) pada era transisi.

Pasukan Pam Swakarsa itu sengaja dibentuk untuk mengamankan Sidang Istimewa pada November 1998. Alias Pam Swakarsa dijadikan sebagai bemper militer supaya tak berhadapan dengan massa sipil langsung seperti pada Tragedi Semanggi atau Kerusuhan Mei 1998.

Sukarelawan Pam Swakarsa muncul dari kelompok muda berbagai daerah. Beberapa di antaranya berasal dari suatu ormas populer. Mereka direncanakan akan ditempatkan di berbagai lokasi untuk melawan demonstran.

Wiranto, sosok yang berperan besar terhadap kemunculan Pam Swakarsa di tahun 1998. (Wikimedia Commons)

Masalah muncul. Bentrokan antara mahasiswa dengan militer, Brimob dan Pam Swakarsa tak terhindarkan pada November 1998. Peristiwa itu memunculkan korban jiwa yang tak sedikit. Pam Swakarsa disebut sebagai aktor penting yang memicu tragedi berdarah Semanggi I dan II.”

“Panglima ABRI mengeluarkan Rencana Operasi termasuk di dalamnya tentang dukungan Pam Swakarsa untuk mendukung ABRI dalam pengamanan Sidang Istimewa MPR. Dalam pelaksanaannya Pam Swakarsa nantinya berada di depan mengelilingi Gedung MPR.”

“Sedangkan Polda di belakang Pam Swakarsa, dan TNI di belakang Polda. Apabila Pam Swakarsa tidak mampu menghadapi massa, maka Polda dan TNI maju ke depan, dan Pam Swakarsa mundur ke belakang,” terang Kivlan Zen sebagaimana disusun Titi Dwi dalam buku Kivlan Zen : Personal Memoranda, Dari Fitnah Ke Fitnah (2022).