Bagikan:

Sebelumnya kita telah membahas rekam jejak mantan orang nomor tiga di tubuh organisasi Front Pembela Islam (FPI) Munarman, yang belum lama tersandung kasus dugaan keterlibatan terorisme. Selanjutnya di Tulisan Seri khas VOI edisi "Kontroversi FPI," melihat perspektif lebih luas tentang bagaimana terbentuknya ormas yang digawangi Muhammad Rizieq Shihab tersebut.

Halaman Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang, menjadi saksi tatkala Front Pembela Islam (FPI) dideklarasikan pada 17 Agustus 1998. Dibawah komando Muhammad Rizieq Shihab, FPI tumbuh menjadi salah satu organisasi massa terbesar. 

Popularitasnya meningkat seiring dengan kontroversinya. Pro-kontra kelahiran FPI bahkan sudah mencuat sejak awal. Lantaran Wiranto, yang kala itu menjabat Panglima ABRI, melibatkan FPI dalam operasi pengamanan Sidang Istimewa MPR di bawah payung PAM Swakarsa.

Boleh jadi benih-benih kelahiran FPI sudah ada jauh sebelum pembentukan resmi. Dikutip  M. Imdadun Rachmat dalam Arus Islam Radikal (2005), para ulama yang memiliki kesamaan visi membentuk FPI dengan corak khas Islam Tradisional. Semangat utamanya adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar lewat ragam acara, seperti pengajian, tahlil, salawatan, tabligh akbar, audiensi dengan unsur-unsur pemerintah, serta lewat silaturahmi antar tokoh agama kesohor.

“Sedangkan FPI, lebih merupakan organisasi yang muncul dari para ulama, dai, dan haba’ib yang memiliki ciri Islam tradisional. Mereka mempraktekkan ritual-ritual yang ditentang oleh para pendukung gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, maupun Laskar Jihad, yang mengusung purifikasi dan secara pemikiran dekat dengan Timur Tengah. Kalangan FPI akrab dengan tahlil, barzanji, salawat, dan puj-pujian yang sering diidentikkan dengan bid'ah,” tulis M. Imdadun Rachmad.

Untuk itu, peran ulama dalam eksistensi FPI begitu sentral. Ormas ini lekat dengan patronisme. Utamanya kepada sosok sang imam besar Rizieq Shihab. 

Rizieq berhasil mengumpulkan 20 ulama terkenal untuk mendirikan FPI. Beberapa di antaranya adalah KH Fathono, KH Misbahul Anam, KH Cecep Bustomi, dan Habib Idrus Jamalullail. Mereka semua dikenal aktif sebagai ulama yang keras sejak zaman Orde Baru. Beberapa di antaranya pernah dipenjara karena terlalu kritis kepada pemerintahan Soeharto.

Kelahiran FPI menunjukkan adanya semangat keagamaan sekelompok umat Islam dengan gerakan dakwah yang tergolong fanatik. Alhasil, FPI sebagai organisasi gerakan menjadi tak begitu mementingkan bentuk kelembagaan. Berbeda dengan ormas lain, FPI justru tak melakukan perekrutan keanggotaan secara permanen dan sistematis.

“Para anggota FPI tidak terikat pada aturan organisasi yang formal dan ketat. Pengikat utama yang menyatukan anggota FPI adalah komitmen moral dan loyalitas pada pemimpin. Kondisi seperti ini menyulitkan penulis untuk mencari jumlah pasti anggota FPI,” catat Al-Zastrouw Ng. dalam Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (2006).

Bagian PAM Swakarsa

Sepak terjang FPI dalam transisi reformasi diingat ketika menjadi bagian Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa). PAM Swakarsa adalah paramiliter yang diciptakan pemerintah untuk membantu TNI mengawal Sidang Istimewa MPR pada November 1998.

PAM Swakarsa sendiri dibentuk atas usulan Panglima ABRI, Wiranto. Selain FPI, PAM Swakarsa diisi oleh sejumlah organisasi paramiliter lain, seperti Forum Ummat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Forkon), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), serta Brigade Hizbullah BKUI.

Singkat cerita, FPI kemudian menjadi salah satu elemen dalam pembentukan PAM Swakarsa. Masing-masing organisasi paramiliter itu ikut mengamankan Sidang Istimewa MPR 1998. Namun, pengamanan itu diwarnai tragedi. Bentrokan terjadi. Peristiwa itu diingat dengan Tragedi Semanggi.

Peneliti asal Australia yang telah meneliti ormas di Indonesia sedari periode 2004-2014, Ian Douglas Wilson menceritakan, ketika Orde Baru tumbang, barulah ormas-ormas tersebut merasa kehilangan kontrol sehingga harus mencari relasi-ralasi baru. Dalam hal ini, mereka turut membantu kepolisian. Realitas ekonomi-politik ini tercermin dan terlembagakan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan perannya, polisi dibantu oleh “bentuk-bentuk pengaman Swakarsa.”

“Hal ini memberi kerangka bagi polisi di tingkat polresta atau polsek untuk bisa menetapkan hubungan kerja dengan ‘mitra’ lokal,” ungkap Wilson dalam Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018).

Infografik (Raga Granada/VOI)

Pro-kontra FPI

FPI juga tercatat kerap terlibat dalam razia, sweeping, bahkan aksi perusakan kafe, hotel, atau kantong-kantong kebudayaan lain yang mereka tengarai sebagai tempat kemaksiatan. Dengan landasan yang sama, FPI juga kerap menyerang kelompok keagamaan yang mereka labeli sesat atau kafir. Penggerudukan FPI ke Salihara untuk membubarkan diskusi publik pemikiran Irshad Manji pada 2012 jadi contoh. FPI berpendapat diskusi itu melanggengkan lesbian.

Akhmad Sahal, dalam tulisannya di Majalah Tempo (2012), menuliskan bahwa dalam setiap kesempatan Rizieq selalu membenarkan vigilantisme kelompoknya. Rizieq selalu berdalih hal itu terpaksa dilakukan karena negara dan aparat penegak hukum gagal dan lembek dalam memberantas kemaksiatan. Itulah yang membuat mereka melegitimasi gerakannya.

“Di mata FPI, tindak kekerasan mereka justru Islami karena didasarkan pada hadis Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar: ‘Sesiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dalam hati. Yang terakhir itulah selemah-lemahnya iman.’ Bagi FPI, jalan kekerasan merupakan manifestasi dari pengamalan perintah Nabi untuk mengubah kemunkaran dengan tangan (falyughayyirhubiyadih),” ungkap Akhmad Sahal.

Meski begitu, apa yang dilakukan FPI dapat dilihat dari sisi lain. Made Supriatma, seorang peneliti mengungkap cara pandang berbeda melihat FPI. Bagi Made, konsistensi FPI dalam menegakkan syariat, lengkap dengan segala kontroversinya membuat FPI dan nama Rizieq dikenal secara nasional. Berkat popularitas itu FPI kemudian mendirikan cabang-cabang di berbagai wilayah Nusantara.

Popularitas itu tak hanya dibangun dari segi vigilantisme dan penghakiman semata. FPI juga tercatat sebagai salah satu ormas paling responsif turun dalam pendampingan-pendampingan masyarakat di kalangan bawah. Bahkan FPI juga selalu terdepan turun memberi bantuan ke lokasi-lokasi bencana.

Dilarang

Oleh karena terdapatnya unsur radikal tersebut. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) pada akhirnya mengumumkan pelarangan segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI) pada 30 Desember 2020. Nantinya FPI tak akan lagi punya kedudukan hukum sebagai organisasi masyarakat (ormas) atau pun organisasi biasa.

Apalagi, secara de Jure FPI telah bubar sebagai ormas bertanggal 20 Juni 2019. Sebab, FPI dinilai oleh pemerintah telah mengganggu ketertiban, keamanan, dan bertentangan dengan hukum. Setelahnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah diminta untuk menindak tegas jika ada organisasi mengatasnamakan FPI.

“Kepada aparat pemerintah pusat dan pemerintah daerah kalau ada organisasi mengantasnamakan FPI itu dianggap harus tidak ada dan harus ditolak karena legal standing tidak ada terhitung hari ini,” kata Mahfud dalam jumpa persnya.