Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah melarang segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI). FPI nantinya tak lagi memiliki kedudukan hukum sebagai organisasi masyarakat (ormas) atau pun organisasi biasa. Simbol-simbol FPI juga akan dilarang. Namun, jika melihat sejarah, legitimasi negara bukan soal besar bagi FPI. FPI berkembang dengan cara lebih cair dengan basis popularitas yang unik.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan, secara de jure, FPI telah bubar sebagai ormas sejak 20 Juni 2019. Pemerintah memandang FPI sebagai organisasi yang lekat dengan pelanggaran ketertiban, keamanan, dan kerap terlibat dalam pertentangan hukum.

“Seperti tindak kekerasan, sweeping, provokasi dan sebagainya,” kata Mahfud MD, dalam konferensi pers, Rabu, 30 Desember.

Melengkapi, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Ommar Sharief Hiariej menjelaskan pelarangan ini berimplikasi pada eksistensi FPI secara luas. Tak cuma kegiatan, simbol-simbol FPI juga akan dilarang. Begitu pun dengan keberadaan anggota-anggotanya.

Spanduk Rizieq Shihab (Irfan Meidianto/VOI)

"Melarang dilakukannya kegiatan, penggunaan simbol dan atribut FPI dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Eddy di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 30 Desember.

"Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diuraikan dalam diktum di atas, aparat penegak hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam," tambah dia.

Eddy juga meminta masyarakat tidak terlibat dalam kegiatan maupun penggunaan simbol serta atribut FPI. Selain itu masyarakat juga diminta lapor jika menemukan kegiatan, penggunaan atribut atau simbol organisasi tersebut.

FPI tak terikat kelembagaan formal

Banyak literasi menggambarkan keunikan FPI. Salah satunya mengenai sifat cair FPI. Al Zastrouw Ng., dalam buku Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (2006) menjelaskan itu.

Secara fundamental, kelahiran FPI menunjukkan adanya semangat keagamaan dari sekelompok umat Islam. Mereka bergerak dalam gerakan dakwah yang tergolong fanatik.

Sebagai organisasi berlandaskan pergerakan, FPI tak begitu mementingkan bentuk kelembagaan. Berbeda dengan ormas lain. Pun dari cara perekrutan. FPI bukan organisasi yang melakukan perekrutan keanggotaan secara permanen dan sistematis.

“Para anggota FPI tidak terikat pada aturan organisasi yang formal dan ketat. Pengikat utama yang menyatukan anggota FPI adalah komitmen moral dan loyalitas pada pemimpin. Kondisi seperti ini menyulitkan penulis untuk mencari jumlah pasti anggota FPI,” tertulis dalam buku tersebut.

Di FPI, peran sentral justru dimiliki ulama. Imam Besar Habib Rizieq Shihab, sejak awal pendirian FPI berhasil mengumpulkan 20 ulama masyhur untuk mendirikan FPI. Beberapa di antaranya adalah KH Fathono, KH Misbahul Anam, KH Cecep Bustomi, dan Habib Idrus Jamalullail.

Antusiasme simpatisan menyambut kepulangan Rizieq Shihab (Irfan Meidianto/VOI)

Mereka semua dikenal aktif sebagai mubaliq yang keras sejak zaman Orde Baru. Beberapa di antaranya pernah dipenjara karena terlalu kritis kepada pemerintahan Soeharto.

Bahkan, jika ditarik ke titik lampau, benih-benih kelahiran FPI sudah ada jauh sebelum pembentukan resmi. Dikutip M. Imdadun Rachmat dalam buku Arus Islam Radikal (2005), para ulama yang memiliki kesamaan visi membentuk FPI dengan corak khas islam Tradisional.

FPI telah sejak lama mensyiarkan semangat penegakan amar ma’ruf nahi munkar lewat ragam acara, seperti pengajian, tahlil, salawatan, tabligh akbar, audiensi dengan unsur-unsur pemerintah, serta lewat silaturahmi antar tokoh agama kesohor. “Sedangkan FPI, lebih merupakan organisasi yang muncul dari para ulama, dai, dan haba’ib yang memiliki ciri Islam tradisional," ditulis M. Imdadun Rachmad.

"Mereka mempraktekkan ritual-ritual yang ditentang oleh para pendukung gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, maupun Laskar Jihad, yang mengusung purifikasi dan secara pemikiran dekat dengan Timur Tengah. Kalangan FPI akrab dengan tahlil, barzanji, salawat, dan puj-pujian yang sering diidentikkan dengan bid'ah."

Pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta juga melihat kontur kelembagaan FPI yang semacam ini. Ia meminta pemerintah mewaspadai dampak dari pelarangan aktivitas FPI.

Basis massa FPI adalah salah satu yang terkuat dan paling militan di antara banyak ormas lain di Indonesia. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pasca-pelarangan kegiatan FPI.

"Pertama adalah kekecewaan oleh anggota sampatisan FPI terhadap pemerintah. Basis massa yang cukup besar dan militan memungkinkan adanya aksi perlawanan," katanya lewat keterangan tertulis, dikutip Rabu, 30 Desember 2020.

Jika bukan perlawanan, kemungkinan lain yang muncul tentu saja adalah gerakan bawah tanah. Simpatisan FPI sangat mungkin melakukan kegiatan-kegiatan berideologi sama dengan nama berbeda. HTI telah menjadi contoh nyata, kata Stanislaus.