Hak Nikita Mirzani Skeptis pada Rizieq, Namun Sejarah Pencatatan Silsilah Habib oleh Rabithah Alawiyah Bukan Perkara Sembarangan
Rizieq Shihab menyapa para pengikut menyambut kepulangannya (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Selebritas Nikita Mirzani meragukan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab benar-benar keturunan Nabi Muhammad. Nikita menantang Rizieq tes DNA untuk membuktikan kalau ia memang cucu Rasul. Hak Nikita spektis pada Rizieq. Namun, ia juga sebaiknya tahu, pencatatan silsilah keturunan Nabi bukan perkara sembarangan. Lembaga Rabithah Alawiyah ada di belakang itu. Bila dirunut sejarahnya, organisasi tersebut sudah mencatat nasab atau silsilah keturunan Rasul sejak Indonesia belum merdeka.

Dikutip dari Detik,Selasa, 17 November, Nikita mengaku skeptis dengan panggilan "Habib" atas Rizieq Shihab. Ia mengaku telah membaca silsilah cucu Rasul. Dan di sana dirinya tidak menemukan nama Rizieq.

"Pada berisik bilang cucu Nabi. Gue cucu Nabi juga. Ga ada yang diperdebatkan. Nabi Adam. Coba biar enggak ada fitnah, tes DNA biar kita lihat kalau benar dia keturunan Rasulullah? Coba berani enggak tuh manusia yang lu pada agung-agungkan buat tes DNA!" tulis Nikita di Instagram Stories beberapa hari lalu.

Dalam sebuah dokumen dari lembaga pencatatan nasab atau silsilah keturunan Nabi Muhammad, Rabithah Alawiyah, tercatat bahwa Rizieq Shihab merupakan seorang keturunan Rasul. Hal itu diungkap langsung oleh Ketua Pencatatan Nasab Nasab Maktab Daimi, Rabithah Alawiyah, Ustaz Ahmad Alatas. Ia menyebut Rizieq adalah keturunan Nabi Muhammad generasi ke-39. 

"Kalau sampai ke Siti Fatimah, dia ke-38. Kalau sampai ke Nabi Muhammad SAW dia ke-39," kata Ahmad dikutip Suara. Ia membuktikannya melalui dokumen yang diambil dari Syajarah Assabah Al Asyraf Alalawiyyin, Juz 2, halaman 236. Dokumen yang memvalidasi bahwa Rizieq betulan cucu Nabi itu pertama kali terbit pada 8 September 2003 dengan nomor ID nasab 19176.

Massa pengikut menyambut kepulangan Rizieq Shihab (Irfan Meidianto/VOI)

Arab di Indonesia

Sayyid atau Habib merupakan sebutan bagi cucu-cucu keturunan Nabi Muhammad dari anaknya, Fatimah Az-Zahra dan suaminya, Ali bin Abi Tholib. Sebutan tersebut, seperti dijelaskan Alisha Fakhira dalam tulisannya Dinamika Organisasi Rabithah Alawiyah 1928-1958 (2019) merujuk pada anak Fatimah dan Ali, Husein. Sementara, ada pula sebutan "Syarif" untuk menyebut keturunan Hasan, saudara kandung Husein.

Keturunan Bani Hasan dan Bani Husein disebut dengan Bani Alawiy. Di Indonesia, kaum Alawiyin bersumber dari seseorang yang bernama Ahmad bin Isa yang dijuluki Al-Muhajir atau orang yang pindah dari Basrah ke Hadramaut, Yaman. 

Dalam buku Lintasan Sejarah Islam di Indonesia, disebutkan Bani Alawiyin memasuki Nusantara melalui Kepulauan Sila di Filipina. Mereka menyebarkan Islam serta membentuk koloni di sana.

Beberapa catatan pelayaran mengatakan bahwa orang Arab pra-Islam maupun sesudahnya telah berlayar dan menetap di kepulauan Nusantara untuk kebutuhan perdagangan. Di Pulau Jawa, penyiaran Islam tak lepas dari peran Wali Songo. Saat itulah orang-orang Arab kemudian mulai melebur dengan kaum bumiputera dan berasimilasi.

Untuk mendata keturunan Bani Alawiyin, seperti dijelaskan pada situs Rabithah Alawiyah, maka dimulailah sistem pencatatan pada abad ke-15 oleh Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran. Pencatatan nasab Alawiyin juga dilakukan oleh Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dengan bantuan pendanaan dari raja-raja India. Habib Abdullah memerintahkan pencatatan Alawiyin di Hadramaut, Yaman, pada abad 17.

Pencatatan besar paling akhir dilakukan oleh mufti Hadramaut, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur pada akhir abad 19 yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur. Hasil pencatatan mereka terkumpul dalam tujuh buku nasab dari Hadramaut.

Ketika Habib Alwi bin Thahir Alhaddad mendirikan organisasi Rabithah Alawiyah, ia berinisiatif melakukan pencatatan Alawiyin yang ada di Indonesia. Dari situ, Rabithah Alawiyah membentuk Maktab Daimi pada 10 Maret 1932.

Metode pencatatan

Rabithah Alawiyah merupakan lembaga otonom yang mempunyai tugas memelihara sejarah dan silsilah keturunan cucu Rasul di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, Maktab Daimi mempunyai metode khusus untuk mengetahui nasab seseorang dengan melihat garis keturunan Nabi Muhammad atau bukan.

Menurut Ketua Maktab Daimi Rabithah Alawiyah, Ustadz Ahmad bin Muhammad Alatas mengatakan, setiap orang yang ingin mengetahui silsilah nasabnya harus mengajukan permohonan kepada Maktab Daimi. Pemohon kemudian mengisi formulir khusus yang sudah tersedia. Dalam formulir itu salah satunya harus menyertakan silsilah nasabnya sampai kakek kelimanya.

“Setelah dicatat dengan benar (nama kakeknya), kita akan mengecek pada buku-buku besar (buku silsilah nasab) yang kita miliki,” kata Ustadz Ahmad kepada Republika yang dikutip laman Rabithah Alawiyah.

Habib Ali Bungur, Habib Ali Kwitang, dan Habib Salim bin Djindan (Sumber: Wikimedia Commons)

Setelah nama-nama kakeknya ada di dalam buku nasab, maka pihak Maktab Daimi akan meminta pemohon mengajukan saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar berasal dari suku atau marga alawiyin. Namun sebaliknya, jika nama kakek yang dituliskan tidak ada di buku silsiah yang menjadi rujukan Maktab Daimi, maka mereka menggunakan metode lain.

Metode yang dimaksud, Maktab Daimi akan meminta data-data silsilah kakek si pemohon yang berurutan dan valid sampai kakek si pemohon ada di buku silsilah nasab. Sebagai contoh, pemohon menuliskan silsilah kakeknya sampai kakek kelimanya. Tapi, ada empat nama kakeknya yang tidak terdaftar di buku silsilah nasab Maktab Daimi.

Maka, empat nama kakeknya itu harus dibuktikan dengan data, seperti kartu keluarga, surat pernikahan, paspor, hingga surat jual beli. "Yang mana semuanya itu akan menyebutkan nama ayahnya, sehingga akan berkesinambungan kepada silsilah yang ada di buku ini," ujarnya. Metode seperti itu menurut Ustadz Ahmad, dibuat guna menghindari orang-orang yang ingin memalsukan nasabnya.

Pencocokan sumber

Menurut Ustaz Ahmad, referensi yang digunakan Maktab Daimi mulanya berasal dari dua buku. Pertama, buku dari Hadramaut langsung yang dibuat oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur pada akhir abad 19.

Kedua buku yang sudah dikembangkan ketua Maktab Daimi yang pertama, Alhabib Ali bin Ja'far Assegaf. Maka pada 1930-1940 dimulailah pendataan para sayyid di seluruh Indonesia. Hasilnya, terkumpul data nasab sebanyak tujuh jilid buku yang dihimpun oleh Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf.

Kemudian, buku nasab hasil pendataan Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf dipadukan dengan buku nasab dari Hadramaut. Hasilnya jadi 15 jilid buku nasab. Buku itulah yang sekarang menjadi rujukan Maktab Daimi untuk menelusuri nasab seseorang.

Menurut Ustadz Ahmad, di dunia ini hanya ada 15 jilid buku yang memuat nasab Nabi Muhammad dari garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Buku silsilah nasab sebanyak 15 jilid itu kemudian dibagikan ke Surayaba, Pekalongan, dan Palembang karena di sana banyak alawiyin.

 

Kerapian pencatatan nasab itu bahkan diakui empat tokoh sufi dari Timur Tengah yang sempat berkunjung ke Indonesia tahun lalu. Keempat tokoh tersebut Syaikh Dr. Muhammad Asy Syuhumi, Syaikh Dr. Adnan Al-Afyouni, Dr. Abdul Aziz Al-Kubaithi, serta Syaikh Dr. Riyadh Hasan Bazou, seperti dikutip Okezone menilai Rabithah Alawiyah paling rapi dalam mencatat nasab Nabi Muhammad. 

Mereka mengatakan di Indonesia sistem pencatatannya terlembaga dan prosesnya melewati jalur yang cukup ketat untuk diakui sebagai keturunan Nabi Muhammad. "Bisa saya katakan bahwa paling bagusnya, rabithah dari semua rabithah yang mencatat garis keturunan anak cucu Nabi Muhammad yang paling bagus adalah rabithah yang ada di Indonesia," kata Ketua dewan Penasehat dan Otoritas Keilmuan Federasi Tasawuf Internasional Libya, Syaikh Dr. Muhammad Asy-Syuhumi Al-Idrisi.