Sejarah FPI: Dideklarasikan 17 Agustus dan Keterkaitannya dengan Wiranto
Rizieq Shihab (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) mengumumkan pelarangan segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI). Nantinya FPI tak akan lagi punya kedudukan hukum sebagai organisasi masyarakat (ormas) atau pun organisasi biasa. Sebagai ormas, FPI telah melewati perjalanan panjang. Seperti apa sejarah FPI?

Mahfud menjelaskan, secara de jure FPI sejak 20 Juni 2019 telah bubar sebagai ormas. Namun FPI sebagai organisasi dinilai pemerintah melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban, keamanan dan bertentangan dengan hukum.

“Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa ... Seperti tindak kekerasan, sweeping, provokasi dan sebagainya,” kata Menko Polhukam Mahfud MD dalam jumpa pers, Rabu, 30 Desember.

Dengan larangan segala kegiatan FPI, pemerintah pusat meminta pemerintah daerah bertindak tegas terhadap kegiatan yang mengatasnamakan FPI. “Kepada aparat pemerintah pusat dan pemerintah daerah kalau ada organisasi mengantasnamakan FPI itu dianggap harus tidak ada dan harus ditolak karena legal standing tidak ada terhitung hari ini,” kata Mahfud. 

Sejarah Front Pembela Islam (FPI)

FPI pertama kali dideklarasikan di halaman Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang, 25 Rob'iuts Tsani 1419 Hijriyyah atau 17 Agustus 1998. FPI tumbuh menjadi salah satu organisasi massa terbesar. Kontroversi meliputi perjalanan FPI, bahkan sejak pembentukannya, termasuk ketika Panglima ABRI kala itu, Wiranto melibatkan FPI dalam operasi pengamanan Sidang Istimewa MPR di bawah payung PAM Swakarsa.

FPI dirintis oleh sejumlah ulama, Haba'ib, serta aktivis Muslim. Seluruh unsur itu berada di bawah komando Imam Besar Habib Rizieq Shihab yang merupakan keturunan Hadrami.

Benih-benih kelahiran FPI sudah ada jauh sebelum pembentukan resmi. Dikutip  M. Imdadun Rachmat dalam buku Arus Islam Radikal (2005), para ulama yang memiliki kesamaan visi membentuk FPI dengan corak khas islam Tradisional. FPI telah sejak lama mensyiarkan semangat penegakan amar ma’ruf nahi munkar lewat ragam acara, seperti pengajian, tahlil, salawatan, tabligh akbar, audiensi dengan unsur-unsur pemerintah, serta lewat silaturahmi antar tokoh agama kesohor.

“Sedangkan FPI, lebih merupakan organisasi yang muncul dari para ulama, dai, dan haba’ib yang memiliki ciri Islam tradisional. Mereka mempraktekkan ritual-ritual yang ditentang oleh para pendukung gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, maupun Laskar Jihad, yang mengusung purifikasi dan secara pemikiran dekat dengan Timur Tengah. Kalangan FPI akrab dengan tahlil, barzanji, salawat, dan puj-pujian yang sering diidentikkan dengan bid'ah,” tulis M. Imdadun Rachmad.

Rizieq Shihab di tengah pengikutnya (Irfan Meidianto/VOI)

Untuk itu, peran ulama dalam eksistensi FPI begitu sentral. Rizieq, terutama. Dengan kuasanya, Rizieq berhasil mengumpulkan 20 ulama terkenal untuk mendirikan FPI. Beberapa di antaranya adalah KH Fathono, KH Misbahul Anam, KH Cecep Bustomi, dan Habib Idrus Jamalullail. Mereka semua dikenal aktif sebagai mubaliq yang keras sejak zaman Orde Baru. Beberapa di antaranya pernah dipenjara karena terlalu kritis kepada pemerintahan Soeharto.

Kelahiran FPI menunjukkan adanya semangat keagamaan sekelompok umat Islam dengan gerakan dakwah yang tergolong fanatik. Alhasil, FPI sebagai organisasi gerakan menjadi tak begitu mementingkan bentuk kelembagaan. Berbeda dengan ormas lain, FPI justru tak melakukan perekrutan keanggotaan secara permanen dan sistematis.

“Para anggota FPI tidak terikat pada aturan organisasi yang formal dan ketat. Pengikat utama yang menyatukan anggota FPI adalah komitmen moral dan loyalitas pada pemimpin. Kondisi seperti ini menyulitkan penulis untuk mencari jumlah pasti anggota FPI,” tulis Al-Zastrouw Ng. dalam buku Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI (2006).

Bagian PAM Swakarsa

Sepak terjang FPI dalam transisi reformasi diingat ketika menjadi bagian Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa). PAM Swakarsa adalah paramiliter yang diciptakan pemerintah untuk membantu TNI mengawal Sidang Istimewa MPR pada November 1998.

PAM Swakarsa sendiri dibentuk atas usulan Panglima ABRI Wiranto. Selain FPI, PAM Swakarsa diisi oleh sejumlah organisasi paramiliter lain, seperti Forum Ummat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Forkon), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), serta Brigade Hizbullah BKUI.

Singkat cerita, FPI kemudian menjadi salah satu elemen dalam pembentukan PAM Swakarsa. Masing-masing organisasi paramiliter itu ikut mengamankan Sidang Istimewa MPR 1998. Namun, pengamanan itu diwarnai tragedi. Bentrokan terjadi. Peristiwa itu diingat dengan Tragedi Semanggi.

Peneliti asal Australia yang telah meneliti ormas di Indonesia sedari periode 2004-2014, Ian Douglas Wilson menceritakan, ketika Orde Baru tumbang, barulah ormas-ormas tersebut merasa kehilangan kontrol sehingga harus mencari relasi-ralasi baru. Dalam hal ini, mereka turut membantu kepolisian.

Realitas ekonomi-politik ini tercermin dan terlembagakan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan perannya, polisi dibantu oleh “bentuk-bentuk pengaman Swakarsa.”

“Hal ini memberi kerangka bagi polisi di tingkat polresta atau polsek untuk bisa menetapkan hubungan kerja dengan ‘mitra’ lokal,” ungkap Ian Douglas Wilson dalam bukunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018).