Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, delapan tahun yang lalu, 27 Juli 2016, Amnesti Internasional mengomentari pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang politik, hukum, dan keamanan (Menkopolhukam). Pengangkatan itu dianggap Amnesty sebagai penghinaan terhadap HAM.

Sebelumnya, Wiranto kerap dikaitkan dengan dosa masa lalu. Wiranto dianggap memegang komando tertinggi dalam krisis politik di Timor Timur pada 1999. Wiranto disebut mengetahui bagaimana kerusuhan hadir dan menyebar setelah rakyat Timor Timur pilih merdeka.

Konflik Indonesia-Timor Timur adalah salah satu periode kelam dalam sejarah bangsa. Mulanya hubungan itu berlangsung harmonis. Namun, belakangan Timor Timur ingin lepas dari Indonesia. Indonesia tak membiarkan begitu saja Timor Timur lepas.

Empunya kuasa merasa Timor Timur bagian dari Indonesia. Mereka yang bertentangan dengan pemerintah dianggap pemberontak. Namun, perjalanan perjuangan rakyat Timor Timur memperoleh kemerdekaan dari Indonesia mulai terlihat pada 1999.

Panglima TNI, Wiranto mengajak jajarannya bersiaga melakukan pengamanan proses referendum pada 30 Agustus 1999. Warga Timor Timur bisa memilih antara bersama Indonesia atau merdeka. Nyatanya, segenap rakyat Timor Timur memilih jadi bangsa merdeka dengan pemilih mencapai 75 persen.

Proses referendum di Timor Timur pada 1999 yang berada di bawah pengawasan PBB. (DW/United Nation)

Kondisi itu langsung memicu hadirnya pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Imbasnya ribuan orang penduduk meninggal dunia. peristiwa itu terus memancing pemberitaan internasional.

Wiranto dianggap sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab. Wiranto pun dicopot jabatannya sebagai Panglima TNI di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pencopotan itu dilakukan supaya meredam konflik dengan dunia internasional.

“Ketika menghadiri sebuah pertemuan Internasional di Davos, Swiss, Abdurahman Wahid juga mendapat pertanyaan banyak pihak tentang peristiwa genosida yang terjadi di Timor Timur menjelang dan sesudah referendum 1998. Gus Dur menjawab dengan menjanjikan akan segera memecat Jenderal Wiranto sesudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.”

“Masih berada di Swiss, Presiden Gus Dur memperbaiki pernyataannya, dengan mengatakan bahwa Jenderal Wiranto akan diminta mundur dari Kabinetnya segera setelah dia mendarat di Jakarta. Bahkan sesampai di Belanda, Gus Dur pun sekali lagi mengoreksi pernyataannya, dengan mengatakan telah memerintahkan Menteri Pertahanan Mahfud MD untuk meminta Wiranto mundur. Di Belanda pula Gus Dur menyatakan akan adanya pertemuan rahasia beberapa jenderal di jalan Lau Tse, Jakarta, untuk menggulingkannya,” ungkap Sri Bintang Pamungkas dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim (2014).

Wiranto pun tak pernah diadili oleh pengadilan terkait kerusuhan Timor Timur. Bahkan, Presiden Jokowi mengangkatnya jadi Menkopolhukam pada 27 Juli 2016. Wiranto terpilih karena dianggap mempuni mengisi jabatan yang sebelumnya diisi Luhut Binsar Pandjaitan.

Kritik langsung muncul di hari pelantikan Wiranto. Kritik itu mencul dari LSM Internasional, Amnesty Internasional. Mereka menyebut pengangkatan Wiranto adalah bentuk penghinaan terhadap HAM. Kondisi itu karena Wiranto dianggap belum tuntas terkait konflik HAM di masa lalu.

Namun, Wiranto punya jawabannya sendiri. Ia mengungkap justru di bawah kuasanya 700 tempat pemungutan suara referendum Timor Timur aman-aman saja.

“Terpilihnya Wiranto sebagai Menkopolhukam menambah penghinaan terhadap HAM. Jokowi kini memutuskan untuk menyerahkan kendali keamanan negara kepada seseorang yang didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh pengadilan yang disponsori PBB,” kata Wakil Direktur untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Josef Benedict dilansir laman amnesty.nl, 27 Juli 2016.