Sejarah Sepatu Bata: Populer di Era Penjajahan Belanda-Jepang, Laris Manis di Era Indonesia Merdeka
Suasana di Pabrik Sepatu Bata di Kalibata, Jakarta Selatan tempo dulu. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Sepatu sempat jadi barang mewah di Nusantara. Harga yang mahal dan hierarki sosial jadi musababnya. Alas kaki itu hanya digunakan kalangan terbatas. Kehadiran perusahaan sepatu Bata mengubah segalanya.

Perusahaan asal Cekoslovakia yang memproduksi sepatu massal itu buat semua orang bisa menggunakan sepatu. Mereka bahkan mendirikan pabrik di Kalibata, Batavia (kini: Jakarta). Bata pun mampu eksis di era penjajahan Belanda dan Jepang. Kemudian, Bata terus jadi jenama idola rakyat Indonesia pasca kemerdekaan.

Kehidupan sebagai perajin sepatu tempo dulu sangat menjanjikan. Itulah yang diamini oleh keluarga Bat’a yang berdomisi di Zlin, Cekoslovakia (kini: terpecah jadi dua negara Republik Ceko dan Slovakia). Hidup sebagai perajin sepatu ‘dilagukan’ secara turun-temurun. Namun, jangkauannya hanya sebatas Cekoslovakia saja.

Semuanya berubah kala generasi kedelapan keluarga Bat’a mengambil alih bisnis pembuatan sepatu. Mereka adalah Tomas, Anna, dan Antonin Bat’a. Mereka mulai berpikir bagaimana supaya sepatu Bata dapat diproduksi secara massal.

Hasilnya gemilang. Mereka mendirikan perusahaan sepatu Bata pada 21 September 1894. Perubahan besar dilakukan. Mereka menggantikan bengkel tradisional dengan mengubahnya jadi pabrik sepatu modern. Perlahan-lahan pegawainya bertambah banyak.

Pendiri perusahaan sepatu Bata, tiga bersaudara dari kiri: Anna Bat'a, Antonin Bat'a, dan Tomas Bat'a. (Wikimedia Commons)

Modernisasi itu membuat keluarga Bat’a menggunakan mesin modern bertenaga uap. Kehadiran mesin-mesin uap menjadi awal Bata jadi salah satu produsen sepatu massal kesohor di Eropa. Produksinya kala itu bisa mencapai 2.200, lalu meningkat 168 ribu pasang sepatu per hari pada 1930-an.

Bata pun mulai ekspansi ke berbagai belahan dunia. Hindia Belanda (Indonesia), salah satunya. Perusahaan Bata masuk ke Nusantara pada 1931. Kala itu mereka bekerja sama dengan NV Netherlandsch-Indisch sebagai importir yang berbasis di Tanjung Priok, Batavia.

Bata berkembang pesat di Hindia Belanda. Kehadiran Bata jadi jalan semua orang dapat menggunakan sepatunya. Padahal, dulu sepatu terbatas digunakan hanya orang Eropa, kalangan bumiputra sempat dilarang menggunakan sepatu karena dianggap bergaya seperti orang Eropa. Belum lagi urusan mahalnya harga sepatu hand made.

Bata mendirikan pabrik pertamanya di area perkebunan karet, Kalibata, Batavia. Pendirian pabrik itu membuat Bata mulai memproduksi banyak sepatu di Nusantara sedari 1940. Bata pun tetap eksis sekalipun penjajahan Belanda berganti ke Jepang.

Bata jadi salah satu jenama yang diperbolehkan berbisnis di Nusantara, sedang produk Eropa lainnya banyak dilarang dan diambil alih militer Jepang. Jenama itu dengan kreatif mulai mengambil hati konsumen bumiputra dan Jepang.

Kantor pusat Bata di Kota Zlin, yang sekarang berada di wilayah Republik Czechia atau Republik Ceko

Mereka memplesetkan propaganda Jepang 3A (Nippon Cahaya Asia, Pelindung Asia, Pemimpin Asia) jadi 3A lain: Asia, Ada, Agoeng. Promosi itu berhasil, sekalipun keadaan ekonomi era penjajahan Jepang sedang sulit.

“Asia Ada Agoeng. Tambahilah keagoengan itoe dengan memakai sepatoe Bata. Sebab sepatoe Bata dibikin di Indonesia oleh Poetra-poetri Asia. Alangkah manisnja dipandang mata. Anak Asia bersepatoe bata. Akan menoedjoe Asia Raja," isi iklan sepatu Bata sebagaimana dikutip Bedjo Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019).

Laris Manis

Perusahaan sepatu Bata terus eksis kala Indonesia merdeka. Bata jadi jenama populer di segala kalangan masyarakat. Alih-alih hanya digunakan oleh anak muda, para orang tua juga menggunakan sepatu bata. Imbasnya, Bata sempat dianggap produk asli Indonesia.

Kepopuleran Bata kian bertambah karena jenama sepatu lain tak banyak di pasaran. Bata hanya bersaing dengan beberapa nama perusahaan sepatu saja pada era 1950-an. Bata juga diuntungkan dengan tren penggunaan sepatu era Orde Lama.

Kala itu tren penggunaan sepatu tak seperti sekarang, satu orang dapat memiliki lebih dari satu sepatu untuk menunjang ragam aktivitas. Dulu, satu sepatu untuk menunjang semua aktivitas. Pemakaian sepatu Bata pun digunakan sampai rusak.

Gerai sepatu Bata di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. (Citraland Mall)

Konon, perilaku itu yang membuat citra sepatu Bata kuat dan tahan lama muncul. Bata memang jadi sepatu pilihan. Masalah model sepatunya tak banyak seperti sekarang tak jadi soal. Kemudian, Bata terus melakukan ekspansi bisnis ke seluruh Nusantara.

Mereka mulai terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada 24 Maret 1982. Lalu, pada 1994, Bata mulai merampungkan konstruksi pabrik sepatu besar di Purwakarta. Bata bahkan punya 435 toko ritel. Namun, ekstensi itu mulai terganggu pandemi COVID-19 pada 2020-an. Belakangan pabrik sepatu Bata di Purwakarta tutup pada 2024.

“Merek sepatu yang saya masih ingat waktu (1950-an) itu cuma Bata dan Hanna – saya kira merek terakhir sudah tidak ada lagi sekarang. Sepatu Bata –pabriknya di daerah Kalibata—terbatas sekali modelnya, tidak sebanyak seperti sekarang. Kualitasnya juga belum sebagus seperti sesudah 1970-an.”

“Sepatu biasanya dipakai sampai rombeng, tidak dapat digunakan lagi alias harus dibuang. Kalau sepatu rusak sedikit diperbaiki dengan memanggil tukang sol sepatu yang sering lewat di depan rumah. Tidak jarang waktu itu saya atau teman-teman saya memakai sepatu yang depannya sudah menganga alias melompong. Kami sering mengatakan kepada yang memakainya: sepatu lu udah minta makan tuh,” terang Firman Lubis dalam buku Jakarta