JAKARTA – Sejarah hari ini, 93 tahun yang lalu, 22 Juli 1930, anggota Dewan Hindia Belanda, W.P. Hillen menulis laporan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Andries Cornelies Dirk de Graeff. Ia menyebutkan bahwa tawanan yang diasingkan ke kamp interniran, Boven Digoel, Papua tak melulu berasal dari simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Banyak tawanan yang justru tak tahu menahu terkait komunisme. Sebelumnya, PKI cepat merebut hati segenap kaum bumiputra. Langkah itu karena PKI berani mengumandangkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Komunisme pernah dijadikan alat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Narasi itu ditunjukkan oleh seorang komunis Belanda, Henk Sneevliet. Ia jadi tokoh utama yang memperkenalkan paham marxisme-komunisme di Nusantara.
Ia pula kemudian mendirikan Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) pada 1914. Perkumpulan itu sengaja dilanggengkan supaya kaum bumiputra punya wadah untuk mengumandangkan perlawanan terhadap penjajah.
Simpati tokoh nasional pun meninggi. Banyak di antara tokoh Sarekat Islam (SI) memilih merapat. Semaun, utamanya. Kehadiran Semaoen membuat ISDV berganti peran jadi Perserikatan Komunis di Hindia atau yang kemudian dikenal luas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920.
Kehadiran PKI pun disambut dengan gegap gempita. Banyak kaum bumiputra memiliki simpati besar kepada perjuangan PKI. Kebesaran PKI kemudian membuat sederet pemimpinnya percaya diri. Apalagi, Belanda mulai menganggap PKI adalah partai yang berbahaya.
PKI mulai melanggengkan narasi perebutan kekuasaan lewat pemberontakan. Sederet anggota PKI di Nusantara kemudian diminta untuk mengumpulkan dana membeli segala macam persenjataan. Tujuannya supaya pemberontakan dapat berhasil.
Jauh panggang dari api. Pemberontakan yang dilanggengkan pada 1926-1927 justru berakhir dengan kegagalan. Pemimpin PKI dianggap tak kompak melanggengkan pemberontakan di berbagai daerah. Belanda pun bergerak cepat untuk menangkap seluruh simpatisan PKI.
Ada yang dihukum mati, ada pula yang diasingkan ke kamp interniran Boven Digoel. Sedang pemimpin PKI banyak melarikan diri ke luar negeri.
“Dua pemimpin yang juga fungsionaris penting Komintern, Musso dan Semaun, termasuk yang melarikan diri pada 1926, dan kemudian menetap di Moskow. Keberadaan mereka di sana berperan penting sebagai narasumber sekaligus peletak dasar yang mengarahkan studi Indonesia di sana.”
“Keduanya melarikan diri dari Indonesia setelah kegagalan PKI melawan Belanda pada 1926 itu. Sejatinya, sebelum pemberontakan itu, Semaun, Musso, dan Alimin sudah menghubungi Joseph Stalin meminta petunjuk perlu-tidaknya melakukan perlawanan terhadap Belanda di Jawa dan Sumatera pada 1926-1927,” terang Tomi Lembang dalam buku Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010).
Belanda pun mulai belajar dari peristiwa Pemberontakan PKI 1926-1927. Belanda tak ingin paham komunis kembali menyebar ke Nusantara. Tokoh-tokohnya dianggap sudah dijebloskan ke Boven Digoel. Empunya kuasa kemudian menyakini seisi Boven Digoel dihuni oleh simpatisan PKI.
BACA JUGA:
Namun, narasi itu dibantah oleh anggota Dewan Hindia Belanda, W.P. Hillen. Ia yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal, Andries Cornelies Dirk de Graeff menganggap narasi yang ada kurang tepat pada 22 Juli 1930. Tahanan yang diasingkan di Boven Digoel tak melulu berasal dari simpatisan PKI. Ia menyebut banyak di antara tahanan justru tak mengerti pergerakan PKI.
“Pada awalnya W.P. Hillen berpendapat bahwa semua tawanan politik di Boven Digoel adalah bagian dari PKI dan ormasnya. Namun, setelah Hillen melakukan interogasi terhadap para tawanan itu, ia berpendapat bahwa banyak para tawanan di Tanah Merah itu, yang tidak mengetahui dan tidak mempedulikan apa itu komunisme.”
“Mereka hanya memiliki pengetahuan yang kabur tentang keberadaan PKI, tujuan PKI, dan makna aksi perlawanan PKI pada 1927-1927, dan kurang memahami apa yang diinginkan oleh PKI. Berdasarkan hasil interogasinya terhadap para tawanan itu, W.P. Hillen menyimpulkan bahwa 412 orang dari 610 orang yang diinterogasi dapat diberikan kebebasannya kembali,” ujar Soewarsono dalam buku Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel (2013).