Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 47 tahun yang lalu, 21 Juli 1976, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa larangan tayang terhadap film The Message. Film yang menceritakan tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW ditentang karena empunya film mencoba menampilkan sosok Sang Nabi.

Sebelumnya, film rekaan Moustapha Akkad telah mendapatkan tentangan dari mana-mana. Tentangan itu datang bahkan saat masih dalam proses pengambilan gambar. Banyak negara Timur Tengah yang menolak terlibat dalam film.

Keinginan Moustopha Akkad membuat film tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW tak tertahankan. Sineas kelahiran Aleppo, Suriah ingin film rekaannya jadi sarana mengenalkan Islam kepada dunia.

Rencana pembuatan filmnya mendapatkan dukungan luas. Pendanaan datang dari mana saja. Dari pemerintah Libya, Maroko, hingga Kuwait. Riset pun dilakukan dengan maksimal. Ia tak ingin membuat sembarang film.

Langkah itu dilakukan supaya pesan dalam film yang diberi judul Mohammad, Messenger of God dapat dicerna oleh seluruh penonton di seantero negeri. Singkat cerita proses pengambilan gambar mulai dilanggengkan. Maroko didaulat sebagai tempat pengambilan gambar.

Kala itu empunya film mencoba menyulap salah satu desa di Maroko bak Makkah, Arab Saudi zaman jahiliah. Bahkan, lengkap dengan Ka’bah. Representasi itu dilakukan dengan penuh totalitas. Bintang film yang diajak bergabung pun bukan sembarang aktor. Dari Anthony Quinn hingga Michael Ansara.

Poster Film The Message (1976). (imdb.com)

Masalah pun baru muncul karena banyak negara Islam di Timur Tengah melemparkan kritik. Garapan film itu dianggap tak mencerminkan nilai Islam. Apalagi banyak yang tak setuju dengan pengkultusan Nabi.

Pemerintah Maroko lalu mengubah niatannya dengan melarang empunya film mengambil gambar di Maroko. Alhasil, Libya pun didaulat jadi lokasi baru pengambilan gambar film. Berbeda dengan Maroko, Libya lewat presidennya, Muammar Khadafi mendukung penuh film tersebut.

Dukungan itu berbuah manis. Film yang awalnya berjudul Mohammad, Messenger of God menjadi The Message. Film itu mulai dinikmati khalayak dunia sejak 9 Maret 1976.

“Untunglah pemerintah Muammar Ghadaffi membantu sepenuhnya rombongan besar yang membawa berton-ton peralatan itu. Angkatan Udara Libya, misalnya, menyediakan Hercules-nya buat meringankan beban itu. Angkatan Daratnya menyediakan 5 ribu tentara, buat adegan perang Uhud dan Badar.”

“Pengambilan gambar dilakukan di Sheba, yang dikelilingi padang pasir -- dan fasilitas sepenuhnya disediakan oleh pemerintah setempat. Bagaimana reaksi pemerintah Libya -- yang tidak lagi berbaik-baik dengan Mesir-- atas desakan Al Azhar dan Dewan Masjid Sedunia di Makkah, masih harus didengar. Bisa saja ada orang Islam yang berpendapat lain tentang soal itu,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Tidak untuk Itu Film (1976).

Penayangan Film The Message memancing kritik dari sana-sini. Sekalipun tak sedikit pula yang memuji film. Penolakan paling keras muncul dari Dewan Masjid Sedunia yang berkantor di Makkah. Mereka bahkan mengirimkan surat kepada Presiden Soeharto untuk melarang film tersebut diputar di Indonesia.

Film itu dianggap menyimpang dari hakikat cerita Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya. Penolakan pun tak hanya digaungkan Dewan Masjid Sedunia belaka, MUI juga melanggengkan hal yang sama. Mereka mengeluarkan fatwa untuk itu pada 21 Juli 1976. Sikap MUI jelas. Mereka menolak sosok Sang Nabi hadir dalam bentuk apapun, baik dalam gambar maupun film.

“MUI juga pernah mengeluarkan fatwa terkait film yang menceritakan kehidupan Nabi Muhammad SAW: The Message. Dalam keputusan Komisi Fatwa MUl tertanggal 21 Juli 1976, disebutkan MUI menolak menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW dalam bentuk apa pun, baik gambar maupun dalam film.”

“Komisi Fatwa yang saat itu diketuai K.H. Hasan Basri menambahkan, apabila ada gambar atau film yang menampilkan Nabi Muhammad atau keluarganya, maka hendaknya pemerintah melarang gambar atau film itu beredar di Indonesia. Khusus untuk film, yang bersifat akting atau pura-pura, MUI mendasarkan keputusan pengharaman pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim,” ujar Hafidz Muftisany dalam buku Fikih Keseharian: Kontroversi Memerankan Nabi hingga Pro Kontra Imunisasi (2021).