Polwan Resmi Mengabdi untuk Bangsa dan Negara dalam Sejarah Hari Ini, 25 Juli 1951
. Presiden Soekarno bersama Jenderal R.S. Soekanto (jas putih) dan Komisaris Besar Umar Said mengunjungi Pameran Pekan Kepolisian di Gedung Pertemuan Umum Jakarta pada 1951. (ANRI)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 72 tahun yang lalu, 25 Juli 1951, Polisi Wanita (Polwan) resmi mengabdi untuk bangsa dan negara Indonesia. Ada Kapolri Indonesia pertama, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo di baliknya. Kesetaraan gender jadi alasan utama kehadiran Polwan.

Sebelumnya, Jenderal Soekanto adalah salah satu sosok yang mengerti luar dalam terkait kerja-kerja kepolisian. Ia membangun Djawatan Kepolisian Negara (kini: Polri) dari nol. Pengalamannya sebagai polisi era penjajahan Belanda, kemudian Jepang jadi bekal.

Jalan hidup membawa Soekanto berkarier sebagai polisi. Pejuangan kemerdekaan Indonesia memilih menempuh Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi pada 1930. Pilihan itu didukung pula oleh rekan-rekannya sesama pejuang kemerdekaan Sartono dan Iwa Kusumasumantri.

Pendidikan itu dianggap cara Soekanto berjuang. Ia pun berhasil menempuh pendidikannya dengan baik. Soekarno pun mendapatkan pangkat Commisaris van Politie 3 e Klass (Komisaris Polisi Kelas III). Karier itu membuat Soekanto kesohor sebagai polisi yang mendukung penuh kaum bumiputra.

Soekanto kemudian merasakan berbagai macam tugas sebagai polisi. Dari reserse hingga intelejen. Kariernya terus berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Empunya kuasa meminta Soekanto menjadi instruktur sekolah polisi di Sukabumi.

Jabatan itu membuatnya dengan leluasa menyebarkan kesadaran akan kemerdekaan kepada murid-muridnya. Hoegeng Imam Santoso (kemudian dikenal sebagai Kapolri Kelima Indonesia), salah satunya. Kepemimpinan itu membuat perjuangan Soekanto diakui rekan sesama pejuang.

Polisi Wanita (Polwan) era Kapolri Jenderal R.S. Soekanto. (Wikimedia Commons)

Ketika Indonesia merdeka, utamanya. Secara mendadak Soekanto diajukan sebagai Kapolri pertama Indonesia oleh rekan-rekannya. Ia diminta membangun Kepolisian Indonesia.

“Selanjutnya Sartono dan Iwa Kusamasumatri membawa Soekanto ke rapat kabinet pertama di bawah pimpinan Presiden Soekarno yang diselenggarakan pada 29 September 1945. Mereka mengetahui bahwa pemerintah membutuhkan kepala kepolisian. Mesti tak duduk dalam pemerintahan, keduanya adalah penasihat Bung Karno di awal kemerdekaan. Sartono adalah pembela Soekarno saat diadili Belanda di Bandung pada 1930.”

“Pada hari itu juga, 29 September 1945, Presiden Soekarno menyambut kedatangan Soekanto dan kemudian menunjuknya menjadi Kepala Kepolisian Negara (Kini: Kapolri) dengan mandat: Bentuk Kepolisian Nasional. Soekanto pun terkejut, dan tanpa persiapan dilantik sebagai Kapolri tanpa upacara resmi,” ujar Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan dalam buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (2016).

Urusan membangun Kepolisian Indonesia tak mudah. Soekanto harus putar otak. Sebab, segalanya serba terbatas di fase awal kemerdekaan. Soekanto tak lantas menyerah. Ia punya modal besar membangun kepolisian, yakni pengalaman dan kesabaran.

Pengalaman itu nyatanya berguna, apalagi ia pernah pergi belajar langsung terkait kepolisian di Amerika Serikat. Bekal itu digunakannya untuk membangun kepolisian Indonesia dari nol. Utamanya, mencanangkan sekolah polisi dan memperbolehkan wanita mendaftar sebagai polwan.

Keputusan itu dilanggengkan karena Soekanto menjunjung tinggi kesetaraan gender. Ia tak ingin Kepolisian Indonesia hanya dihuni oleh kaum laki-laki saja. Baginya, Polwan punya potensi sama dan dapat bekerja dalam setiap bagian di kepolisian.

Ia pun mulai meresmikan pengabdian polwan turun ke masyarakat Indonesia pertama kali pada 25 Juli 1951. Alih-alih hanya melanggengkan tugas polisi umum, polwan pun diberikan tugas khusus. Mereka diminta untuk mencegah serta memberantas segaal kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh wanita dan anak-anak.

“R.S. Soekanto adalah orang yang menjunjung tinggi kesetaraan gender terlihat dari sikap yang ditunjukkannya terhadap keenam polisi wanita tersebut. Berdasarkan Order Kapolri No. 18/V51, tanggal 25 Juli 1951, yang isinya menempatkan inspektur-inspektur wanita itu secara administratif di DKN.”

“Dalam melaksanakan tugas lima orang diantaranya diperbantukan pada Polisi Kota Jakarta Raya. Tugas yang diberikan kepada mereka sama dengan tugas-tugas polisi umum sesuai dengan apa yang mereka pelajari di Sekolah Pendidikan Polisi Negara (SPN) Sukabumi. Ada diantara mereka yang ditempatkan di bagian Pengawas Keselamatan Negara (PKN), Lalu lintas dan tugas-tugas polisi umum lainnya,” terang Achmad Turan dan kawan-kawan dalam buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pertama 1945-1959 (2000).