Memori Ramadan: Orde Baru Tak Setuju Libur Sekolah di Bulan Puasa
Ilustrasi siswa sekolah di SMPN 1 Kudus, Jawa Tengah. Pada masa Orde Baru, libur sekolah selama Ramadan ditiadakan sejak 1978. (ANTARA/Yusuf Nugroho)

Bagikan:

JAKARTA - Bulan Ramadan kerap dirayakan dengan penuh suka cita. Di Indonesia, misalnya. Bulan suci Ramadan tak pernah dirayakan ala kadarnya. Bahkan, sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial yang tengah menjalankan Politik Etis mengizinkan anak sekolah libur selama bulan Ramadan.

Dominannya penganut Islam jadi muaranya. Namun, kebiasaan itu diubah Orde Baru (Orba). Orba mewajibkan anak sekolah masuk. Kebijakannya pun banyak ditentang. Protes paling keras muncul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Penjajahan Belanda adalah periode paling menyakitkan bagi kaum bumiputra. Mereka memperlakukan kaum bumiputra dengan semena-mena. Pun tanahnya dijadikan ladang subur untuk menghasilkan pundi-pundi pendapatan. Karenanya, kas Belanda jadi menumpuk. Sedang nasib kaum bumiputra makin menyedihkan.

Fakta itu membuat penjajahan Belanda banyak disorot dunia, termasuk dari politikus Belanda sendiri. imbasnya, Negeri Kincir angin dipaksa untuk melanggengkan balas budi kepada kaum bumiputra. Politik etis (1901-1942) digelorakan sebagai ajiannya. Kala itu, Belanda langsung kebagian tanggung jawab memperbaiki kesejahteraan kaum bumiputra.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, meniadakan liburan sekolah saat bulan Ramadan pada 1978. (ANTARA)

Kebijakan politik etis itulah yang kemudian banyak memberikan kesempatan untuk kaum bumiputra bersekolah. Pemerintah kolonial pun banyak membangun sekolah di Hindia-Belanda. Semakin banyak sekolah, kaum bumiputra dapat sejahtera, pikirnya.

Sebentuk terobosan itu diperkuat dengan keluwesan Belanda memberikan libur dalam rangka hari besar Islam. Pun dalam bulan Ramadan pemerintah Hindia Belanda meliburkan sekolah-sekolah itu selama sebulan penuh. Kebijakan libur sekolah dianggap bukti jika Belanda tak berani menyentuh atau mengganggu Islam. Anak-anak sekolah pun bersorak gembira.

“Lepas sahur, anak-anak senewen itu masuk keluar kampung menabuh kaleng rombeng, kemudian duduk berjuntai di batang belimbing hingga lohor, sesudah itu tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar hingga hampir maghrib. Jika saat berbuka tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi.”

“Tapi ini tidak berlangsung lama, sembahyang tarawih sudah menunggu, yang mereka lakukan sambil sekali-dua menyikut rusuk temannya. Dalam hubungan ini C. Snouck Hurgronye benar: pokoknya jangan sentuh agama Islam, bisa berabe. Toh kultur Jawa masih cukup kuat,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Bulan Puasa Anak-Anak Sekolah (1978).

Orde Baru Menentang

Kebijakan meliburkan anak sekolah bertahan hingga Indonesia merdeka. Pemerintahan Presiden Soekarno tak pernah mengganggu gugat perkara itu. Namun, kebijakan itu dipatahkan oleh kemunculan Orde Baru (Orba). Pemerintahan Orba mulai mencoba menghilangkan narasi liburan sebulan penuh selama Ramadan.

Menteri Pendidikan dan Kebudyaaan (Mendikbud), Daoed Joesoef jadi dalangnya. Ia percaya diri mengeluarkan surat keputusan (SK) untuk meniadakan liburan selama Ramadan bagi anak sekolah. Kebijakannya pun didukung pula oleh Presiden Soeharto.

“Konflik lain antara rezim Orde Baru dan elemen-elemen umat Islam meledak pada tahun 1978 ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Daoed Joesoef, melalui Surat Keputusan (SK) No. 0211/U/1978, mengeluarkan kebijakan meniadakan liburan sebulan penuh bagi murid dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) pada bulan Ramadan. Perlu diketahui, libur penuh selama bulan suci Ramadan ini sebenarnya telah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan sejak zaman kolonial Belanda.”

“Melalui SK itu, Mendikbud Daoed Joesoef menetapkan, libur sekolah untuk murid Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) hanya sepuluh hari dengan tiga hari pertama pada bulan Ramadan dan tujuh hari setelah Idul Fitri. Sebenarnya, libur tujuh hari sesudah Idul Fitri bukan merupakan bagian dari hari libur Ramadan karena waktunya memang sudah di luar bulan Ramadan,” ungkap Faisal Ismail dalam buku Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia (2017).

Buya Hamka, pernah menentang kebijakan peniadaan libur sekolah di bulan Ramadan pada masa Orede Baru. (WIKIPEDIA)

Pemerintah menganggap ajian tak meliburkan anak sekolah sebagai langkah revolusioner. Menurut Daoed Joesoef, kebijakan yang diambil berdasarkan hasil penelitian yang merujuk negara Islam lainnya: Arab Saudi, Pakistan, dan Malaysia. Negara-negara Arab itu malah mewajibkan anak sekolah tetap bersekolah. Pun kalangan ulama setempat tak pernah ada yang keberatan.

Daoed Joesoef juga beranggapan bahwa kebijakan libur selama bulan Ramadan tak ubahnya sebuah pembodohan yang dilakukan penjajah Belanda. Alias kental dikenal sebagai produk kolonialis. Upaya itu dilakukan supaya kaum bumiputra begitu tertinggal dalam hal pelajaran. Mereka tak mau kaum bumiputra berkembang. Karenanya, bangsa Indonesia ketika zaman Belanda tak sadar dirugikan lewat agenda libur Ramadan.

Kebijakan dari pemerintah Orba ditentang banyak pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI), salah satunya. Ketua Umum MUI Buya Hamka mengecam keras kebijakan pemerintah. Libur Ramadan untuk anak sekolah sudah dianggapnya sebagai momentum yang tepat mendidik anak untuk dekat pada agama. Libur jadi keharusan dan menjadi ciri Indonesia sejak lama. Namun, komentar itu tak mampu membendung langkah Soeharto.

“Bulan Puasa adalah waktu bagi orang tua bisa mendidik anaknya lebih efektif daripada hari-hari biasa. Mendidik beribadah, mendidik berdisiplin: puasa, sembahyang tarawih, dan bangun malam makan sahur. Bahkan di bulan Puasa, sembahyang subuh tak kalah ramainya dengan sembahyang Jum'at di Mesjid. Nah, kalau anak-anak tetap diwajibkan sekolah, bagaimana bisa tarawih dan ikut sembahyang Subuh kalau sudah capek sekolah?" ungkap Hamka sebagaimana dikutip Majalah Tempo dalam laporannya berjudul Berlapar-Lapar, Sekolah (1979).