Bagikan:

JAKARTA – Wacana libur sekolah selama satu bulan penuh sepanjang Ramadan menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan pegiat pendidikan dan para orang tua. Sebagian menyambut baik rencana libur selama Ramadan, namun sebagian lainnya khawatir libur terlalu lama justru memberi dampak negatif untuk siswa.

Adalah Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang pertama kali mengutarakan wacana libur sekolah selama satu bulan penuh sepanjang Ramadan. Ketika wacana ini tercetus, respons publik, terutama dari kalangan orang tua, beragam.

Libur sekolah selama Ramadan diharapkan dapat memberi waktu luang bagi anak-anak mengeksplor kegiatan baru. Selain itu, baik siswa maupun guru juga bisa lebih fokus menjalankan ibadah selama Ramadan.

Namun di sisi lain, libur panjang menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua dan pegiat pendidikan. Libur panjang disebut berpotensi mengganggu intensitas belajar anak.

Kegiatan pesantren kilat pada lingkup satuan pendidikan di bawah naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat selama Bulan Ramadhan 1445 Hijriah. (ANTARA/Pradita Kurniawan Syah)

“Khawatirnya anak jadi malas belajar. Lalu, sering nge-game, jadi lupa waktu. Kalau anak-anak untuk mengatur waktu masih bergantung kepada kedua orang tuanya. Jadi terkesan dapat beban lebih ekstra untuk mendisiplinkan waktu anak antara beribadah, bermain, dan belajar,” kata salah seorang wali murid.

Pernah di Era Gus Dur

Sebelumnya, libur sekolah selama sebulan penuh saat Ramadan pernah dilakukan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Mengutip laman museumkepresidenan.id, kebijakan ini dikeluarkan Presiden Keempat Indonesia tersebut pada Ramadan 1999.

Selain meliburkan sekolah selama sebulan penuh, Gus Dur juga mengimbau sekolah-sekolah membuat kegiatan pesantren kilat. Tujuannya, agar pada siswa dapat lebih fokus belajar agama Islam. Di momen ini juga para sekolah meminta siswa mereka melaporkan kegiatan ibadah selama Ramadan, seperti tadarus hingga tarawih.

Anggota DPR Hilmy Muhammad atau yang akrab disapa Gus Hilmy merespons baik terhadap wacana libur sekolah selama Ramadan ini. Ia menilai, libur selama Ramdan sebagai pembinaan spiritual dan karakter anak.

“Dalam setahun, dalam 12 bulan, mari kita berikan satu bulan penuh untuk lebih menebalkan spiritual dan karakter anak,” ujarnya. 

Gus Hilmy mengatakan, wacana libur sekolah selama Ramadan tidak menjadi masalah bagi pihak pesantren. Sedangkan bagi pihak sekolah swasta dan negeri, ia menyarankan dapat membuat program sekolah pesantren yang pernah dilakukan di era Gus Dur.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (26/11/2024). (ANTARA/Mentari Dwi Gayati/am)

“Prinsipnya mengalihkan pembelajaran, yang semula diajarkan mata pelajaran, pada Ramadhan diselenggarakan sekolah pesantren. Di masa Gus Dur dulu begitu. Di samping itu, siswa diberi tugas catatan kecil harian yang diserahkan kepada guru besok harinya. Ini menjadi dasar pemantauan guru atau dasar memberi nilai,” jelas senator asal Yogyakarta itu. 

Terkait wacana libur selama Ramadan tahun ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengatakan pemerintah akan membahas tiga opsi terkait liburan selama Ramadan.

Abdul Mu’ti mengatakan, opsi tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam rapat lintas kementerian yaitu Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Opsi pertama adalah libur penuh selama Ramadan dengan kegiatan keagamaan. Kedua, libur sebagian, contohnya libur beberapa hari di awal Ramadan dan masuk kembali hingga menjelang Idulfitri. Ketiga, sekolah tetap masuk penuh seperti biasa.                                     

Meski belum ada kepastian tentang pola kegiatan belajar mengajar saat Ramadan nanti, sejumlah kalangan mengkhawatirkan wacana libur satu bulan yang sempat dikemukakan Menag.

Modifikasi Jam Sekolah selama Ramadan

Satriwan Salim selaku Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengungkapkan, ada lima faktor yang menurut Satriwan harus diperhatikan dan dipertimbangkan pemerintah dalam menetapkan kebijakan ini.

Pertama, karena prinsip layanan belajar berlaku untuk semua siswa, maka jika libur Ramadan berlaku secara nasional, maka akan berdampak juga pada siswa non Muslim. Sehingga menurut Satriwan, pemerintah perlu melakukan pengkajian secara holistik.

“Jika libur ini hanya mengakomodir siswa beragama Islam, bagaimana siswa non Muslim? Jika mereka libur, mereka tidak mendapat layanan pembelajaran. Jika mereka tetap sekolah, ini juga mendiskriminasi layanan belajar siswa muslim yang libur,” ucap Satriwan Salim kepada VOI.

Kedua, ada kekhawatiran di kalangan para guru sekolah atau madrasah swasta terkait gaji yang terancam berkurang signifikan jika siswa libur sebulan penuh. Ini karena orang tua keberatan membayar iuran SPP lantaran tidak ada kegiatan belajar mengajar selama libur sekolah.

"Guru-guru swasta di daerah khawatir, kalau liburnya full selama puasa, nanti yayasan akan memotong gajinya signifikan karena beberapa madrasah guru digaji berdasarkan hitungan jam mengajar. Padahal kebutuhan belanja saat bulan puasa ditambah Idulfitri keluarga meningkat," lanjutnya.

Data menunjukkan 95 persen madrasah berstatus swasta, dan sebagian madrasah swasta itu dikelola dengan SDM dan anggaran minim. Gaji gurunya pun di bawah Rp1 juta per bulan. Pemerintah mesti memikirkan nasib dan kesejahteraan guru swasta kecil, jika sekolah libur sebulan penuh.

Ketiga, selama ini setiap Ramadan kegiatan belajar mengajar di sekolah mengalami modifikasi. Mulai dari pengurangan jam belajar, mengubah jam masuk dan pulang sekolah, atau belajar aktif hanya dua pekan pada pertengahan Ramadan.

“Sisanya sekolah mengadakan program Pesantren Ramadan. Jadi opsinya ada banyak," lanjut Satriwan.

Dengan begitu, siswa tetap belajar menuntaskan kurikulum, tapi juga tidak meninggalkan aktivitas spiritual Ramadan. Jika siswa libur selama puasa, menurut Satriwan akan berdampak negatif terhadap capaian pembelajaran mereka karena kurikulum dan materi pembelajaran akan banyak tertinggal.

Potensi Peningkatan Kenakalan Remaja

Keempat, lemahnya pemantauan dan pengawasan siswa oleh guru maupun orang tua jika sekolah libur selama Ramadan. Orang tua seharusnya memiliki kendali penuh dalam mengawasi belajar anak selama libur.

Namun kenyataannya, banyak orang tua bekerja dan memiliki aktivitas lain sehingga tidak dapat mengawasi dan membimbing anak selama libur.

Terakhir, yang paling penting, Satriwan mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan dampak negatif libur berkepanjangan, seperti learning loss dan menambah potensi adiksi siswa pada gawai.

"Jangan sampai libur selama Ramadan menjadi ajang anak lama-lama berselancar di dunia maya, mengakses konten negatif kekerasan, game online, bahkan pornografi," ucap Satriwan khawatir.

Tak hanya itu, tren kenakalan remaja juga berpotensi meningkat ketika libur selama Ramadan, karena banyak kasus tawuran dan kekerasan lainnya terjadi pada musim libur.

Kegiatan sahur on the road yang saat ini sudah dilarang di beberapa daerah karena dianggap mengganggu ketertiban (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Ketiga, siklus kekerasan yang dilakukan remaja pada musim liburan. Ini akan menemukan momentumnya saat libur Ramadan, karena memang banyak kasus tawuran dan kekerasan lainnya terjadi saat setelah sahur atau menjelang berbuka puasa. 

“Apalagi Ramadan itu anak-anak remaja berkesempatan keluar malam lebih lama. Bahkan sampai sahur. Ini perlu pengawasan dan pengaturan yang ketat. Di beberapa wilayah Indonesia, sudah dilarang kegiatan Sahur on The Road, karena seringkali menimbulkan perkelahian dan tindak pidana lainnya," pungkasnya.