JAKARTA – Sejarah hari ini, 87 tahun lalu, 15 September 1935, Soekarno menuliskan surat dari Ende untuk sahabatnya tokoh Islam, Tuan A. Hassan di Bandung. Cara itu dilakukan Bung Karno untuk terus terhubung dengan perkembangan dunia Islam. Demi menjaga kewarasan, pikirnya.
Dalam surat itu, Soekarno banyak mengungkapkan pikirannya terhadap perkembangan Islam dunia. Utamanya, perihal hasil dari perkembangan Kongres Palestina yang mengutuk kuasa Israel menduduki Palestina. Sebelumnya, Tuan A. Hassan kerap mengirim Soekarno bacaan-bacaan bermutu terkait dunia Islam.
Nyala api perlawanan Soekarno terhadap kolonialisme dan imperialisme kerap membara. Apalagi ketika Bung Karno menempuh pendidikan di Bandung. Ia mulai merasakan penjajahan Belanda makin mempersulit hidup kaum bumiputra.
Gelora perlawanan jadi tak terhindarkan. Saban hari Bung Karno berdiri untuk membakar semangat kaum bumiputra untuk merdeka. Dari mimbar ke mimbar. Soekarno pun menjelma sebagai sosok yang populer di antara kaum bumiputra, kemudian pemerintah kolonial Belanda. Alih-alih menganggap sepi retorika Soekarno, Belanda justru menganggapnya sebagai ancaman serius.
Soekarno dilabeli tokoh radikal dan pemberontak. Belanda pun ingin membungkamnya. Penjara jadi ajian. Namun, penjara belum cukup memadamkan api perlawanan. Satu-satunya opsi pun keluar. Soekarno harus diasingkan dari tanah Jawa.
Keputusan Soekarno diasingkan direstui penuh oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge (1931–1936). Keputusan itu keluar pada 28 Desember 1933. Soekarno dan keluarganya diasingkan ke Ende pada awal tahun 1934. Sebuah negeri nan jauh dari basis pergerakan Soekarno.
“Di Tanjung Perak keluarga yang dibuang itu dinaikkan ke kapal Van Riebeeck. Peluit kapal bertiup, dan lajulah kapal itu berlayar. Delapan hari delapan malam perjalanan dari Surabaya ke Ende. Keluarga Kusno (panggilan kecil Soekarno) ditempatkan di Ambugaga.”
“Atap rumahnya dari seng, tiangnya dari kayu. Tiada listrik. Jika malam tiba, mengandalkan lampu minyak tanah. Beruntung halamannya luas jadi bisa bertanam, menghilangkan rasa kesal,” tertulis di Majalah Mangle terbitan Maret 1984 dikutip Deni Rachman dalam buku Kisah-Kisah Istimewa Inggit Garnasih (2020).
Bukan perkara mudah bagi Bung Karno hidup di pengasingan. Ia harus bertarung untuk menjaga kewarasan. Istrinya, Inggit Garnasih banyak membantu menyemangati Bung Karno. Selain Inggit, aktivitas surat menyuratnya dengan tokoh Islam Tuan A. Hassan juga jadi penyemangat.
Soekarno banyak belajar terkait Islam berkat kiriman buku-buku dan surat dari Tuan A. Hassan. Surat-surat itu rutin dibalas oleh Soekarno. Dalam salah satu suratnya tertanggal 15 September 1935, Soekarno mengucapkan banyak terima kasih atas asupan pengetahuan terkait Islam yang dikirim Tuan A. Hassan.
Soekarno pun turut mengomentari terkait perkembangan dunia Islam. Ia merasa dunia Islam sedang mengalami kemunduran. Ruhnya kurang, tenaganya tidak ada. Utamanya, saat Soekarno menangkap dari isi rentetan Kongres Palestina yang membela hak rakyat Palestina.
“Saya sendiri pun tak kurang-kurang berterima kasih, mendapat hadiah lagi beberapa brosur. Isinya brosur Kongres Palestina itu, tak mampu menangkap: centre need of Islam. Di Palestina orang tak lepas dari konvensionalisme tak cukup kemampuan buat mengadakan perubahan yang radikal di dalam aliran yang nyata membawa Islam kepada kemunduran.”
“Juga pimpinan kongres itu ada 'ruwet', orang seperti tidak tahu apa yang dirapatkan, bagaimana caranya teknik kongres. Program kongres yang terang dan nyata rupanya tak ada. Orang tidak zakelijk (objektif), dan saya kira di kongres itu, orang terlalu meniup pantat satu sama lain, caressing each other, terlalu mekaar lekker maken (membuat satu sama lain baik). Memang begitulah gambarnya dunia Islam sekarang ini: kurang ruh yang nyata, kurang tenaga yang wujud, terlalu bedak-membedaki satu sama lain,” tulis Bung Karno dalam suratnya sebagaimana dikutip buku Islam Sontoloyo (2017).