Memori Bung Karno Menumpang Mandi di Sungai Wola Wona Saat Diasingkan ke Ende
Bung Karno beserta keluarga dan kerabatnya saat diasingkan ke Ende, Flores pada 1934. (Dok. Kemendikbud)

Bagikan:

JAKARTA - Pergerakan Soekarno acap kali merepotkan Belanda. Kemampuannya membakar semangat kaum bumiputra dinilai tiada dua. Pemerintah kolonial pun bersiasat. Mereka ingin meredam pengaruh Bung Karno. Penjara dan pengasingan jadi ajian.

Nyatanya siasat itu bukan jawaban. Di pengasingan Ende, misalnya. Nyalinya tak lantas ciut. Bung Karno justru memiliki banyak waktu melebarkan pengaruhnya. Di sisi lainnya, Bung Karno terus melanggengkan hobinya mandi di kali. Sungai Wola Wona, namanya.

Di mata Belanda, Soekarno kerap dicap sebagai tokoh radikal. Bung Karno dianggap sebagai salah satu sosok yang berani menentang imperialisme dan kolonialisme Belanda secara terang-terangan. Semua itu karena darah muda Bung Karno yang sering terbakar melihat kaumnya dijajah bak sapi perah. Ia pun memanfaatkan tiap kesempatan untuk membakar semangat kaum bumiputra.

Orasi-orasi politiknya yang berani membuat sosoknya kesohor. Bagi kaum bumiputra, Soekarno kesohor karena mampu menjadi inspirasi pergerakan nasional. Bagi Belanda sebaliknya. Bung Karno justru dikategorikan sebagai seorang radikal yang harus segera ditumpas. Sebab, resikonya besar. Belanda dapat kehilangan kekuasaan di tanah Hindia-Belanda karena gemuruh orasi Bung Karno.

Bung Karno dalam pengasingan di Ende. (Wikimedia Commons)

Belanda pun bersiasat. Ia ingin segera meredam pengaruh Soekarno di tanah Jawa. Penjara jadi opsi yang paling memungkinkan. Soekarno pun segera dijebloskan ke Penjara Benceuy (1929), kemudian Penjara Sukamiskin (1930). Opsi penjara nyatanya tak mampu memutus nyali Soekarno.

Di tengah kesepiannya hidup di penjara, Soekarno tak menyerah. Ia terus mematangkan dan mengasah pikirannya. Ia terus melebarkan pengaruhnya di penjara. Bahkan, momentum persidangannya di Pengadilan Bandung tak ubahnya jadi panggung politik Soekarno lewat pledoinya yang populer: Indonesia Menggugat. Belanda pun gerah. Opsi pengasingan ke Ende (1934) dipilih oleh Belanda.

“Dengan dibuangnya Soekarno ke Ende membawa pengaruh juga bagi gerakan di daerah. Banyak kaum pergerakan yang secara sembunyi-sembunyi memanfaatkan kesempatan untuk mengadakan kontak dengan Soekarno yang dibuang ke Ende. Walaupun pemerintah kolonial Belanda melakukan pengawasan keras karena dikhawatirkan pengaruh gerakan non koperasi meluas, tetapi kaum pergerakan tidak kekurangan akal.”

“Di antaranya dari Kupang N. Saduk Ofmatan pergi ke Ende secara sembunyi-sembunyi belajar politik pada Soekarno. Setiap ada kesempatan dipergunakan oleh Soekarno untuk memberi kesadaran politik, misalnya taktik dalam menghadapi para pengawal, selalu diajak berceritera tentang pahlawan-pahlawan dari daerah tempat asal pengawal untuk membangkitkan kesadaran nasional,” tertulis dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Timur (1978).

Akibat Sumur Terlalu Dalam

Bung Karno tiba di tanah pembuangan Ende, Flores pada 1934. Ia dan keluarga menumpang kapal Jan van Riebeeck selama delapan hari. Awal mula kedatangannya, Ende sempat dianggap sebagai penjara terbuka. Di sana segala kegiatan politik tak dapat dilanggengkan.

Ende tak ubahnya sebuah kawasan yang terisolir. Ketiadaan telpon dan telegram adalah penguat anggapan itu. Namun, tiada jalan yang mampu mematikan semangat Bung Karno. Ia mulai kerasan hidup di Ende. Ia pun mulai mempelajari sekitarnya. Utamanya lingkungan rumah pengasingannya di Ambugaga.

Ia pun tak kehabisan akal. Bung Karno memanfaatkan jalur kirim surat lewat pos untuk meneruskan pengaruhnya di tanah tanah Jawa. Sementara di Ende sendiri, Bung Karno banyak mengajak diskusi warga setempat. Bahkan, pejuang daerah.

Kunjungan Bung Karno ke Ende setelah menjadi Presiden Republik Indonesia. (Wikimedia Commons)

Metode itu membuat pengaruh Soekarno tetap terjaga. Alias makin meluas. Setali dengan itu, Bung Karno semakin menikmati kehidupan di Ende. Ia banyak melanggengkan hobi baru. Mandi di kali, salah satunya. Aktivitas itu dianggapnya cukup menyenangkan.

 “Di dalam kota Ende terdapat sebuah kampung yang lebih kecil lagi, terdiri dari pondok‐pondok beratap ilalang, bernama Ambugaga. Jalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan dimana terletak rumahku tidak bernama.”

“Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah‐tengahnya berbingkah‐bingkah batu. Di sekeliling dan sebelah menyebelah rumah ini hanya terdapat kebun pisang, kelapa dan jagung. Di seluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun macam hiburan lain,” tutup Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Saban hari Bung Karno memilih mandi kali. Sebagaimana penduduk Ambugaga pada umumnya. Awalnya Bung Karno memilih mandi di sungai karena sumur di belakang rumahnya cukup dalam. Alhasil, mandi di sungai jadi opsi yang paling mudah dan menyenangkan. Nyatanya aktivitas mandi di sungai berair dingin itu disukai oleh Bung Besar.

Bung Karno saat diasingkan ke Bengkulu. (Wikimedia Commons)

Tak hanya Soekarno, keluarganya yang ikut ke Ende termasuk sang istri, Inggit Garnasih juga menyukai mandi di kali. Mandi di kali jadi salah satu hiburan Inggit di tanah pengasingan. Apalagi ketika melangsungkan perjalanan ke sungai ia dapat menikmati panorama Ende yang indah dengan seksama.

“Tak ada listrik di rumah kami, yang kami sewa dari Haji Abdul Amburawuh, seseorang yang cukup berada. Kami mempergunakan lampu minyak tanah dan yang bertugas untuk mengatur lampu itu ialah Omi (anak angkat Soekarno: Ratna Djuami) yang sudah pandai pula menolong kami di dapur.”

“Halamannya lumayan luas, sehingga kami bisa bercocok tanam, berkebun sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Di sekeliling rumah terdapat pohon-pohon pisang, kelapa, dan jagung. Ada sumur, tetapi dalam sekali. Kalau mandi, kami lebih senang pergi ke pemandian di Wola Wona, sungai dengan airnya yang dingin dan berbatu-batu besar di tengah-tengahnya,” tutup Inggit Garnasih sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Kuantar Ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1988).