JAKARTA - Soekarno disegani bukan hanya karena caranya memimpin. Soekarno juga menjadikan interaksinya dengan rakyat sebagai pembelajaran. Termasuk ketika ia diasingkan ke 'Kampung Nelayan' di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) selama 1934-1938. Bung Karno banyak belajar dari para nelayan. Kehidupan mereka jadi peluru Bung karno untuk merdeka dari belenggu penjajahan.
Penjara dan pengasingan adalah dua hal yang telah akrab bagi Bung Karno muda. Gagasan-gagasannya selalu mengundang kagum kaum bumiputra. Pada rapat-rapat umum, Bung Karno selalu menjadi pusat perhatian. Pun hal yang sama ketika dirinya berbicara di podium.
Buahnya, penjajah Belanda menggolongkan Soekarno sebagai sosok yang berbahaya bagi eksistensi mereka di Nusantara. Penjara Sukamiskin lalu jadi jawaban untuk membendung Bung Karno. Nyatanya hal itu tak cukup. Bagi Bung Karno, bui tak lebih dari risiko perjuangan.
Selepas keluar dari penjara, Soekarno mengulang hal yang sama. Malahan, intensitas politiknya makin meningkat. Pemerintah kolonial yang sudah kepalang terganggu menangkap kembali Bung Besar. Belanda tak mau kecolongan dengan hanya menghukum penjara Bung karno.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bonifacius Cornelis de Jonge (1931–1936) memilih mengasingkan Putra Sang Fajar ke Ende. Keputusan itu keluar pada 28 Desember 1933. Dalam bingkai itu, sang istri, Inggit ikut berjuang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di pengasingan, Inggit menjual barang apapun. Rumahnya yang berada di jalan Javaveem, Bandung ikut dijual.
“Di Tanjung Perak keluarga yang dibuang itu dinaikkan ke kapal Van Riebeeck. Peluit kapal bertiup, dan lajulah kapal itu berlayar. Delapan hari delapan malam perjalanan dari Surabaya ke Ende. Keluarga Kusno (panggilan kecil Soekarno) ditempatkan di Ambugaga. Atap rumahnya dari seng, tiangnya dari kayu. Tiada listrik. Jika malam tiba, mengandalkan lampu minyak tanah. Beruntung halamannya luas jadi bisa bertanam, menghilangkan rasa kesal,” tertulis di Majalah Mangle terbitan Maret 1984 dikutip Deni Rachman dalam buku Kisah-Kisah Istimewa Inggit Garnasih (2020).
Bung Karno di Ende
Sesampainya di Ende, Bung karno langsung menyadari bahwa di kota ini aktivitas politik nyaris tak ada. Tak ada diskusi ataupun berdebatan. Apalagi, tak seorang pun di sini yang dikenalnya. De Jonge tampak menjadikan Ende, sebuah kampung nelayan sebagai penjara terbuka untuk Bung Karno.
Penduduk Ende hanya lima ribu orang. Keadaan kotanya masih terbelakang. Mayoritas warganya pun adalah petani dan nelayan. Di Ende, Soekarno kesulitan mengakses dunia luar. Ia tak punya telepon, tak juga punya telegraf. Satu-satunya akses ke dunia luar hanya lewat dua buah kapal pos yang keluar masuk. Itupun sekali sebulan.
Jadi, dengan dua kapal itu, dua kali dalam sebulan Bung Karno sekeluarga menerima surat-surat dan surat kabar dari luar. Alhasil, Ende menjadi tempat Bung Karno merenungi banyak hal dan diwaktu senggang Bung Karno melanggengkan hobi lainnya, yakni menulis 12 naskah sandiwara.
“Tapi, dalam pengasingan di Ende (1934-1938), Soekarno tampak benar-benar sudah memutuskan sebuah karir baru. Tidak politik, tapi tetap berbau panggung. Dia menulis 12 cerita sandiwara, salah satunya berjudul Dr. Setan, yang diilhami oleh Frankenstein. Dia juga mendirikan Perkumpulan Sandiwara Kalimutu, dari nama danau terkenal di pulau itu, membuat reklame sendiri untuk pertunjukannya, merancang kostum, dan menggambar dekor. Karir politik Sukarno sepertinya akan habis di situ. Tapi sejarah ternyata menikung ke arah lain,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Soekarno: Seorang Bima, Seorang Hamlet (2001).
Bung Karno dan nelayan
Boleh jadi, Ende dalam pandangan Bung Karno cukup terpencil. Bagai ujung dunia. Kendati demikian, Bung Karno tak lantas menyerah. Untuk mengembalikan semangatnya, Bung Karno banyak merenung dan bergaul dengan segenap warga Ende.
Bung Karno bergaul dengan pemetik kelapa, sopir, bujang yang tidak bekerja, dan nelayan untuk dijadikan kawan. Yang paling berkesan, saat dirinya mulai berkenalan dengan seorang nelayan bernama Kota.
Kepada Kota, Bung Karno membuka gerbang pintu rumahnya lebar-lebar. Setelahnya, keduanya aktif saling berkunjung satu sama lain. Lebih lagi, dalam kunjungan itu Bung Karno begitu menikmati aktivitas bersantai di tepi pantai.
Kadang Bung Karno mengajak istrinya. Kadang pula mengajak anak angkatnya, Ratna Djoeami dan Kartika. Mereka menikmati pesona Pantai Ende, dari semerbak indah purnama di pantai hingga debur ombak yang gemuruh. Di tengah aktivitas itu, Bung Karno melihat langsung kesibukan nelayan Ende yang baru turun ke laut.
"Nelayan adalah manusia yang paling kaya, tapi juga paling miskin. Merekalah manusia yang paling sabar menanti datangnya ikan ke kail. Mereka kaya dengan ikan, tapi sangat miskin dengan uang," cerita Bung Karno kepada Omi (Ratna Djoeami) dan Kartika dikutip Lily Martin dalam buku Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno (1992).
Dalam perenungannya, Bung Karno semula tak mengerti bagaimana para nelayan yang begitu banyak memiliki ikan, tapi tidak punya uang. Bung Karno kemudian menyadari ikan yang melimpah tidak ada apa-apanya jika mayoritas penduduk Ende hanya menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Imbasnya, nelayan-nelayan yang ada, tak berani memasang harga yang pantas untuk tiap ikan hasil tangkapannya.
"Karenanya kita harus bersyukur. Sebab kehidupan kita sudah jauh lebih baik dari mereka. Pujilah Tuhan selalu agar kelebihan yang sudah diberikannya pada kita, tidak diambilnya kembali," tutur Inggit Garnasih menutup cerita Bung Karno.
Dalam keprihatinan terhadap nelayan, Bung karno belajar banyak hal. Terutama, terkait kepekaan terhadap masalah kaum tak berpunya. Pengalamannya bercengkrama dengan nelayan, petani, dan sopir itu jadi penggerak bagi Bung karno memperjuangkan nasib rakyat miskin. Kemiskinan jadi dasar Bung Karno untuk melawan, membela, dan membawa segenap rakyat Indoensia lebih dari belenggu penjajahan Belanda.
“Aku merindukan pulau Jawa, aku merindukan kawan‐kawan untuk mencintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu yang dirampas dariku. Selagi duduk di sana aku melihat seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah‐kuyup. Tiba‐tiba ia menggigil. Kukira belas kasihku meliputi seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil, akupun menggigil. Sungguh pun badanku kering, aku serta‐merta merasa basah kuyup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan pertimbangan akal, akan tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang yang miskin — baik dia miskin harta maupun miskin dalam jiwanya,” ungkap Bung karno dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.