Bagikan:

JAKARTA - Pada era 1950-an, film buatan Barat jadi raja di Nusantara. Tiap bioskop kelas atas selalu berebut menayangkan film-film tersebut. Sederet tokoh, seperti Clark Gable, John Wayne, dan Marlon Brando jadi idola generasi 50-an. Usmar Ismail mendobrak itu. Lewat film Krisis (1953), Usmar Ismail jadi juru selamat perfilman Indonesia.

Berkebalikan dengan film Barat, karya sineas Indonesia tak dilirik. Disepelekan. Kalaupun tayang, penayangan hanya sebatas di bioskop rakyat saja. Pada awal kemerdekaan, industri film Indonesia jalan di tempat. Tak bergerak sama sekali.

Sekalipun pemerintah telah menasionalisasi perusahaan Belanda, Pasific Corporation menjadi Pusat Perfilman Nasional (PFN), film dalam negeri tak kunjung terangkat. Muaranya karena perubahan itu tak cepat-cepat didukung dengan regulasi yang kokoh demi memajukan film nasional.

Lebih lagi, keran impor film asing yang dibuka selebar-lebarnya membuat industri perfilman Indonesia makin terhimpit. Alhasil, generasi 50-an kebanyakan menyukai film Barat ketimbang film dalam negeri.

Film-film koboi jadi yang paling populer. Umumnya, di film-film ini sering terjadi pertempuran-pertempuran antara para pendatang Eropa kulit putih dan orang-orang pribumi India, yang sering kali jadi penjahat.

Lewat film-film itu, nama-nama aktor dan aktris Barat, seperti Clark Gable, John Wayne, Ava Gardner, dan James Stewart di puja-puji para penggemarnya di Indonesia. Nyaris tak ada aktor-aktris dalam negeri dalam daftar tersebut.

Marlon Brando, Fatmawati, dan Usmar Ismail (Sumber: Commons Wikimedia)

“Saya ingat nama-nama (aktor-aktris) ini semua karena saya sendiri memang senang menonton film pada waktu itu. Tidak salah kalau ada di antara pembaca yang ingin mengatakan bahwa saya terpengaruh budaya barat –-saya tidak menolaknya asal tidak dikatakan kebarat-baratan saja. Tetapi setahu saya, banyak remaja di Jakarta atau di kota-kota di Indonesia pada 1950-an yang juga seperti saya,” Firman Lubis menceritakan pengalamannya terpapar film barat era 1950-an dalam buku Jakarta 1950-1970 (2019).

Kompetisi tak seimbang gamblang terlihat. Pada masa itu, bioskop di Indonesia berjumlah sekitar 600-an. Kebanyakan bioskop itu justru memberi porsi besar untuk film Hollywood. Sedangkan, film dalam negeri hanya mendapatkan jatah penayangan sebanyak 15 persen. Jumlah itu menunjukkan mahakuasanya industri film Hollywood di Nusantara.

Munculnya Usmar Ismail

Akan tetapi, sineas-sineas bumiputra tak patah semangat. Beberapa di antara sineas bumiputra yang dulunya pernah belajar perfilman di era penjajahan Jepang langsung tancap gas. Salah satu nama populer ada Usmar Ismail.

Kala itu Usmar Ismail dapat menjelma menjadi apa saja untuk mencapai totalitas dalam dunia perfilman. Dalam satu waktu ia dapat menjadi sutradara, penulis skenario, sopir, bahkan kuli angkut.

“Pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, perfilman Indonesia diwarnai karya pekerja film yang sebagian berasal dari tenaga terpelajar dan tergabung dalam organisasi seniman film. Film yang mencuat saat itu adalah Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada tahun 1950. Sebagian besar isi film pada masa itu tak ubahnya sandiwara yang dilengkapi dialog dan pidato sebagaimana film pada masa penjajahan Jepang,” tulis Novi Kurnia dalam jurnal Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman (2006).

Usmar Ismail (Sumber: Commons Wikimedia)

Usmar Ismail kemudian memerlihatkan kualitasnya saat menggarap film Darah dan Doa. Film itu hadir dengan dana produksi yang tak sedikit. Produksinya saja sampai merogoh kocek Rp350 ribu.

Biaya yang cukup mahal, karena rata-rata biaya film dalam negeri hanya berkisar di angka Rp100 ribu. Nilai-nilai patriotisme dan kemanusian jadi perpaduan menarik dari film ini. Buahnya, film Darah dan Doa menjadi film pertama tentang revolusi Indonesia.

Dan tanggal pengambilan gambar pertama film Darah dan Doa, 30 Maret sampai hari ini dikenang sebagai Hari Film Nasional.

Tinju Usmar Ismail

Cuplikan film Enam Djam di Djogdja (Sumber: Commons Wikimedia)

Setelah sukses Darah dan Doa, Usmar Ismail turut serta dalam pembuatan film-film berkualitas lainnya. Beberapa di antaranya adalah Enam Djam di Djogdja (1951), Dosa Tak Berampun (1951), dan Kafedo (1953).

Kendati demikian sederet film itu kurang diminati penonton, sekalipun secara mutu cukup baik. Usmar Ismail putar otak. Usmar Ismail kemudian mulai membuat film yang mengikuti selera zaman.

Film Krisis (1953) pun lahir. Film ini dibuat merujuk Indonesia yang sedang suasana krisis. Secara lihai Usmar Ismail menggambarkan Indonesia kala itu seakan-akan tergambar dalam filmnya.

Sebagaimana sastrawan, Goenawan Mohamad sebutkan dalam film Krisis tertuang gambaran: ruang hidup yang sesak, hubungan manusia yang getir tapi menggelikan, dan tak ada jalan keluar.

Namun, film Krisis bernasib sial. Usmar Ismail kesulitan mencarikan screen time atau jam tayang bagi filmnya di bioskop-bioskop kelas satu. Padahal, ketua panitia sensor film Maria Ulfah Subadio (1950-1961) dan Walikota Jakarta, Sudiro (1953-1960)  –-Kakek dari Tora Sudiro— sudah mengupayakan agar tiap bioskop kelas satu memutar sekurang-kurangnya satu judul film Indonesia sekali dalam enam bulan.

Cuplikan film Krisis (Sumber: Commons Wikimedia)

Usmar Ismail kepalang sakit hati. Ia lalu mencari jalan lain seorang diri. “Omongan para pembuat film Indonesia dianggap sepi, aksi kampanye tidak mempan, tulisan, dan kritik dalam surat kabar tidak didengarkan," Rosihan Anwar mengisahkan dalam buku Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Jilid 2 (2009).

"Pemilik bioskop jalan terus sendirian menurut maunya. Usmar mengambil jalan pintas. la ingin filmnya diputar di bioskop Capitol yang terletak di Jalan Pintu Air, Jakarta, tetapi tidak bisa. la langsung pergi menemui Tuan Weskin, pengusaha bioskop, seorang Yahudi. Tidak banyak bicara lagi. Langsung Usmar melayangkan tinjunya ke arah muka Mister Weskin. Bogem mentah mendarat di muka pemilik bioskop yang berkuasa itu. Weskin mengerti. Kapitulasi.”

Sejak itu Usmar Ismail dan Mister Weskin yang berkepala botak dan suka pakai dasi kupu-kupu itu menjadi sobat. Film Usmar diputar di bioskop Capitol. Masalah kesulitan mencari screen time sudah tidak lagi dirasakan Usmar Ismail.

Keberanian Usmar Ismail mengambil jalan cowboy style tak saja menjadikan film Krisis sebagai film Indonesia terlaris di masanya. Usmar Ismail membuat tonggak sejarah baru bagi perfilman Indonesia. Dan yang paling penting, Usmar Ismail adalah pembuka jalan bagi sineas lainnya untuk menayangkan film-filmnya di bioskop-bioskop kelas satu.

Krisis akhirnya diterima masuk bioskop itu --entah, apakah itu lantaran bogem Usmar. Hebatnya, Usmar malah sukses membukukan sejarah. Film ini mampu bertahan lima pekan, menyedot 4 ribu penonton setiap harinya. Bahkan bisa mengungguli film Ivanhoe, meskipun tidak seampuh Quo Vadis --dua film terakhir dibuat oleh produsen terkemuka MGM,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Bogem Usmar Ismail Meloloskan “Krisis” (1998).

*Baca Informasi lain soal FILM atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya