Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 326 tahun yang lalu, 25 Mei 1696, maskapai dagang Belanda VOC menerapkan pajak yang tinggi bagi pendatang baru asal China. Aturan itu membuat beban pajak yang diterima oleh orang China di Batavia semakin banyak. Dari pajak berdagang hingga pajak kepala.

Semua karena Kompeni menganggap orang China sebagai penggerak ekonomi belaka. Tak lebih. Karenanya, orang China diberikan hak istimewa. Kompeni siap sedia melindungi segala macam aktivitas orang China di tanah Betawi.

Membangun Batavia bukan perkara mudah. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen yang menjabat dua kali pada 1619-1623 dan 1627-1629 pernah merasakannya. Ia putar otak merencanakan bakal calon negeri koloni yang layak.

Coen pun mendapatkan ide brilian. Ia menginginkan orang China jadi warga penting di Batavia. Keuletan dan semangat kerja keras orang China jadi muaranya. Pun ia yakin jika kehadiran orang China dapat membawakan keuntungan melimpah. Tidak saja bagi Batavia, tetapi juga Negeri Belanda.

Pusat perdagangan adalah wilayah yang banyak dihuni komunitas entis Tionghoa di Batavia. (Wikimedia Commons)

Pintu masuk orang China ke Batavia dibuka lebar-lebar oleh Coen. Nyatanya, strategi itu berhasil. Sesuai prediksi, orang China yang datang ke Batavia mulai mengisi posisi penting. Mereka jadi penggerakan roda ekonomi di Batavia. Antara lain mereka menjadi pedagang, petani, pebisnis, tukang kayu, hingga nelayan.

Kehadiran orang China membantu sekali dalam pembangunan di Batavia. Mereka jadi otak utama dari hadirnya bangunan penting. Kehadiran benteng dan kasteel Batavia adalah salah satu contohnya.   

“Warga China yang bekerja pada masa pemerintahan gubernur jenderal pertama di Batavia tidak memiliki keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa Coen sangat menghargai warganya. Dia tidak pernah memberikan toleransi kepada orang Inggris atau Belanda yang memperlakukan orang China secara tidak adil.”

“Coen juga tidak memandang mereka sebagai objek pajak yang berlebihan. Ketika dia ingin memberlakukan cukai terhadap impor dan ekspor, dia akan berkonsultasi dengan Souw Beng Kong dan Jan Congh sang Kepala Komunitas China. Pendapat mereka selalu siap dia terima,” ungkap Johannes Theodorus Vermeulen dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru-Hara 1740 (2010).

Boleh jadi selama pemerintahan Coen, orang China di Batavia makmur. Namun, hal itu tak berlanjut ketika Coen telah tiada. Penerusnya justru memandang orang China sebagai objek pajak belaka. Seiring berjalannya waktu pajak yang harus dibayarkan orang China makin banyak jumlahnya.

Sebuah komunitas warga pendatang dari China di Batavia. (Wikimedia Commons)

Belanda menarik pajak untuk banyak hal, dari pajak kepala hingga bahan pokok. Bahkan tiap kedatangan imigran China baru, empunya kuasa tak lupa mengutip pajak. Tiap tahun pajak tersebut ditingkatkan. Ambil contoh pada 25 Mei 1696. Kompeni menarik pajak yang tinggi bagi tiap kedatangan pendatang dari China.

“Kapitan Tionghoa kemudian akan melaporkan kepada pihak VOC, síapa saja yang boleh menjadi warga Batavia. VOC juga menentukan bahwa setiap kapal Tiongkok hanya diperbolehkan mengangkut 50 orang imigran Tionghoa, dan setiap orang dikenakan bea 10 ringgit.”

“Akan tetapi, adanya penyelewengan dalam penarikan bea dari pegawai VOC, menyebabkan arus imigran Tionghoa ke Batavia tetap saja bertambah. Oleh karena itu, pada tanggal 25 Mei 1696 VOC menerapkan peraturan yang lebih berat lagi, dimana singke atau pendatang baru Tionghoa dikenakan biaya sebesar 15 ringgit,” tutup Hembing Wijayakusuma dalam buku Pembantaian massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (2005).

Penerapan pajak tinggi untuk pendatang dari China oleh pemerintah Kolonial Belanda di Nusantara, menjadi catatan sejarah hari ini pada 25 Mei 1696.