Bagikan:

JAKARTA - Bukan urusan mudah mengatur lalu lintas jalanan Jakarta. Ali Sadikin pernah merasakannya. Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 acap kali tak mampu menahan emosi ketika menemukan pengendara motor atau mobil yang melakukan kesalahan.

Siapa melanggar akan segera diarahkan mengikuti aturan. Namun, tidak bagi mereka yang termasuk sebagai pengendara arogan. Apalagi, seakan-akan jalanan milik nenek moyangnya. Ali Sadikin tak segan-segan untuk menampar pengemudi ugal-ugalan berkali-kali.

Latar belakang militer bukan menjadi kendala Ali Sadikin membangun Jakarta. Semenjak ditunjuk oleh Bung Karno sebagai Gubernur DKI Jakarta awal April 1966, pria yang akrab disapa Bang Ali langsung tancap gas. Ia mencoba memahami seluruh permasalahan yang hadir di ibu kota. Detail demi detail.

Siang-malam Bang Ali bersama timnya memikirkan supaya Jakarta dapat dibangun dalam satu komando. Ia pun tak jarang keluar-masuk kampung, terminal, bandara, hingga pusat hiburan di Jakarta. Aktivitas blusukan itu dilakukan untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat dalam membangun Jakarta dari Big Village menuju Kota Metropolitan.

Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin. (Wikimedia Commons)

Penjelajahan itu dilakukannya secara incognito. Alias seorang diri tanpa membawa ajudan, ataupun wartawan. Hasilnya, Bang Ali dapat memetakan permasalahan Jakarta, kemudian “mengawinkannya” dengan kebijakan yang tepat. Dalam mengatur lalu lintas Jakarta, misalnya. Bang Ali terbuka dengan semua usulan yang diajukan oleh warganya. Pun ia menerima segala bentuk kritikan dari warga secara langsung.

Dialog terbuka pun dilakukan. Termasuk ketika Ali Sadikin mau melakukan upaya pelebaran jalan. Karenanya, tiap eksekusi kebijakan Bang Ali kerap mendapatkan banyak dukungan. Sekalipun banyak pula yang membenci kebijakannya.

“Gubernur Ali Sadikin juga memerhatikan sistem lalu lintas di Jakarta. Untuk melancarkan arus lalu lintas yang menjadi akses menuju pusat perdagangan dan keuangan, Glodok, yang setiap hari macet. Ali Sadikin menerima usul memperlebar Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Tetapi staf mengingatkan, Pak Gub, jika kita melebarkan jalan, maka kita harus memberikan ganti rugi tanah dan bangunan.”

“Ali Sadikin menggebrak: kita akan lebarkan jalan tanpa ganti rugi. Melihat Ali Sadikin bersuara dengan nada keras, tidak ada yang berani lagi bicara. Kemudian Ali Sadikin meminta para aparat, dari camat sampai lurah, dibantu kepala lingkungan dan RT mensosialisasikan rencana pelebaran jalan. Syukurlah para penghuni dapat menerima gagasan ini,” ungkap Wardiman Djodjonegoro dalam buku Sepanjang Jalan Kenangan (2016).

Jadi Polantas Sukarela

Lalu lintas Jakarta yang semrawut ingin segera dituntaskan oleh Bang Ali. Tak jarang, ia sendiri tergerak untuk mengatur lalu lintas di jalanan Jakarta, berdua dengan ajudannya. Bang Ali kala itu tak ubahnya melakoni tugas polisi lalu-lintas.

Tindakan Bang Ali jelas memancing perhatian warga Jakarta yang kebetulan lewat. Banyak yang tertarik melihat aksi orang nomor satu di Jakarta menjadi “polantas” sukarela. Bang Ali pun tak segan-segan memberikan peringatan keras kepada mereka yang ketahuan ugal-ugalan dalam mengemudi.

Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin menerima tamu di ruang kerjanya. (Wikimedia Commons)

Pengemudi yang tak memiliki sopan santun jadi yang paling utama ditindaknya. Awalnya Bang Ali menegur, tapi saat emosinya tak tertahankan, tangannya akan refleks menampar mereka yang ugal-ugalan. Tamparan itu dilakukan oleh Ali Sadikin tak pandang bulu.

Siapa saja yang dianggapnya tak memiliki sopan santun dan tak menghargai pengendara lain akan merasakan tamparan Bang Ali. Apalagi kala Bang Ali tak sengaja menemukan pengemudi sipil yang mengendarai truk militer dengan ugal-ugalan. Bang Ali spontan mengejar supir itu dan memberhentikan kendaraannya.

Pengemudi yang lagaknya melebihi anggota militer langsung diberhentikan dan ditamparnya tanpa basa-basi. Tamparannya tak satu kali, tapi berkali-kali. Menurutnya, pengemudi yang gemar ugal-ugalan seperti itu harus diberi pelajaran. Lagi pula, mereka adalah salah satu penyebab lalu lintas Jakarta jadi amburadul.

Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin dalam sebuah acara. (Wikimedia Commons)

“Di dalam mobil, saya masih bersungut-sungut. Dikira, karena sudah ABRI, boleh semaunya. Malahan seharusnya sebaliknya. Ia harus memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat. Terutama disiplin diperlukan dalam segala bidang.”

“Sepanjang jalan saya masih mangkel. Ini bukan lelucon satu April. Memang terjadinya pada tanggal satu April. Dan bukan pula disebabkan saya membawa wartawan maka saya bertindak demikian,” kenang Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).