Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 201 tahun yang lalu pada 21 Mei 1831, mencatat penjajah Belanda mulai peduli dengan isu kesehatan jiwa. Penguasa langsung mengeluarkan resolusi yang revolusioner. Tiap rumah sakit besar di Jakarta, Semarang, hingga Surabaya wajib menyediakan kamar untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Kehadiran resolusi ini cukup berpengaruh. Sebab, ODGJ di tanah Hindia tengah tumbuh subur. Perang dan wabah jadi penyebab utamanya.

Gangguan jiwa adalah masalah yang serius. Bahkan eksistensinya telah hadir sejak dulu kala. Kehadiran cerita wayang yang direka dari kisah populer Mahabharata dan Ramayana, misalnya. Dalam kedua cerita itu ODGJ jadi bagian dari suatu karakter yang kemas dengan nama Srikandi Edan (gila) dan Gatotkaca Gandrung.

Bangsal perawatan pasien penderita gangguan jiwa di Krankzinnigengesticht atau Rumah Sakit Jiwa Bogor pada masa Hindia Belanda. (ntvg.nl)

Ketika Gatotkaca Gandrung jatuh cinta perilakunya berubah menjadi kekanak-kanakan, lucu nan eksentrik. Gambaran itu memberikan informasi bahwa ODGJ jadi bagian masyarakat Nusantara selama berabad-abad lamanya.

Salah Penanganan

Selama itu tindakan yang diambil untuk memutus mata rantai ODGJ belum maksimal. Pengetahuan yang kurang jadi penyebabnya. Mereka yang dideteksi sebagai ODGJ justru dianggap macam-macam. Dari diguna-guna hingga dirasuki roh jahat.

Anggapan itu buat jasa paranormal yang mengusir roh jahat makin dicari. Karenanya, tak jarang ODGJ mendapatkan siskaan fisik. Jikalau tak cukup, ODGJ akan dipasung sebagai langkah pengobatan lanjutan. Semuanya paham metode itu tak ampuh, tapi tetap dilanjutkan supaya ODGJ tak menggangu lingkungan.

Sebelum Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan resolusi tentang kesehatan jiwa pada 21 Mei 1831, penderita gangguan jiwa ditangani dengan cara tidak manusiawi. (Wikimedia Commons) 

“Penderita dipasung diikat, atau dirantai, atau dimasukkan ke dalam kandang. Ini dilakukan bila penderita berbahaya bagi lingkungannya dan atau bagi dirinya sendiri. Praktik ini tersebar di seluruh Indonesia.” 

“Bila penderita tidak berbahaya, maka tidak jarang kita melihat orang dengan gangguan jiwa dengan pakaian minimal, bahkan ada yang telanjang bulat, berkeliaran di desa (kadang-kadang di kota juga) sambil mencari makanan di pinggir jalan atau di tempat sampah dan menjadi tontonan atau pun objek lelucon masyarakat yang tidak memahami keadaan penderita,” Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis dalam buku Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2 (2009).

Kewajiban Rumah Sakit

Kondisi itu tak banyak berubah ketika awal-awal penjajahan Belanda. Solusi seperti dibawa ke paranormal dan dipasung masih jadi ajian. Semua itu karena masalah kesehatan jiwa belum begitu dikenal. Apalagi perkara sarana pengobatan, tenaga medis, hingga psikiater masih terbatas.

Namun, empunya kuasa tak menyerah. Pada 21 Mei 1831, pemerintah Hindia-Belanda membuat resolusi revolusioner. Resolusi itu berisikan mandat supaya tiap rumah sakit besar di Hindia-Belanda harus menyediakan kamar untuk merawat pasien gangguan jiwa.

“Kondisi itu terus berlangsung hingga akhirnya pada 21 Mei 1831. Pemerintah Hindia Belanda membuat sebuah resolusi yang dianggap cukup berpengaruh pada proses transformasi layanan kesehatan jiwa di Indonesia.”

Krankzinnigengesticht te Buitenzorg atau sekarang menjadi Rumah Sakit Jiwa Bogor adalah rumah sakit jiwa pertama di Indonesia, yang diresmikan pada 1 Juli 1882. (kitlv.nl)

“Dalam Resolusi 21 Mei 1831 No. 1 Pasal 1 disebutkan bahwa setiap rumah sakit besar di Weltevreden Jakarta, Semarang, dan Surabaya akan disediakan kamar untuk merawat penderita gangguan jiwa,” ujar Denny Thong, penulis biografi Bapak Psikiatri Indonesia Kusumanto Setyonegoro berjudul Memanusiakan Manusia, Menata Jiwa Membangun Bangsa (2011).

Resolusi Pemerintah Hindia Belanda pada 21 Mei 1831 tentang kewajiban rumah sakit membangun kamar perawatan orang dengan gangguan jiwa menjadi bagian penting sejarah hari ini di Indonesia.